Bukan Mimpi

74 18 56
                                    

Suasana pagi hari tampak seperti aktifitas sekolah pada umumnya. Matahari masih malu-malu menampakkan diri.Para murid satu persatu mulai berdatangan untuk tujuan yang sama, menuntut ilmu.Suasana sekolah sangat hangat dengan keceriaan dari para murid yang bersemangat menyambut pagi.

Namun, suasana berbeda terlihat di taman kecil yang terletak di belakang sekolah. Di salah satu sudut taman, terlihat sepasang kekasih sedang berdiri berhadapan. Keduanya adalah Mason Abraham, siswa kelas XI dan Elena Katerine, siswi kelas X. Mereka merupakan sepasang kekasih yang sangat ideal. Mason dengan wajah tampannya, sedangkan Elena dengan kecantikan dan kepintarannya. Namun kini hubungan mereka sedang dirundung masalah.

"Maaf, aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini-Mason." ucap Elena lirih. Air matanya sekuat tenaga dia tahan agar tidak mengalir membasahi pipinya.

"Jangan bercanda Elena? ini hari tepat empat bulan kita jadian." Mason menatap kekasihnya dengan gusar. Kedua tangannya masih menggenggam erat tangan Elena.

"Aku tidak sedang bercanda, aku serius ingin mengakhiri semuanya," ucap Elena sambil melepaskan genggaman tangan Mason.

Mason menatap mata biru Elena sekali lagi. Tidak ada sedikitpun kebohongan disana.

"Tapi kenapa? Apa yang salah dari diriku? Apa yang sebenarnya terjadi?"

"Kau terlalu asyik dengan duniamu, kau tidak pernah mengerti perasaanku." Isak tangis Elena terdengar nyaring melampiaskan semua rasa kecewanya.

"M-maaf, apa maksudmu? Aku tidak ingin semuanya berakhir sayang," ucap Mason, "Jangan lakukan itu, jangan pergi." Mason memelas kepada kekasihnya.

"Kau terlalu larut dengan organisasimu, bahkan kau sering mengabaikanku. Aku lelah." Bibir Elena tercekat. Raut wajahnya melukiskan rasa kecewanya yang teramat dalam atas sikap Mason selama ini.

"Bukankah sejak awal kau sudah tahu bagaimana kesibukanku? Tetaplah bersamaku. Please, jangan pergi," pinta Mason sekali lagi.

"Tapi aku tidak bisa, terima kasih atas semuanya. Aku harus pergi."

Elena meninggalkan Mason yang masih berdiri terpaku. Ucapan Elena meminta perpisahan bagai petir yang menyambar hatinya. Tentunya ini bukan mimpi disiang bolong. Ini realita yang harus dihadapi oleh seorang Mason Abraham.

Dengan langkah gontai Mason berjalan menuju ruang kelas. Mason memasuki ruang kelas XI IPA 4, kelas jurusan IPA yang terkenal dengan segudang prestasinya. Hampir sebagian besar siswa penghuni kelas tersebut pernah merasakan juara di berbagai lomba. Mason sangat beruntung bisa menjadi salah satu diantaranya.

Mason menyandarkan tubuhnya pada bangku kelasnya. Tatapannya kosong menerawang langit-langit ruang kelas. Bulir air matanya secara tak sadar jatuh mengalir di pipinya. Namun dengan cepat Mason segera menghapusnya, sebelum teman-temannya mengetahui.

Tak berselang lama Bu Shofi guru  yang mengampu mata pelajaran Matematika memasuki ruang kelas. Kelas yang semula ramai kini sunyi tanpa kata. Mulut mereka terbungkam dan fokus mereka tertuju pads materi demi materi yang di sampaikan oleh Bu Shofi yang sedang mengajar. Beliau yang juga wali kelas Mason memang terkenal paling killer di sekolah.

Mason mencoba mengalihkan fokusnya, sama seperti murid lainnya. Namun nyatanya masalah asmaranya malah seakan menjadi pengganggu dirinya. Tak ada raut semangat diwajahnya. Wajahnya mendung, menandakan dirinya sedang dirundung duka.

"Apa yang terjadi?" tanya Mateo yang merupakan teman sebangku sekaligus sahabatnya.

Mason tak menjawab sepatah katapun.Dia malah mengeluarkan ponsel miliknya dan bermain game moba kesukaannya. Tentunya itu merupakan tindakan gila yang bisa berakibat sanksi jika ketahuan oleh guru yang mengajar. Ditambah ponselnya pasti akan disita dan hanya dapat diambil oleh orang tua Mason.

" Loe, nggak takut ponsel loe disita?" Mateo mencoba mengingatkan sahabatnya.

"Jangan berisik!" bisik Mason dengan mata yang melotot. Tatapan tajamnya seakan memberi ungkapan bahwa dirinya sedang dalam kondisi yang tidak baik.

"Oke, oke aku tidak akan ganggu lagi."

"Fokus sama apa yang diajarkan Bu Shofi, aku pinjam catatanmu nanti sepulang sekolah," ucap Mason pada Mateo.

"Kebiasaan!" cibir Mateo sambil melanjutan aktifitas mencatatnya.

***

Mason masih melotot di layar laptop miliknya. Dirinya masih asyik dengan game bola yang sedang dimainkannya.Padahal, waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Entah sudah berapa jam Mason menghabiskan waktunya untuk bermain game dikamar. Mengurung diri, hinga lupa makan, mandi, bahkan lupa menjalankan ibadah kepada Tuhan.

Patah hati memang menyakitkan. Namun bukan berarti menjadi hilang semangat dan juga hilang arah. Melupakan semua aktifitas yang seharusnya dikerjakan, tapi malah larut dengan hal yang kurang bermanfaat. Bukan begitu juga cara mengalihkan rasa patah hati, benar-benar cara yang salah.

"Apakah mencintai seseorang harus sesakit ini?" gumam Mason seorang diri. Bermain  game hingga larut malam ternyata juga tidak bisa menghapus kesedihannya.

"Apakah semua yang aku korbankan itu tidak ada artinya?"ucap Mason dengan lirih.

Dia masih berharap semua ini hanya mimpi dan dia akan terbangun dari tidurnya. Namun kenyataannya semua bukan mimpi, ini realita yang harus diterimanya walau penuh luka.

Dia berbicara dengan tembok kamar. Tidak ada seorang pun yang dia percaya untuk tempat mencurahkan kesedihannya. Mason memang lebih memilih mengurung diri ketika ada masalah yang sedang dia hadapi.Dia hanya menatap kosong langit-langit kamarnya hingga akhirnya tertidur pulas.

Aku (Masih) Sayang KamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang