Nine : Conversation

1.3K 278 20
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


•••

Hari itu juga Jungwoo si pemilik perusahaan meminta seluruh staf agar berkumpul di convention hall. Jungwoo tak mengadakan rapat penting, ia hanya ingin melihat dan bicara secara langsung pada seluruh karyawannya.

Terkejut. Dari ratusan karyawan yang ia miliki, hampir setengahnya memutuskan pindah ke perusahaan anaknya.

Jungkook itu pintar lebih condong ke licik. Anaknya itu tidak meminta perusahaan induk, tapi dia berusaha mengubah perusahaan cabang agar maju pesat melebihi perusahaan milik Jungwoo. Sebenarnya tidak masalah jika Jungkook melakukannya atas kerja keras sendiri, mengembangkan perusahaan cabang melebihi perusahaan induk. Tapi yang aalah anaknya itu meminta dana darinya dengan tidak sopan, selain itu dia juga mengambil karyawan kebanggaan Jungwoo.

"Bagi siapa saja yang telah menandatangani kontak perusahaan cabang, harap tinggalkan aula." nada Jungwoo stabil.

Sebanyak karyawan yang telah memutuskan untuk bekerja sama dengan Jungkook telah angkat kaki dari aula. Jumlah mereka memang tak main-main sebab Jungkook tahu cara membujuk dengan baik.

Pandangannya mengedar, terkejut melihat karyawan beranjak dari bangku mereka satu per satu beramai-ramai. Tentu saja kecuali Mari. Ia tak menandatanganinya sebab ia bukan orang yang handal beradaptasi dengan lingkungan baru. Meski di perusahaannya saat ini banyak orang menyebalkan tapi ia bekerja di sini dengan baik. Pantatnya mulai nyaman duduk di kursi panasnya setiap hari.

Beberapa detik melihat para karyawan yang berhamburan keluar aula, tiba-tiba saja tatapannya berhenti pada satu objek secara tidak sengaja. Dan objek itu juga tengah menatapnya saat ini dengan sepasang mata elangnya.

Han Seungwoo. Pria di sana masih belum berkedip saat Mari tak kunjung memutuskan kontak mata mereka. Kini Seungwoo tersenyum miring, yang sangat tidak disukai Mari. Namun sudahlah, sebenci apa pun Mari terhadap Seungwoo, pria itu bukan siapa-siapa lagi baginya, pria itu tak akan membuatnya terpengaruh sebanyak apa pun mereka berpapasan.

Mendadak Mari melihat lurus ke depan lagi saat Presdirnya berbicara.

"Untuk apa yang telah terjadi hari ini, saya sangat berterima kasih bagi siapa saja yang memilih untuk tidak  meninggalkan perusahaan dan tanggung jawab kalian di sini," ujar pria paruh baya itu seolah tak berdaya. "melihat seberapa banyak staf yang memutuskan kontrak, saya ingin setiap kepala divisi atau yang mewakili datang ke ruang rapat. Saya tahu ini tidak mudah bagi karyawan saya, tapi ini juga tidak mudah bagi saya untuk kembali mengatur staf saya dan memperbaiki tatanan perusahaan setelah banyak kehilangan banyak tenaga kerja di sini...,"

•••

Mari mengemasi barang-barangnya. Ini sudah hampir tengah malam ketika ia hendak pulang. Karena masalah tadi, seisi perusahaan nampak kacau balau. Bagaimana tidak? Mereka yang memutuskan kontrak dengan serta merta meninggalkan tugasnya begitu saja. Dan pekerjaan mereka ditangguhkan pada staf lain dan tentu saja mereka susah menerimanya lantaran pekerjaan mereka saja belum selesai, sudah dibebani tanggung jawab lain.

Semua orang tahu, kacauan ini tidak terlepas dari campur tangan putra Presdir Jeon Jungwoo—Jeon Jungkook. Mari tak menyangka jika pria itu tega berbuat hal sedemikian rupa pada sang ayah. Padahal jika Jungkook mau penambahan karyawan di perusahaan cabang, harusnya pria itu merekrut orang baru. Bukannya seperti ini.

Mari mematikan komputer, meninggalkan ruangan kerjanya kemudian ia melihat Seungwoo berdiri di ambang pintu saat Mari berniat keluar ruangan. Ia tertegun kaget, pria itu masuk dan tak Mari sadari sama sekali.

Melihat presensi Seungwoo di ruangannya tak membuat Mari sekadar bertanya atau menyapanya, bahkan tersenyum pun tidak tak peduli Seungwoo termasuk atasannya.

Seungwoo berjalan perlahan mendekati Mari sembari melihat ruangan ini hanya ada Mari yang tersisa—termasuk dirinya yang baru datang. "Kamu tahu kenapa kamu diterima kerja di sini? Karena divisi ini yang anggotanya paling sedikit. Cuma tersisa tiga dari lima orang satu divisi setelah mereka pergi." katanya kemudian tertawa remeh.

"Harusnya kamu urus divisi kamu sendiri. Bukannya ngajak ngobrol karyawan lain yang harusnya mau pulang sekarang." ketusnya.

Tak terduga Mari bisa berkata demikian padanya. Tapi memang bisa saja jika wanita itu memiliki kadar kebencian yang teramat besar terhadapnya. Dan sepertinya Mari memang masih memilikinya.

"Saya ikut rapat hari ini, seluruh kepala divisi ikut. Cuma dari divisi kamu yang ngga hadir."

Mari mengernyit, bisa-bisanya Seungwoo bilang demikian padahal seingat Mari tadi salah satu rekan kerjanya bilang akan jadi perwakilan rapat yang diadakan. Entah sebenarnya ada urusan apa hingga temannya berbohong, tapi Mari tak mau menyalahkan orang lain demi membela dirinya sendiri. "Aku..., aku masih ada kerjaan." jawabnya.

Seungwoo tergelak pongah. "Itu bukan alasan. Semua karyawan sibuk," berikutnya Seungwoo mengeluarkan secarik catatan kecilnya dan ia berikan pada Mari. "datang ke ruanganku besok."

Mari menatap tajam Seungwoo. "Kalau aku nolak?" tukasnya tanpa banyak berpikir.

Terlihat jelas jika wanita di depannya ini masih sangat membenci dirinya. Cukup mudah mengetahuinya mengingat mereka punya masalalu yang tak menyenangkan—bagi Mari.

"Kamu ngga bisa nolak. Saya atasan kamu di divisi yang sama." jawab Seungwoo membuat Mari bingung.

"Maksudnya?"

Seungwoo tak mau memberi penjelasan lebih namun secara sengaja ia memasang raut nakalnya di depan Mari. "Aku tunggu kedatangan kamu ke ruanganku besok.

•••


Jungkook masih saja betah melamun daripada memejamkan mata ketika sang istri tengah memeluknya hangat. Pelukan itu tak cukup membuatnya mengantuk sementara ada yang mengusik pikirannya soal mutasi karyawan dari perusahaan induk dan bagaimana mereka menyesuaikan diri di lingkungan baru.

Sang istri menarik napasnya dalam-dalam lalu membuangnya perlahan. "Aku sampai lupa kapan terakhir kali kamu tidur di sini."

Jungkook mengerjapkan matanya seakan baru tersadar jika sang istri ada bersamanya. Lantas ia mengulurkan lengannya, baru membalas pelukan sang istri kemudian mengecup keningnya ringan. Ibu jarinya mengusap lengan Seolhee lemah. Sementara Jungkook yang memilih tak merespon, ia justru memejamkan matanya, membiarkan Seolhee terus berbicara dengan antusias seperti biasanya ketika Jungkook tak bisa menahan kantuk.

"Aku seneng bisa meluk kamu kayak gini. Andai aja kita punya lebih banyak waktu." bisik Seolhee sedih sembari mengusap dada Jungkook lalu ia mendongakkan kepalanya. Menyadari pria itu tengah memejamkan matanya membuat Seolhee merasa tak dianggap sama sekali.

Kadang ada kalanya Seolhee mengerti Jungkook lelah dengan pekerjaannya. Tapi tidakkah kesibukan Jungkook yang katanya tak bisa diganggu gugat itu membuatnya merindukan sang istri? Kenapa pria itu justru tak acuh padanya saat mereka ada waktu berdua.

"Jeon...," panggil Seolhee dengan nada lembut, tangannya merambat menyentuh sebilah pipi sang suami lalu mengusapnya pelan hingga membuat Jungkook bersuara kemudian.

"Kita selalu punya banyak waktu, Seolhee." katanya membuat Seolhee diam cukup lama seolah menunggu Jungkook mengatakan kalimat selanjutnya.

Jungkook membuka bibir tipisnya lagi. "Cuma ngga ada salah satu dari kita mau berusaha buat luangin itu untuk satu sama lain."

•••

Luv,
starbookdialy

AFFAIRS FAULT || JJKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang