🌙 2. Kepada masa lalu 🌙

1.8K 458 91
                                    


Syabira memaku di tempat. Rapat memang telah usai sepuluh menit lalu, semua orang sudah enyah dari ruangan tempatnya berdiri. Tetapi suara bariton dengan nada dingin itu menahan Syabira saat dia akan beranjak pergi. Laki-laki yang baru menginjakkan kaki di kantor itu berdiri tepat di sisi Syabira. Tatapan matanya bertumbuk dengan manik Syabira. Salah tingkah. Syabira mengalihkan matanya ke arah lain. Dia menilai bos baru itu sangat tidak sopan. Untuk apa terlalu membesar-besarkan masalah kecil?  Syabira hanya telat beberapa menit, itupun gara-gara perutnya mulas, usai menyantap ayam geprek level 10 saat istirahat makan siang tadi, hingga membuatnya beberapa kali ke kamar kecil.

"Sudah telat, tidak minta maaf, lalu sekarang mau pergi tanpa efek jera? Kamu pikir ini perusahaan nenek moyangmu?!" Sebuah majas ironi bak tamparan tepat di pipi Syabira. Manik legam itu seolah mata pisau yang mengintimidasi tatapan Syabira.

"Syabira Arunika, kita lihat, kira-kira sanksi apa yang cocok buat kamu!"

Syabira tertawa miring, "Pecat saja sekalian, Pak! Kalau punya dendam pribadi, jangan bawa-bawa kerjaan. Profesional dong, Pak!" Sarkasnya terlalu berani ... mungkin. Syabira sudah menahan sejak tadi. Saat kakinya mengayun memasuki ruangan, pandangannya terus terarah pada sosok yang berdiri di ujung meja sedang presentasi.

Syabira rekam intonasi suara itu, telah banyak berubah sejak terakhir dia dengar beberapa tahun silam. Rambutnya yang dulu agak urakan, sekarang tampil rapi, wajahnya bersih meski ada sedikit bulu halus memagari rahang tegasnya. Tubuhnya? Tumbuh dengan sangat baik, tinggi dan tegap. Menjulang tinggi jika disejajarkan dengan Syabira yang hanya memiliki tinggi sekitar 156 sentimeter.

Lelaki itu tertawa sumbang dengan tatapan sinis, "Ingat juga ternyata kamu," ucapnya tepat di samping Syabira.

Bagaimana Syabira tidak akan ingat, jika gara-gara ulah adik kelas menyebalkan, yang selalu mengganggunya, membuat Syabira banyak mendapat ejekan dan risakan? Sampai-sampai gadis itu memutuskan hijrah dari sekolah lama ke sekolah baru. Ah, ralat! Bukan hanya sekadar pindah sekolah, tetapi pindah ke lain kota.

"Maaf, Pak. Kalau sudah tidak ada yang dibicarakan, saya izin pergi dari sini."

Lelaki itu menggeleng keras atas ucapan Syabira.

"Kamu belum minta maaf, Syabira!"

Mata Syabira membeliak. Rupanya laki-laki itu masih sama menyebalkan seperti dulu. Bedanya sekarang bertambah levelnya. Kalau dulu level teri, sekarang level kakap.

Syabira hela napas pelan. Sudut bibirnya ditarik paksa membuka kalimat, "Maaf, Pak Raga, saya telat menghadiri rapat hari ini, tapi saya punya alasa---"

"Tidak terima alasan apa pun!" Memotong ucapan Syabira menjadi hobi baru Pak Raga sepertinya. Syabira dibuat kesal bukan main. Rapalan istighfar terus menggema dalam hatinya. Untung atasan, untung aja boss, untung aja ganteng. Eh. Syabira menggeleng keras untuk kalimat batinnya yang terakhir. Kepada masa lalu yang baru ditemui, ingin sekali menyatakan Syabira keberatan atas perjumpaan tak dinyana ini. Namun, siapalah dia sampai berani memprotes jalan hidup yang telah digariskan?

"Keluar sana kamu! Ingat ya, ini pertama dan terakhir kamu membuang waktu seenaknya. Kerja yang benar, jangan makan gaji buta!" Syabira hanya menanggapi kalimat super-pedas itu dengan senyum tipis yang terpaksa serta menjawab singkat dengan, iya, Pak.

Syabira melangkah usai mendengar ultimatum Pak Raga. Di depan pintu, dia urung menarik handel, Syabira berbalik arah, tepat di depan meja presentasi tempat bos barunya duduk memberesi komputernya, "Dan, saya lupa satu hal. Anda belum pernah meminta maaf atas kesalahan di masa lalu," sinis Syabira. Senyum sinis juga  kembali Raga tebarkan.

"Jangan mencampur adukkan masalah pribadi, ini kantor," sahut Pak Raga santai. Syabira dibuat hangus dada, itu kalimatnya yang tadi diucapkan untuk Raga, sekarang berbalik padanya.

"Cari kata-kata sendiri, jangan hobi plagiat kalimat saya, Pak!"  Oke, untuk ukuran karyawan bawahan mungkin kata-kata dan sikap Syabira terkesan berani dan lancang. Tetapi gara-gara ulah Pak Raga yang lebih memantik rasa kesal Syabira. Padahal gadis itu sudah mengubur dalam-dalam ingatan tentang Ragantara Sadewa. Ternyata Tuhan mempertemukan kembali setelah sekian tahun lamanya.

Tawa dingin itu menguar, "Jangankan kalimat tidak bermutu-mu ini, zaman sekarang bahkan buku dan film banyak bajakannya. Jangan merasa paling sok!" Lagi, Raga menjawab tanpa menatap pada Syabira sedikit pun.

Rasa dongkol meliputi perasaan Syabira saat melangkah keluar ruang rapat. Bagaimana bisa lelaki itu terlihat biasa saja --- ah, salah! Bukan biasa saja, tapi tidak tahu diri. Sudah berbuat salah di masa lalu, tidak mau minta maaf, sekarang malah menyalahgunakan wewenangnya dengan semena-mena. Syabira rasa harus memberi sedikit pelajaran, nanti.

"Jadi orang jangan pendendam, tidak baik! Bisa sial terus, kamu!"

Syabira mengutuk. Lagi dan lagi lemparan kalimat itu berbalik padanya sendiri. Sebenarnya yang korban di sini siapa? Kenapa Pak Raga-Raga itu jadi playing victim.
Sumpah serapah sudah menggantung di ujung lidah Syabira, tetapi dia masih tahu etika. 

Syabira menatap sebal ke asal suara itu. Ketukan heelsnya terdengar nyaring memecah koridor. Sepanjang langkah batin Syabira terus mengumpat. Bisa-bisanya bertemu lagi dengan sosok Raga. Apa tidak ada sebersit penyesalan di hati lelaki itu meski sedikit saja, gara-gara sikap tengilnya dulu, Syabira harus menanggung malu karena menjadi bahan olokan satu kelas.

Kak, jadi pacarku ya.

Eh, kakak cantik, mau ya jadi separuh tulang rusukku.

Kak Sya, pacaran yok!

Syabira refleks menyumpal telinga dengan kedua tangan saat bisikan suara masa lalu kembali merasuk ke dalam otaknya. Andai sikap Raga di masa lalu tidak keterlaluan, sungguh Syabira tidak akan menyimpan bencinya. Kepala Syabira mendadak terasa berat memikirkan bahwa untuk waktu lama dia akan berada satu kantor dengan Raga.

Apa itu artinya benar yang dikatakan Raga, bahwa Syabira masih menyimpan dendam? Padahal menurut ilmu psikologi, saat kita tidak memaafkan dan menyimpan luka, sebenarnya kita sedang menyakiti diri sendiri. Ah! Entahlah, Syabira tidak mau memikirkan hal ruwet semacam itu.

🌻🌻🌻


Repost
07-11-23

HILAL CINTA (TAMAT- Terbit Ebook)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang