Bored.

26 2 0
                                    

Deska tidur telentang di pinggir ranjangnya. Kepala pria 20 tahun itu mendongak ke atas, tepatnya menatap sekitar 15 tabung berisi cairan pengawet yang di dalamnya terdapat organ-organ manusia. Salah satunya adalah telinga milik si bocah Boston yang berhasil ia bawa dengan aman ke Rusia. Deska tak berbohong saat mengatakan bocah itu beruntung, karena Deska memang tak sembarangan memajang organ di kamarnya. Hanya organ yang bagus, dan disukai olehnya yang terpajang.

Deska senang bepergian jauh. Bukan tanpa sebab, tujuan utamanya mengunjungi suatu negara adalah untuk mencari organ yang bisa ia koleksi. Deska akan membunuh setidaknya 30 orang atau tergantung berapa lama ia tinggal di negara tersebut, dan dari sekian korbannya pada akhirnya hanya akan ada 1 organ seseorang yang dibawa Deska pulang. Bisa di bilang ini adalah koleksi yang unik, langka juga mengerikan.

Hal ini pertama kali dilakukan Deska saat ia genap berusia 17 tahun. Organ pertama yang ia jadikan koleksi adalah jantung seorang model ternama asal Florida yang entah kenapa membuat Deska jijik begitu melihat wajah model itu dimana-mana saat ia mengunjungi Florida kala itu. Dan yang membingungkan adalah, Deska sangat menyukai bentuk dan warna jantung model tersebut. Meskipun tidak ada bedanya dengan jantung lain, tapi entah kenapa Deska tetap menyukainya.

"Bosan!"

Deska memejamkan matanya sejenak, ia merasa sangat bosan. Hari ini tepat seminggu sejak ia kembali ke Rusia, kakaknya yang protektif itu tak akan membiarkan dirinya pergi lagi. Ah, dan entah kebetulan atau ada campur tangan sang kakak, Deska tak ada jadwal apapun seminggu ini dan ia tidak diwajibkan datang ke universitas. Deska sangat dongkol.

"Deska!"

Deska membuka mata.

Belum mempersilahkan orang yang memanggilnya masuk, pintu sudah terbuka dan sosok Tawnya tampak di mata Deska sekarang. Tawnya berdiri tepat di depan jejeran tabung yang tengah Deska pandangi beberapa saat lalu. Si bungsu mengacungkan pisau dengan gagang yang terukir indah di depan Deska yang masih berbaring.

"Apa pisau ini bagus, Deska?" Tawnya tersenyum lebar sembari mengedipkan matanya beberapa kali.

Deska bangkit, mengambil pisau yang terlihat sangat indah itu."Ya, pisau yang bagus. Darimana kau mendapatkannya?"

"Yeahhh!" Tawnya tiba-tiba memekik.

Deska menatap adiknya itu datar. Sudah menjadi hal yang lumrah jika psikopat selalu menyembunyikan emosi yang mereka rasakan, itu salah satu teknik kamuflase agar lawan tak bisa menebak perasaan dan pemikiran mereka, yang sudah pasti melenceng jauh dari manusia pada umumnya.

"Yanka mengirim pisau ini dari Milan, dia bilang dia memesan pisau ini karena tiba-tiba teringat denganku! Ah, bagaimana ia tahu jika pisauku sudah usang? Hm padahal sebenarnya aku berharap Ivan atau Erik yang memberikan, tapi malah Yanka yang jauh di sana yang memberikan pisau baru untukku, huhu tiba-tiba aku merindukan dia.."

"Kau bisa pergi menemuinya, Tawn. Erik tidak akan melarangmu." Deska menelengkan kepala ke kiri.

Tawnya tak membalas, ia menatap lama pisau ditangan, pisau pemberian dari kakak ketiga mereka yang menetap di Milan selama 1 tahun ini. Sejenak ia seperti tersedot ke dalam pikirannya, tatapan pria muda itu kosong. Hembusan napas pun terdengar pelan, bagai orang yang sedang tertidur tapi mata Tawnya terbuka lebar.

Deska yang melihat itu seketika sadar akan sesuatu, dan menepuk bahu adiknya itu. Tawnya tampak tersentak, ia menatap sekelilingnya dengan beringas seolah kesadaran baru saja kembali padanya.

"Kau sudah minum pilmu?" Deska menarik lengan Tawnya lembut untuk duduk dipinggir ranjang, tepat disebelahnya.

Tawnya tak menjawab, ia seperti orang linglung yang kehilangan fokus. Deska menepuk punggung adik kembarnya itu beberapa kali, ia menyenandungkan lagu yang dapat membuat Tawnya tenang. Tiba-tiba, tubuh Tawnya terjatuh ke belakang. Ia tertidur.

Deska [on going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang