24. do not worry too much

299 46 7
                                    

"Bagus juga" ucap Jennie memasuki apartemen Dita di ikuti oleh haris. "Dia gak pernah bilang di beliin apartemen sama neneknya" tambah Jennie sambil melihat ke sekeliling apartemen.

Apartemen tersebut kecil. Tidak ada kamar sama sekali. Semuanya nyambung. Hanya ada dinding pembatas antara area tidur Dita dengan dapurnya, dan area kecil untuk ruang tamu. Kamar mandi hanya ada satu, toilet dan shower, tidak ada ada wastafel. Untungnya, aprtemen ini baru di buat tahun lalu, gedung baru dan Dita adalah orang pertama yang menempati apartemen ini.

"Jen, ayo cepetan. Gak ada banyak waktu. Keburu Dita bangun" ucap Haris mengigatkan Jennie yang malah berjalan sekeliling apartemennya, seperti sedang menilai ruangan tersebut.
"Coba ke kasurnya" perintah Jennie menunjuk kasur Dita. Keduanya meraba-raba kasur dan melihat sekeliling untuk mencri sesuatu.

"Jen," panggil Haris yang membuat Jennie menoleh, "liat deh" tambahnya yang membuat Jennie melihat buku tebal yang di pegang Haris. "Ini cuma journal Dita" ucap Jennie mengenal buku tersebut yang selalu di bawa olehnya, "Buka coba, Ris" perintah Jennie yang membuat Haris menggelengkan kepala, "Lo gila? Ini privasi dia" jawab haris yang membuta Jnenie mau tak mau merebut buku tersebut dan membukanya.

"Jen" panggil Haris dengan nada kesal dan kecewa karena ia membuka privasi Dita. "Sebelom lo marah-marah— Lo tau Dita ke psikiater?" tanya Jennie datar menatap Haris, "Psikiater? Lo gila apa? Dita orang terbahagia yang pernah gue temu, dia selalu senyum, dia selalu—"

"Gak semua orang yang kelihatan bahagia, beneran bahagia, Ris" ucap Jennie, "Lo terlalu bodoh, terlalu ignorant, terlalu tabu masalah kayak gini. Liat ini" ucap Jennie menyodorkan journalnya. Halaman pertama, dimana ada foto Dita dengan Dokter Raina, dengan judul 'Hari pertama Psikiater, terimakasih Dokter Raina'.

Ini bukan kali pertama orang lain melihat halaman tersebut, Desmon sebelumnya melihat halaman ini dan dirinya juga terkejut.

Haris hanya bisa terdiam, dirinya merasa sangat bodoh. "Gak mungkin Dita ke pskiater" kata Haris dengan kekeuh lalu merebut journal tersebut, Haris membalik halama tersebut, satu per satu halam di lihat dan di teliti, dirinya berjalan ke tepi kasur Dita.

Haris tidak pernah merasa sebodoh ini. Dirinya kesal kepada dirinya. "Gue jahat" gumam Haris yang membuat Jennie berjalan ke arahnya dan duduk di sampingnya, "Pemikiran lo yang salah, bukan lo. Gue tau lo orangnya baik" ucap Jennie tersenyum ke arahnya. Haris hanya terdiam, dirinya sedang memikirkan sesuatu.

"Dita semalem minta beliin paracetamol" ucap Haris mengingat malam-malam Dita minta Haris beliin paracemtamol, "Dia sakit panas semalam?" tanya Jennie bingung lalu Haris menggelengkan kepala, "Dia gak panas sama sekali" ucap Haris lalu dirinya berjalan ke nakas yang ada di sebelah kasurnya.

Haris mengambil plastik bekas paracetamol di lantai, plastik tersebut kosong, tidak ada pil sama sekali. "Dita nyoba bunuh diri" ucap Haris dengan datar menatap plastik obat tersebut yang kosong.

Jennie hampir saja terjatuh, dirinya langsung lemas. Matanya berkaca-kaca. "Dita mau bunuh diri, makanya dia minta beliin paracetamol" ucap Haris sekali lagi masih terkejut.

...

Desmon mendecak kesal. "Haris sama Jennie malah pergi?!" tanyanya kesal. "Gue gak tau" ucap Greta jujur karena ia hanya melihat Haris yang pergi tanpa bicara. "Temennya lagi gak sadar, malah pergi" ucap Desmon, "Dasar orang gak tau diri" ucap Desmon kesal lalu duduk di ruang tunggu.

Sheren hanya bisa menatap lurus, tidak tahu apa yang ia harus lakukan. "Jangan bengong" lamunanya buyar karena Wyd memberinya minuman, "Beli dua gratis satu, kenapa enggak" ucap Wyd menunjuk minuman yang baru ia beli.

GIRLS [REVISION PROCESS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang