Kota M, 2019
Sudah hampir tiga jam wanita itu berkutat di depan laptop, mengetik huruf demi huruf tanpa sedikit pun menghiraukan sekeliling.
“Rin, kamu enggak mau makan dulu? Sudah lewat waktu makan malam lho, Nduk. Istirahatlah sejenak. Jangan terlalu dipaksakan. Tidak baik,” ucap Simbok melihat cucu kesayangannya begitu asyik di depan laptop.
Airin menggeleng pelan. “Tanggung, Mbok. Sebentar lagi juga selesai. Masih kurang dua bab lagi nih,” jawabnya.
Kalau sudah begitu, bisa dipastikan Airin tak akan makan lagi sampai besok pagi, bahkan bisa dipastikan juga kalau dia tidak akan tidur malam ini. Simbok menghela napas panjang sambil berlalu, menuju dapur.
Sudah dua tahun ini Airin menggeluti dunia barunya, dunia literasi. Sepanjang hari selama dua tahun, kerjanya hanyalah duduk manis di depan laptop, membuat cerita-cerita pendek dan novel, kemudian dikirimkan kepada seseorang. Ya, seseorang yang dulu telah memberikan laptop ini kepadanya.
Namanya Rangga. Lelaki seratus tujuh puluhan senti yang telah memikat hatinya. Dia datang menawarkan pekerjaan dan uang, sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh Airin saat itu. Bagi Airin, Rangga adalah pahlawan yang telah menyelamatkan dia dan Simbok dari jurang kemiskinan.
Beberapa tahun lalu, Airin adalah idola di sekolahnya. Nilai yang diperolehnya dalam setiap mata pelajaran selalu jauh di atas rata-rata, melampaui nilai terbaik yang pernah ada di sekolah tersebut.
Lulus SMA, Airin mendapat beasiswa di sebuah universitas negeri di kotanya. Menjadi mahasiswa Sastra Indonesia adalah hal yang paling membanggakannya. Betapa tidak? Sejak kecil tinggal berdua dengan Simbok yang sudah lanjut usia, tanpa tahu ke mana perginya kedua orang tua, membuat Airin tak pernah sedikit pun berharap akan bisa melanjutkan sekolah, apalagi sampai kuliah. Namun semangat dan kemampuan yang jauh melebihi teman-teman membuatnya terus melaju.
Simbok, meskipun tak pernah mengenal arti pentingnya pendidikan, mendukung penuh usaha Airin dalam belajar. Bagi simbok, kebahagiaan Airin adalah hal terpenting dalam hidupnya. Beasiswa pendidikan, termasuk biaya hidup selama kuliah sudah dalam genggaman ketika peristiwa nahas itu terjadi.
Suatu pagi, tergesa menuju gedung rektorat, Airin tak memperhatikan sekitar. Ketika itu, dia begitu bersemangat hendak menunjukkan mind map sastra yang telah dibuatnya semalam.
Bunyi klakson mengejutkan Airin yang tengah menyeberang jalan. Tubuhnya terguling di antara kertas-kertas yang berserakan di jalanan depan kampus. Pengemudi mobil kabur. Mungkin dia tahu pagi itu jalan depan kampus masih lengang. Tak ada saksi mata.
Pagi itu, impian Airin sebagai mahasiswa Sastra Indonesia telah berakhir. Hanya tersisa rasa perih dalam hati, setiap mengingat peristiwa itu. Menjadi korban tabrak lari, lalu kehilangan sebelah kakinya yang harus diamputasi, membuat Airin putus asa.
“Rin, kamu bisa tetap melanjutkan kuliah. Tak perlu minder dengan kondisi fisikmu,” ucap Hendra ketika mengetahui sahabatnya patah semangat.
Airin menggeleng. “Aku putus kuliah bukan karena minder, Ndra.” Sejenak terdiam. “Kau tahu, hanya dengan beasiswa aku bisa terus kuliah. Sekarang? Bagaimana aku bisa jadi siswa teladan, sedangkan kaki saja aku tak punya…”
Air mata mengalir lagi. Selalu demikian. Kenangan tentang kuliah hanya membangkitkan rasa perih bagi Airin.
“Aku bisa bantu uang kuliahmu,” ucap Hendra.
“Aku tak butuh bantuanmu, Ndra.”
Hendra tahu, sahabatnya ini keras kepala. Airin memiliki hampir semua sifat anak jenius. Kutu buku, introvert, dan keras kepala. Satu lagi. Airin tak pernah mau menerima bantuan dari orang lain. Betapapun menyedihkan keadaannya. Bagi Airin, segala sesuatu hanya bisa didapatkan dari hasil kerja keras. Bukan dari rasa kasihan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Airin
Mystery / ThrillerAirin-seorang penulis yang karyanya dimuat atas nama orang lain-ditemukan meninggal karena kelelahan menulis selama tiga hari berturut-turut tanpa istirahat. Setelah meninggalnya Airin, banyak kejadian aneh dialami teman-temannya. Hendra mencoba men...