Pesan Kematian

4 1 0
                                        

Akbar membuka laptop Airin dengan penuh semangat. Dia berharap akan menemukan banyak petunjuk di sana. Masuk explorer, dilihatnya banyak file cerpen dan novel. Hendra yang ada di sebelahnya geram. Ya, Hendra selalu merasa geram setiap kali membaca tulisan-tulisan itu. “Aku semakin penasaran ingin bertemu Rangga,” ucapnya.

“Sabar.” Akbar melirik pemuda di sebelahnya yang tampak kesal. “Kamu makan kue dulu aja sana, biar aku saja yang membaca. Jangan ikut lihat, daripada makin sakit hati nantinya.”
Saran Akbar hanya lewat saja ke telinga Hendra. Pemuda itu tetap mau ikut menyelidiki kasus Airin.
Kalau memang benar Si Plagiat itu pelakunya, awas saja!

Rangga Setiadi terkenal licik sejak SMA. Memanfaatkan wajah yang lumayan tampan, Rangga mendekati teman-teman cewek yang pandai agar mau memberikan contekan atau bahkan mengerjakan tugasnya. Anehnya, mereka yang berkali-kali dibohongi dan dikecewakan masih tetap saja setia kepada Rangga.

Teman-teman SMA yang lelaki banyak yang kesal karena ulah Rangga. Bahkan, beberapa guru sebenarnya juga sudah memperingatkan lelaki itu agar berhenti mempermainkan dan memanfaatkan wanita. Namun, semua itu tak mampu menghentikan Rangga. Pemuda yang licik itu membungkam orang-orang yang berperan penting di sekolahnya dengan uang dan kekuasaan. Ya, Rangga tahu bahwa orangtuanya yang juga ketua komite memiliki peran penting di sekolah, dan dia memanfaatkan hal itu sebaik mungkin. Hasilnya, Rangga pun lulus SMA dengan meraih nilai baik, hanya selisih beberapa angka di bawah nilai Airin.

Tak hanya berhenti sampai di situ. Beberapa tahun kemudian, dia kembali lagi dalam kehidupan Airin, setelah mengetahui bahwa Airin berhenti kuliah. Dengan alasan menolong dan iming-iming honor menulis yang besar, Rangga pun berhasil membuat Airin menulis untuknya. Namanya seketika melejit menjadi penulis terkenal. Buku-bukunya banyak dipajang di toko buku, deretan buku best seller pula. Siapa yang tidak sakit hati melihatnya?

⸙⸙⸙⸙⸙⸙⸙

“Total ada dua puluh lima cerpen dan tujuh novel di sini,” ucap Akbar. Hendra mengernyitkan kening.

“Harusnya ada delapan novel, Bar.”

“Sini, Ndra. Coba kamu cek, mana yang tidak ada di sini.”

Hendra memeriksa file naskah tersebut satu demi satu. Enam novel yang menjadi best seller tahun lalu, ada semua judulnya. Tinggal memeriksa isinya nanti. “Berarti ada satu naskah yang hilang, novel yang ditolak penerbit karena ada konten kekerasan terhadap anak.”

“Tunggu, Ndra. Darimana kamu tahu kalau ada naskah novel yang ditolak penerbit karena ada kekerasan anak di dalamnya?”

“Simbok yang cerita ke Hendra,” Simbok menjawab pertanyaan Akbar sebelum Hendra sempat berucap.

“Airin tampak kecewa sekali waktu itu. Naskah yang ditulisnya siang malam tidak menghasilkan uang, justru amarah yang dia dapatkan dari Rangga.”

“Itulah sebabnya, kenapa aku begitu kesal dengan Rangga. Dia benar-benar tidak bisa menghargai orang lain,” ucap Hendra sambil mencari hidden file, file yang disembunyikan. Siapa tahu, naskah itu disembunyikan Airin di sana, tapi nihil. Tulisan itu tidak ditemukan dalam folder mana pun.

“Simbok tahu, ke mana Airin mengirimkan naskah itu?”

Simbok menggeleng. “Semua tulisan Airin dikirimkan kepada Rangga, Nak. Dia yang tahu di mana tulisan itu sekarang.”

Lagi-lagi Rangga, keluh Hendra.
“Kamu bilang, Airin pernah menulis tentang tanaman teratai dan lumpur. Di mana tulisan itu sekarang?” tanya Akbar lagi.

“Oh, itu. Sebentar.” Hendra membuka sebuah file yang tersembunyi dalam folder User. “Bukan novel ataupun cerpen. Ini cuman sebuah catatan.” Diperlihatkannya file itu kepada Akbar.

Tulisan sepanjang tujuh puluh lima halaman, yang menceritakan tentang biografi Airin, sejak dia SD hingga SMA. Bukan berupa naskah cerita, tapi hanya berupa catatan harian dengan tanggal di bagian awalnya.

“Agaknya, ia belum sampai menuliskan tentang masa kuliah dan masa-masa pahitnya setelah kecelakaan,” ucap Akbar.

Hendra mengangguk membenarkan.

“Menurutmu, apa mungkin, jika kalimat ini merupakan pesan terakhirnya kepada kita?”

Hendra mengangkat bahu. “Yaa mungkin saja, tapi terus terang, aku juga tidak mengerti apa yang dimaksud Airin dengan kalimat itu.”

“Mungkin, kita akan bisa tahu jika membaca naskahnya secara utuh.”

Akbar mengucapkannya sambil mengeluarkan sebuah flashdisk dari dalam dompetnya. Disalinnya naskah yang ada dalam folder cerpen dan novel, lalu disimpannya dalam flashdisk-nya.

Hendra memperhatikan Akbar dengan sedih. Kenapa begitu terlambat? batinnya. Sudah setahun semenjak kepergian sahabatnya….

“Orang yang menabrak Airin di depan kampus dulu itu, apa tidak ditindak?” celetuk Akbar, membuyarkan lamunannya.

“Eh… Tidak ada yang tahu siapa pelakunya,” jawab Hendra. “Waktu itu masih terlalu pagi. Belum ada mahasiswa lain yang datang selain Airin.”

“Kalau masuk ke kampus kalian, harus menunjukkan kartu mahasiswa kan ya, di pos satpam?”

Hendra terperangah mendengar pertanyaan Akbar. “Iya ya, kenapa tidak terpikirkan sebelumnya.”

“Kamu masih ingat, siapa satpam yang bertugas pagi itu?”

Hendra ingat, ada dua satpam yang menjaga pos di pintu masuk pada waktu itu. Mereka berjaga bergiliran. Biasanya, pagi sampai siang adalah jadwal Pak Imam di tempat itu. Sore hingga malam dijaga oleh Pak Yunus.

“Bagaimana kalau nanti kita ke sana?” tanya Akbar.

“Ke mana?”

“Ke rumah Pak Imam lah. Bukannya dia yang jaga pagi waktu itu?”

“Kamu ke sana sendiri bisa? Sore ini aku harus mengantar adik latihan badminton. Bisa ngambek dia nanti kalau aku tidak mengantarnya.”

Akbar mengeluh. “Akan lebih baik kalau kamu juga ikut, Ndra,” ucapnya. “Atau gini aja deh. Aku ikut mengantarkan adikmu, lalu kita ke rumah Pak Imam berdua saat adikmu latihan. Selesai latihan, kita bisa menjemputnya lagi. Dengan begitu, kita sudah mendapatkan hasil sore ini. Gimana?”

Hendra masih mempertimbangkan tawaran itu saat Akbar berkata, “Kamu juga ingin kasus ini segera terungkap kan, Ndra? Atau… memang sebenarnya, kamu mau kematian Airin tetap menjadi teka-teki?”

“Ah, kamu pakai mengancam segala.”

“Bukan ancaman, ini pilihan, Ndra.”

Hendra akhirnya menyerah.

“Nah, gitu dong, Ndra. Lagipula, kamu untung kan kalau aku ikut mengantar adikmu. Kamu gak perlu capek-capek nyetir, bisa duduk santai di dalam mobil.”

“Iyaa.”

Mereka berdua pun berpamitan kepada Simbok. Sebelum pergi, Akbar sempat bertanya, “Kira-kira, kapan teman Simbok akan datang lagi? Saya ingin bertemu dengannya.”

“Besok mungkin dia ke sini, Nak. Biasanya dua hari sekali. Entah kenapa hari ini dia tidak datang.”

“Oh, iya, Mbok. Kalau begitu, besok pagi saya usahakan bisa ke sini lagi.”

Simbok senang mendengarnya. “Iya, Nak. Senang sekali kalau kalian bisa ke sini tiap hari. Jadi Simbok tidak sendirian lagi.”

“Ya sudah, Mbok. Kami pamit dulu ya. Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikum salam. Hati-hati, Nak. Jalannya sempit. Kalau sampai di tikungan depan sana, jangan lupa bunyikan klakson dulu biar tidak sampai berpapasan dengan mobil lain.”

“Siap, Mbok.”

⸙⸙⸙⸙⸙⸙⸙

Mobil sedan berwarna silver itu baru saja melaju saat ponsel Hendra berdering. Panggilan dari Cindy.

“Halo, Cindy! Assalamu’alaikum.”

“Halo, Hendra. Kamu di mana sekarang?” ucap Cindy dari seberang sana.

“Aku masih di jalan, Cin. Ada apa?”

“Kayaknya, dari tadi ada yang mengikutiku, Ndra. Aku takut.”

“Apa?!” Hendra menyalakan speaker ponsel agar Akbar ikut mendengar pembicaraannya dengan Cindy. “Siapa yang mengikutimu, Cin?”

“Aku tidak tahu siapa orangnya, Ndra. Pakai jaket hoodie. Wajahnya tidak terlihat.”

“Kamu masih di Solo kan?”

“Mm, sebenarnya… aku tidak di Solo, Ndra. Aku ada di rumah mama sekarang.”

“Apa?”

Hendra terkejut mendengar ucapan Cindy. Apa-apaan anak ini? Bukankah katanya, dia sedang isolasi di Solo. Kenapa sekarang dia sudah ada di rumah mamanya? Hendra takut. Bagaimana jika pelaku teror itu mendapatkan Cindy?[]

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 21, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Rahasia AirinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang