Another April Mop?

4 1 0
                                    

“Maka jadilah seperti teratai, yang tetap indah walaupun berada di dalam lumpur!”

Ucapan Hendra menyadarkan Akbar. Ya, kematian wanita yang ternyata bukan Reni ini sama persis dengan kalimat itu. Kalimat yang ditulis Airin sesaat sebelum dia meninggal.
Jasad yang tampak cantik di antara kotornya lumpur dan noda darah, serupa teratai di antara kelamnya tanah berlumpur!

Tak jauh dari sana, tampak seseorang yang juga tersenyum dan menggumamkan sesuatu. “That is another April Mop.”

⸙⸙⸙⸙⸙⸙⸙

Ya, hari ini adalah hari peringatan satu tahun kematian Airin. Wanita muda yang hobi menulis itu diduga meninggal karena terlalu lelah mengetik terus menerus selama tiga hari.

Saat itu, Akbar sempat diberitahu oleh salah seorang sahabatnya bahwa kematian Airin tidak wajar. Harus dilakukan autopsi untuk mengetahui penyebab sebenarnya. Sayangnya, waktu itu warga sekitar menolak dugaan tersebut karena tidak ditemukan tanda-tanda penganiayaan fisik. Selain itu, Simbok—satu-satunya keluarga Airin—tidak mengizinkan jika cucu semata wayangnya diautopsi.

“Biarlah Airin meninggal dengan tenang,” ucapnya. Dia takut jika proses autopsi hanya akan merusak jasad Airin dan bisa menimbulkan keresahan.

“Airin tidak pernah keluar rumah, Nak. Dia juga tidak punya musuh. Ya, bagaimana punya musuh? Wong teman saja dia gak punya. Setiap hari hanya berhadapan dengan layar laptop ini saja,” ucap Simbok saat Akbar dan Erina, sahabatnya, menanyakan tentang adanya kemungkinan pembunuhan terhadap Airin.

“Bagaimana dengan Rangga?” tanya Akbar.

Simbok menghela napas dan terdiam sejenak saat mendengar nama itu. “Dia satu-satunya teman Airin yang masih sering ke rumah setelah Airin lumpuh. Aku sendiri sebenarnya tidak suka sama anak itu. Dia terlalu memanfaatkan Airin. Tapi ya, bagaimana lagi, Nak? Airin menyukai pemuda itu. Lagipula, uang yang didapatkannya dari Rangga selama menjadi penulis juga lumayan besar untuk kami.”

“Rangga sudah tahu atau belum, Mbok, kalau Airin meninggal?” Erina si rambut poni bertanya sambil mencari-cari sosok lelaki yang menjadi bahan pembicaraan Akbar dan Simbok.

Simbok hanya menggeleng tanda tak tahu. “Sudah beberapa hari ini dia tidak datang. Entah ke mana anak itu.”

⸙⸙⸙⸙⸙⸙⸙

Reyhan menghubungi kantor pusat, meminta bantuan untuk mencari data orang hilang. Akbar mengajak Hendra untuk keluar dari kamar dan kembali ke bawah.

“Apakah keluarga Reni sudah diberitahu?” tanya Akbar. Hendra menggeleng.

“Yang aku tahu, Reni anak angkat seorang pengusaha kaya di Sidoarjo. Aku tidak punya kontaknya.”

“Anak pengusaha kaya? Kenapa bisa tinggal di indekos sempit begini?”

“Reni tidak suka hidup terkekang aturan, Pak. Karena itulah pergi dari rumah dan tinggal di sini bersama Cindy.”

“Ooh iya. Bukannya dia punya teman sekamar ya? Yang mana dia?” Akbar mencari data Cindy dalam deretan nama penghuni gedung.

“Cindy masih isolasi di Solo karena dikhawatirkan terinveksi virus.”

Reyhan yang menjawab pertanyaan itu. Akbar menoleh ke arahnya lalu tersenyum.

Reyhan kembali memeriksa alibi setiap orang yang tinggal di indekos tersebut, terutama orang yang terekam CCTV, keluar masuk gedung pada sore hari hingga pagi tadi.

Dua belas mahasiswi dan pekerja memiliki alibi yang kuat, begitu pula dengan ibu pemilik indekos. Hanya ada tiga orang yang tidak memiliki alibi pada saat kejadian, yaitu seorang mahasiswi yang tinggal seorang diri di kamar lantai empat, lelaki petugas kebersihan yang tinggal di lantai bawah, dan wanita tua asal Kota S yang tinggal di kamar 318.

“Ke mana Nenek kemarin malam sampai tadi pagi?” tanya Reyhan. Dari rekaman CCTV, diketahui bahwa Nek Inah meninggalkan gedung indekos pada pukul 19.10 dan baru kembali tadi pagi pukul 05.15. Nenek tua yang masih tampak cantik itu terdiam. Raut wajahnya tampak begitu sedih dan kecewa.

“Nek? Nenek dengar apa yang kutanyakan?”

“Nenek tinggal di sini sebenarnya untuk mencari cucu Nenek,” jawabnya kemudian. “Hampir setiap hari selama satu bulan ini, Nenek selalu keluar setiap malam, mencarinya dari satu gang ke gang lain, dari satu ruko ke ruko lain.”

“Ruko? Memangnya, cucu nenek kerja di toko? Jadi karyawan gitu? Atau punya kenalan pemilik toko di Malang sini?”

“Bukan di dalam toko, sebenarnya. Nenek khawatir kalau dia tidur di emperan toko. Membayangkan dia tidur kedinginan setiap malam, kelaparan, sungguh membuat hati sakit. Nenek tidak akan bisa tidur dengan tenang sebelum cucu Nenek diketemukan.”

“Memangnya, cucu Nenek ada di kota ini? Apa jangan-jangan, dia tersesat di sana, Nek, di lingkungan sekitar tempat tinggal Nenek, mungkin?”

“Saya menemukan e-ticket kereta api menuju Stasiun Kota M dalam emailnya. Sudah jelas kalau anak itu berangkat ke sini.” Reyhan tersentak mendengar jawaban Nek Inah barusan.

Email? Nenek Inah bisa membuka email? Reyhan memandang wajah penuh kerut itu penuh selidik.

“Nenek juga sudah minta tolong petugas stasiun untuk mencetak e-ticket cucu Nenek.”

“Boleh saya lihat e-ticket-nya?”

Wanita tua itu mengulurkan sebuah e-ticket yang sudah dicetak di kertas kuning yang warnanya sudah hampir pudar. Reyhan mengangguk-angguk, lalu mengembalikan kertas itu kepada Nek Inah.

“Nenek sudah lapor polisi?”

“Sudah, tapi masih belum ketemu.”

“Memangnya, sudah lama cucu Nenek meninggalkan rumah?” Akbar yang penasaran ikut-ikutan bertanya.

“Dia meninggalkan rumah tepat tanggal satu April setahun yang lalu.”

Hendra tersentak mendengarnya. “Apa? Sekarang tanggal satu April?”

Semua orang dalam ruangan mengalihkan pandangan kepadanya.

“Kenapa, Hendra? Ada yang aneh?” tanya Pak Reyhan.

Hendra mengangguk. “Satu April tahun lalu adalah hari kematian Airin. Jadi sudah jelas, Pak. Dua peristiwa ini saling berhubungan.”

⸙⸙⸙⸙⸙⸙⸙

Jasad wanita dalam kamar 317 telah dibawa ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut. Nek Inah diperbolehkan kembali, dengan syarat jika dipanggil ke kantor polisi sewaktu-waktu harus siap dan segera datang.

Reyhan melanjutkan interogasinya kepada Pak Burhan, lelaki petugas kebersihan.

“Kenapa Bapak tidak bersih-bersih pagi hari tadi? Bukankah biasanya, Bapak membersihkan gedung ini mulai subuh?” Reyhan juga memperlihatkan CCTV saat petugas pembersih gedung itu keluar kemarin sore dan baru kembali pagi ini.

“Kemarin sore, saya membawa truk ke bengkel. Mesinnya bermasalah. Truk selesai dibenahi pukul setengah sepuluh malam. Saat akan pulang, saya justru terjebak di sana, karena ternyata portal di jalan masuk dekat bengkel telah ditutup. Tentu saja saya kesal karena tidak bisa pulang dan tidur di dalam kamar saya yang hangat. Heran juga, kenapa portal itu tidak ada penjaganya. Siapa yang membawa kuncinya pun tidak jelas. Mungkin nanti saya perlu protes ke ketua RW di sana.” Pak Burhan menjawab sambil menggerutu.

Reyhan mengangguk-angguk. Peristiwa seperti itu memang sering terjadi akhir-akhir ini. Jika tidak diawasi, portal akan ditinggalkan dengan anggapan tidak ada kejadian darurat atau tidak akan ada seorang pun yang akan melewati tempat itu.[]

Rahasia AirinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang