🌙 4. Kepada Rasa Curiga 🌙

1.7K 423 113
                                    






"Lho, Sya, siapa ini?" Syabira hanya bisa diam mendengar pertanyaan ibu. Kepalanya pening karena terlalu banyak terkaan, mulai dari sikap Arman yang tidak punya malu, sampai kedatangan tak terduga Raga di rumahnya. Entah, apa tujuan laki-laki itu membuntutinya sampai ke rumah.

Syabira menggeleng, "Nggak tahu Bu, tanya aja sendiri dia itu siapa, kenapa bisa ada di sini. Dasar orang lancang, enggak punya sopan santun memang! Seenaknya masuk rumah orang." Cecaran pedas Syabira sembari melirik sinis pada Raga. Yang dilirik hanya tersenyum tipis.

Ibu mencubit pelan pipi putrinya, "Eh, enggak boleh bilang gitu, kamu yang kurang sopan sama tamu, Sya." Syabira meremas kepala yang ditutupi pasmina dengan gemas. Kenapa ibu malah jadi menyalahkannya sih? Yang anaknya ibu itu siapa memangnya?

"Ayo Nak, duduk, temannya Syabira ya?" Ibu malah mempersilakan Raga duduk di sofa.

"Terima kasih, Tante. Saya Raga, teman dekat Syabira." Syabira melirik tajam atas kalimat Raga. Sejak kapan mereka berteman? Selain Arman, ternyata Raga juga tepat untuk dinobatkan menjadi duta tidak tahu diri. Tidak tahu saja, kalau sudah lama Syabira mendeklarasikan Raga sebagai musuh - sejak mereka masih di sekolah menengah atas. Apalagi setelah kejadian di kantor tadi. Teman? Ngigau sekali dia! Batin Syabira mengutuk.

"Kebetulan juga saya satu kantor sama Syabira, Tante. Senang sekali rasanya bisa bertemu teman lama, putri Tante ini manis, tapi sayang galaknya minta ampun." Cerocosan Raga mendapat hadiah lemparan bantal sofa dari Syabira. Gajah di pelupuk mata tak nampak, semut di seberang lautan terlihat jelas, peribahasa yang pas untuk disematkan pada si Raga-Raga itu. Mengatakan kalau Syabira galak, apa kabar sikap Pak Raga yang tendesius padanya tadi saat di kantor?

Syabira seketika jadi ingin menyumpal mulut besarnya lelaki itu.
"Sejak kapan kita berteman, hah!? Jangan ngada-ngada kamu. Pergi sana!" Usirnya dengan nada ketus.

Ibu menatap putrinya dibarengi gelengan samar.

"Syabira, ibu paham kamu lagi kecewa sama laki-laki, tapi jangan begitu Nak, jaga sikap, ya." Ibu mengira putrinya depresi karena kegagalannya menikah dengan Arman. Syabira membeli, setiap kali orang rumah salah paham menanggapi keadaannya, terutama Ibu, Syabira hanya bisa mengunci mulutnya rapat-rapat.

"Nak Raga maafin Syabira ya, baru-baru ini kami memang mengalami kejadian kurang mengenakkan," sambung ibu pada Raga. "Syabira ... gagal menikah dengan laki-laki  yang tadi baru dari sini."

"Bu, nggak usah cerita yang aneh-aneh sama orang asing. Lagian kami bukan teman. Sya enggak punya teman macam dia ini. Penguntit!" Syabira beranjak dari duduk, ingin melangkah ke kamar, lalu membanting tubuh penatnya ke kasur. Tetapi baru beberapa langkah, ibu menahannya.

"Enggak sopan, Nak. Temani dulu tamunya, ya," ucap ibu tersenyum lembut. Syabira rasa dia memiliki seorang ibu yang terlalu baik hati. Naif sekali, gampang percaya sama orang.

"Tidak apa-apa, Tante. Mungkin Syabira lagi capek, biarkan istirahat. Saya ke sini kebetulan mampir sekaligus mau kasih ini buat Tante, sebagai tanda perkenalan dan mohon izin kalau saya ingin mendekati Syabira putri Ibu."  Raga memberikan buah tangan pada ibu Syabira. Satu paper bag besar berisi paket kue kering dan satu keranjang berisi parcel aneka buah. Syabira benar-benar dibuat tercekat oleh tindakan Raga. Apa-apaan lelaki satu itu? Kenapa sok akrab sekali dengan ini? Apa tadi katanya? Izin mendekati?! Muka gila memang. Jelas-jelas Raga adalah adik kelasnya dulu. Bisa-bisanya laki-laki jangkung itu menyatakan ingin dekat dengannya?

"Kebetulan saya baru pindah ke kompleks sini Tante, rumah saya di RW satu, gang empat, blok AB nomer lima." Raga berucap lagi.  Ibu Syabira menanggapi dengan antusias. Berkali-kali merapal terima kasih serta basa-basi kenapa Nak Raga repot-repot membawa bingkisan segala. Syabira hanya menanggapi dengan decihan.

"Bu, udah ya. Biarkan tamu tak diundang ini pulang, Sya capek mau istirahat," protes Syabira.

Ibu mengibaskan tangan ke udara, "Yasudah, kamu kalau mau istirahat tinggal saja, biar Nak Raga ngobrol sama ibu. Iya kan, Nak?" Ibu menoleh Raga. Syabira melirik curiga, khawatir kalau-kalau ibu akan keceplosan menceritakan kisah pilunya gagal menikah. Bisa-bisa dia akan habis ditertawakan oleh Raga nanti. Eh, tapi, bukannya tadi Raga sudah mendengar setengahnya saat dia dan Arman sibuk berdebat. Apalagi lelaki itu lantang mengatakan akan membayar semua tuntutan Arman.

Mata Syabira membola sempurna. Kenapa dia baru ngeh kalau tanpa sengaja sudah berhutang dengan Raga. Astaga, dua ratus juta. Darimana Syabira dapatkan uang sebanyak itu dengan cepat dan instan. Tabungannya saja tidak mencukupi sampai nominal tersebut. Pikiran Syabira mulai buntu. Sejak masuk kamar tadi, hanya mondar-mandir di depan ranjangnya sendiri. Syabira mulai berpikir, apa sebaiknya dia mengambil pinjaman online saja untuk membayar hutangnya? Cara cepat dapat uang dengan instan.

Riba' Sya, jangan macam-macam Lo!

Batin Syabira menginterupsi.

Tadinya berniat akan mandi, mengguyur tubuh dengan air dingin untuk menghilangkan penat, tapi urung saat rungu Syabira mendengar tawa menggema dari ruang tamu. Syabira berdiri persis di balik pintu kamarnya, menajamkan pendengaran. Bukan ibu saja yang sepertinya terdengar bergabung di sana. Suara khas ayah saat bicara nadanya selalu terdengar keras, juga suara Bang Antok terdengar bersahutan dari arah ruang tamu. Syabira makin tidak paham dengan jalan pikiran Raga. Apa laki-laki itu stress atau gila? Kenapa sangat terobsesi sekali dengannya.

"Ra, sini bentar, Nak. Teman kamu mau pamit pulang nih," panggil ayah dari ruang tamu yang berjarak beberapa meter saja dengan kamar Syabira. Otomatis suara ayah menggema sampai ke dalam kamar. Syabira enggan sekali keluar menemui. Tetapi kalau ayah yang sudah kasih ultimatum, mau tak mau Syabira melangkah meski dengan malas-malasan.

"Iya Yah, sebentar." Syabira membuka handel pintu, sejurus meniti kaki ke ruang tamu, masih memakai pakaian kerja, belum sempat menukar baju.

"Ini lho, Nak Raga mau pamit." Ibu bersuara. Syabira membalas dengan deheman kecil. Dia malas bersuara.

"Saya pulang dulu ya, maaf untuk hari ini." Ucapan itu terdengar lain. Tidak sedingin tadi saat di kantor. Kalimatnya lebih enak didengar telinga, tapi tetap belum bisa menghapus rasa dongkol di hati Syabira.

"Pulang, enggak usah balik lagi!"

"Saya siap-siap dulu, nanti kita ketemu lagi bakda Isya."

"Apaan---"

"Ayah sama ibu kamu mengundang untuk makan malam. Menghargai undangan beliau, maka saya memutuskan untuk datang." Kalimat pemutus saat ucapan Syabira belum selesai. Raga melangkah pergi usai menyalami ayah dan ibu. Meninggalkan Syabira yang bungkam oleh sikap lelaki itu. Juga masih belum percaya kenapa ayah dan ibu gampang sekali percaya dengan mulut manis Raga. Syabira harus mulai waspada dengan sikap seorang Raga, di kantor sangat menyebalkan, kenapa sekarang sok manis, malah di depan keluarganya juga. Jangan-jangan lelaki itu menyimpan akal bulusnya seperti dulu. Pura-pura mendekati, menyatakan cinta, tapi dengan niat mempermalukan Syabira. Kepada rasa curiga yang membumbung tinggi, Syabira tidak akan memaafkan kalau sampai Raga mengulangi perbuatannya yang dulu.

🌻🌻🌻


Repost
09-11-23

Tabik
Kachan

HILAL CINTA (TAMAT- Terbit Ebook)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang