Sore hari saat jam bubar kantor, Syabira memutuskan akan mampir sebentar ke toko kue. Malam ini pasti para keponakan akan berkumpul di rumah kakek-nenek mereka, makanya Syabira inisiatif mencari camilan kesukaan mereka serta untuk keluarga yang lain.
Melangkah menuju parkiran guna menunggu taksi online yang sudah dipesan, tetapi fokus Syabira sejenak teralihkan oleh kehadiran Raga. Laki-laki itu berdiri tepat di sisinya. Entah, sejak kapan Raga ada di sana. Syabira tidak terlalu memperhatikan sekitarnya.
"Mau pulang? Bareng, yuk!" Ajak Raga pada Syabira. Gelengan kecil Syabira sebagai jawaban.
"Kenapa?" Raga mencecar dengan pertanyaan.
"Nggak pa-pa, silakan duluan, Pak. Saya sudah pesan taksi online."
"Cancel saja, Sya."
Syabira menggeleng, tapi Raga lebih dulu mengambil ponsel di tangannya dengan gerakan yang sangat cepat. Raga perhatikan aplikasi taksi online. Benar Syabira sudah memesan, gegas lelaki itu menekan tombol cancel beserta menuliskan alasan yang masuk akal agar driver tidak terkena suspensi. Syabira yang sejak tadi merasa lemas, baru sadar kalau hapenya berpindah tangan pada Raga. Matanya sontak membeliak.
"Balikin! Enggak sopan banget sih, Pak," cecarnya. Syabira memeriksa layar ponselnya, terlihat kalau pesanan dibatalkan.
"Kenapa di-batalin sih?" Dumalnya sebal.
"Kan, saya sudah bilang, pulang bareng saja yuk."
Syabira malas adu argumen. Apalagi tadi seharian tubuhnya tidak menerima asupan karbohidrat sama sekali, dia tidak punya tenaga untuk berdebat kali ini. Syabira pasrah mengikuti langkah saat Raga isyaratkan memasuki mobilnya. Kembali bersama satu mobil dengan laki-laki itu membuat Syabira harus menekuk wajah. Bawaannya selalu ingin marah-marah dan sebal sendiri. Padahal Raga tidak berbuat sesuatu yang salah. Kadang, Syabira berpikir dia terlalu sadis memperlakukan Raga.
"Mau langsung pulang--" dipotong Syabira.
"Toko kue sebentar, beli jajanan buat keponakanku," pinta Syabira cepat.
Raga mengangguk.
"Jadi kemarin yang ngirim cokelat itu kamu?" Syabira bertanya, sekaligus memecah rasa rikuh karena harus kembali berdekatan dengan laki-laki yang lebih muda dua tahun darinya. Raga hanya tersenyum mendengar pertanyaan Syabira. Tangan Syabira melayang dan mendarat di lengan Raga.
"Awwwsh!" Kernyitan disertai desis kesakitan saat cubitan Syabira mampir di lengan Raga.
"Apa sih, Sya. Astaghfirullah, sakit lho!"
"Makanya, enggak usah sok perhatian."
Raga menggeleng sendiri dengan polah gadis di sebelahnya. Baru kali ini dia temui ada gadis yang malah merasa kesal karena diperhatikan. Bukannya baper atau terima kasih, malah kobar amarah yang didapati Raga.
"Ini kalau saya laporin ke polisi, kamu bisa kena pasal perbuatan tidak menyenangkan lho, Sya."
"Gih sana laporin. Nanti aku laporin balik, kamu juga bakal kena pasal penguntit, menganggu ketenangan orang lain." Syabira menanggapi santai.
Raga tertawa mendengar vonis dakwaan Syabira. Mana ada pasal penguntit. Syabira kalau sedang kesal memang lucu.
"Sya, enggak capek ya, marah-marah terus. Apalagi sama saya, salah saya apa sih? Katanya udah dimaafin?" Mata Raga fokus ke arah depannya saat berbicara.
"Kamu mukanya hujat-able soalnya. Selalu bikin sebal di mataku."
Tawa Raga kembali menggema mendengar ungkapan polos Syabira. Memang, Syabira di mata Raga itu, cewe anti-mainstream yang pernah dia kenal. Kalau yang lain malah berlomba-lomba mendekat, mencari perhatian, berbanding terbalik dengan sikap Syabira.
"Cuma kamu lho, Sya, yang berani bilang seperti itu sama saya. Nggak takut dipecat kamu?" Ancaman yang membuat Syabira tersenyum miring.
"Takut? Ha-ha-ha, maaf, Pak. Sebelum dipecat aku yang bakalan resign duluan."
"Bercanda, Sya. Jangan diambil hati." Raga melirik sekilas gadis di sebelahnya. "Kalau ... hatiku sudah lama kamu ambil." Raga terkekeh sendiri usai melontarkan kelakarnya.
"Apa sih, Pak! Enggak jelas banget!" Decih Syabira. Raga tidak menaruh sakit hati meski Syabira selalu kesal saat berdekatan dengannya. Raga percaya hukum tabur-tuai. Kalau sekarang sikap Syabira kurang bersahabat, itu mungkin karena ulahnya terdahulu yang suka menganggu gadis cantik itu.
"Sya, nanti malam sudah masuk tarawih, kamu ikut nanti?" Pembicaraan beralih topik. Syabira menjawab singkat dengan, Insyallah.
Mobil Raga memasuki pelataran sebuah toko kue terkenal, Syabira bergegas turun setelah mobil terparkir sempurna.
Syabira perhatikan Raga yang masih memaku di tempat duduk dengan kernyitan di wajah, seperti orang yang sedang menahan sakit atau nyeri, "Pak Raga enggak ikut turun?" Tanyanya. Raga menggeleng."Kamu saja, ya. Kalau boleh saya nitip belikan kue."
"Hmm, mau yang apa?"
"Apa saja pilihan kamu pasti saya makan."
Syabira menatap aneh laki-laki yang masih duduk di belakang jok kemudi itu. Bagaimana bisa Raga percaya seratus persen padanya. Harusnya kalau manusia normal, dia tidak boleh seperti itu. Bagaimana kalau Syabira berniat jahat dan balas dendam, membeli kue, lalu dia taburi dengan racun? Dasar Sableng! Gumam Syabira dalam hati.
Lima belas menit Syabira kembali dengan banyak bawaan di tangan, dua kantung besar berisi aneka kue. Ada brownis, cake keju dan chiffon kesukaan ayahnya. Untuk Raga, Syabira membelikan fudge brownies serta macaron rasa mix dalam satu kotak.
"Ini, aku enggak tau kamu sukanya apa, jadi aku beliin ini aja."
"Terima kasih, kamu tahu banget kalau saya suka sekali sama brownies."
"Baguslah kalau sesuai."
Mobil kembali melaju menuju kompleks perumahan tempat mereka tinggal. Sebelum sampai di depan pagar rumahnya, Syabira meminta Raga berhenti agak jauh, dia akan turun di depan gang saja. Kejadian semalam belum menemukan titik terang. Hubungannya dengan Bang Fadli belum membaik sampai sekarang. Syabira tidak ingin menimbulkan kekacauan lagi -- kalau nanti misalnya ada anggota keluarga lain yang melihatnya pulang bersama Raga.
***
Memasuki rumah, Syabira memindai sosok Bang Fadli sedang bercengkrama bersama ayah, Bang Erwin dan Bang Antok di ruang tamu. Embusan napas lega menguar dari bibir Syabira kala mendapati bahwa Bang Fadli masih mau datang untuk menyambut bulan puasa bersama keluarganya. Syabira menyalami semua yang ada, sampai tiba giliran pada Bang Fadli, lelaki itu tidak menolak saat Syabira kecup punggung tangannya, tetapi tatapan Bang Fadli masih dingin. Tidak ada satu kata pun yang keluar darinya.
Melenggang ke ruang tengah, ada keponakan Syabira yang sibuk menonton televisi serta bermain. Syabira hampiri mereka dengan aneka kue di tangan. Semua langsung berlari mengerumuni Syabira.
"Tante Syabila bawa apa?" Tanya si kembar Keen dan Keev, keponakannya berusia lima tahun yang masih cadel bicaranya.
"Tante bawa kue cokelat, kesukaan kalian. Ayo sini, ambil satu-satu ya," titah Syabira.
Ibu datang dari arah dapur hampiri Syabira, "Ra, udah pulang Nak?" Syabira mengangguk dan mencium tangan ibu.
"Pucat sekali kamu, udah makan belum? Ibu siapin makan ya?"
"Enggak usah, Bu. Nanti saja, ya. Syabira mau mandi dulu."
Ibu mengangguk, mengiakan kalimat putrinya. Syabira beranjak menuju kamar. Sampai di ruang pribadi, Syabira tidak langsung menukar pakaian. Dia duduk di atas ranjang dengan banyak pertanyaan mengitari benak.
Tiba-tiba ada selongsong cemas menghampiri.
Kenapa dengan Raga? Selepas Syabira keluar dari toko kue tadi, laki-laki itu memilih mengatubkan bibir sepanjang sisa perjalanan. Syabira perhatikan kilatan ekspresi Raga yang terekam di dalam kepalanya. Kernyitan di dahi lelaki itu seperti sebuah ungkapan menahan kesakitan. Syabira jadi berpikir, apa Raga sedang sakit atau tidak enak badan? Kalau begitu kenapa memaksa untuk mengantar pulang Syabira. Seperhatian itu Raga padanya, padahal Syabira selalu ketus jika berhadapan dengannya.
Diam-diam ada cemas menyelubungi hati Syabira akan keadaan Raga.🌻🌻🌻
Tabik
Chan
KAMU SEDANG MEMBACA
HILAL CINTA (TAMAT- Terbit Ebook)
Ficción GeneralRepost ____ Menanti hilal jodoh adalah hal utama bagi setiap insan yang ingin melangkah menuju gerbang pernikahan. Tak terkecuali bagi Syabira Arunika, gadis berusia 28 tahun. Usia yang terbilang matang bagi seorang gadis untuk akhiri masa lajang. ...