16. she is a paradox

319 55 4
                                    

Trigger warning: bunuh diri dan pelecehan

...

"Anjir!" umpat Greta baru keluar kamar mandi menemukan Rafael yang duduk di atas kasurnya.

Pada malam itu, adalah malam prom untuk keduanya. Dimana wisuda sudah dekat, dan prom adalah acara kelas duabelas terahkirnya sebelum wisuda.

Rafael menggunakan jas hitam lengkap dengan dasi ( belum terikat)  yang selaras dengan warna jasnya.

"Rafael! Lo ngapain sih masuk kamar gue?!" seru Greta lalu menarik bathrobe-nya sedikit kencang, meyakinkan semua tubuhnya tertutup. "Mbak izinin masuk, yaudah gue masuk" jawabnya santai.

Rafael megedikkan kedua bahunya. "Lo ke prom gak sama gue. Ya kenapa enggak gue samperin lo dulu" kata Rafael lalu beranjak dari kasur, berjalan ke arahnya, "Gue gak ngerti make dasi kayak gini. Gue biasanya make dasi tempel" tambahnya menunjukkan dasinya yang belum terikat.

Greta terdiam sesaat menatap Rafael. "Ya—Yaudah. Lo keluar dulu sana ya," Greta mendorong badan tinggi Rafael keluar kamarnya, "gue mau ganti baju dulu. Nanti gue kasih tau kalo udah" Greta langsung membanting pintun kamarnya.

...

Sheren sedang berjalan di lorong rumah Kamaniya. Dirinya hanya berjalan pelan selagi bersenandung sampai dirinya berpapasan dengan Jennie. "Gimana?" tanya Sheren yang membuat Jennie terhenti, "Udah di tanya belum?" tanya Sheren kembali.

Jennie berbalik badan. Dirinya memakai tank top di lapisi oleh cardigan di luarnya dengan celana jogger. Sheren tahu jika Jennie sudah berpakaian seperti ini, dirinya pasti ingin main golf dengan sepupunya

"Lo lagi free?" tanya Jennie. Sheren mengangguk singkat. "Ikut gue, yuk" ajaknya yang membuat Sheren memutar kedua bola matanya malas. "Jen, ini masalah bokap gue yang kita omongin. Ini penting. Janhan ngalih—"

"Ikut gue. Dan gue bakal jelasin semuanya" kata Jennie memotong perkataannya. "Yaudah. Beneran ngomongin bokap gue kan? Awas aja enggak" ancam Sheren yang membuat Jennie tersenyum manis.

Senyuma itu, senyuman yang Sheren rindukan semenjak SMA. "Iya, Sher. Gue janji" kata Jennie pelan. 'Sher' panggilan sayang dari Jennie saat SMA.

Yang Sheren lihat adalah Jennie yang sesunggugnya. Yang baik, manis, lemah lembut dan peduli. Bukan Jennie yang sekarang yang bertingkah arogan dan seperti orang kaya pada umumnya.

...

Trauma. Satu pesan, orang-orang yang kelihatnnya bahagia dan tidak kenapa-napa adalah orang-orang yang sesunggunya kenapa-napa, mereka butuh bantuan.

Sudah dua tahun semenjak kejadian yang membuat Greta trauma. Dirinya sudah melupakan hal ini sebenarnya, karena bantuan teman-temannya. Bahkan, dirinya dekat Angkasa saja masih bisa. Tetapi, akhir-akhir ini, semua memorinya teringat kembali tentang malam prom tersebut.

Pintu apartemen Greta di keuk berapa kali. Greta tidak mau membuka pintunya. Dirinya lebih memiluh menonton film di sofanya dengan selimut yang tebal, menyendiri.

Setelan berantem dengan Rafael, dirinya tidak mau keluar rumah. Untung saja dirinya lagi tidak ada volunteer dan tidak ada kelas hari ini.

"Gret, ini Daniel" Greta langsung membuka matanya dan berjalan gontai ke arah pintu dan membuka pintu apartemennya tersebut. "Lama" balas Daniel yang membuat Greta menendangnya.

Siapa yang tidak suka dengan Daniel. Pria baik dan humoris itu, yang merupakan teman semua orang.

"Buset dah. Itu piring kaga di cuci" sindir Daniel melihat tumpukan piring di meja makan. "Enggak. Karena gue tau lo bakal kesini. Cuciin, Niel" perintah Greta yang menbuat Daniel menoyorny di kepala.

GIRLS [REVISION PROCESS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang