Pelangi setelah hujan memang benar adanya. Terbukti dengan sekian lama akhirnya Tuhan memperlihatkan pelan-pelan kepada Sakura warna apa saja Pelangi itu.
Ia tersenyum senang begitu melihat mobil Ayahnya terparkir di depan rumah nya. Hari ini weekend. Dan ia memiliki janji dengan seseorang.
"Hai, Ayah" Kata itu terucap begitu saja dari bibirnya. Dengan sebuah lekungan atas yang menghiasinya.
Jika dahulu kata tersebut sangat tabu di mulutnya, Justru sekarang rasanya begitu nyaman ketika menyebutkan kata itu. Hatinya pun turut menghangat kala panggilan itu ia ucapkan.
Kizashi segera menutup telepon, Tersenyum menyambut Puteri nya.
"Jadi, kita mau kemana, Tuan Puteri?" Tanya Kizashi, menanyakan tujuan sepulangnya Sakura dari sekolah.
Setelah bertemu nya mereka di rumah sakit, keduanya mulai mengakrabkan diri layaknya ayah dan Anak. Ternyata sikap ceria nya adalah turunan dari sang ayah. Selera humor mereka juga sama. Sama-sama rendah.
Mereka layaknya sobat yang telah lama berteman namun baru bertemu lagi. Mungkin karena keduanya memiliki banyak kesamaan sifat, Mereka terlihat seperti sahabat lama. Sakura pun tidak menyangka bahas mengobrol dengan ayah bisa semenyenangkan ini.
Dalam waktu 3 Jam, mereka sudah sangat saling mengenal. Berceloteh ria tentang apa-apa yang selama ini mereka alami. Pun, Kizashi tau tentang ambisi Puteri nya dalam mencari Soulmate.
"Perut ku sakit sekali, seperti nya karena kosong" Kode Sakura, berharap ayah nya ini peka akan dirinya yang ingin mereka makan bersama.
Kizashi menangkap sinyal Sakura, namun ia memilih untuk menjahili Puteri nya terlebih dahulu. Kata temannya yang merupakan seorang ayah, menjahili anak itu sangat seru. Ia juga ingin merasakannya.
"Kalau begitu sebaiknya kita ke rumah sakit saja, Bagaimana jika itu adalah penyakit serius?!" Sahut Kizashi, berpura-pura cemas dan hendak menjalankan mobil.
"Ah ayah tidak peka!" Tukas Sakura, menyilangkan tangan di depan dada dengan bibir cemberut.
Kizashi tertawa, Ternyata semenyenangkan ini menjahili Puteri nya. Ia mengacak pelan rambu merah muda Sakura, "Baiklah baiklah, Mari kita cari sarapan dulu" Katanya.
-oOo-
Mungkin benar, Dirinya terlalu fokus terhadap pencarian soulmate nya sehingga kurang memerhatikan lingkungan sekitarnya. Contohnya saja momen bersama keluarga seperti sekarang.
Sakura selalu bertanya-tanya, bagaimana rasanya makan satu meja dengan orang tua? Apakah membosankan? Seperti yang Teman-teman kelas tinggi nya yang berkata demikian. Yah, Dikarenakan attitude juga sih.
Teman-teman kelas atas disini maksud nya adalah anak-anak yang berasal dari keluarga berada. Mereka tidak jarang bercerita tentang Canggung nya berbicara dengan orang tua bahkan makan satu menjadi dengan mereka. Atau ketika mereka yang diharuskan bersikap sopan bahkan harus izin ketika hendak berbicara.
Sebagai seseorang yang selalu memandang buruk diri sendiri dan membandingkan dirinya dengan orang lain dan berujung minder, Sakura merasa bersalah. Tak lama kemudian ia mengucap syukur berkali-kali dalam hati. Rupanya, terlahir di keluarga yang berada tidak semenyenangkan itu.
Mereka mungkin memiliki banyak uang, tapi Orang Tua gila kerja. Dengan alasan membiayai hidup keluarga, sampai-sampai saat berkumpul pun suasana sangat canggung. Atau ketika diharuskan nya menjunjung tinggi tata krama sebagai bentuk kesopanan, Sehingga setiap makan di meja yang sama, hanya suara dentingan alat makan yang mengisi.

KAMU SEDANG MEMBACA
I Love Me!
FanfictionSoulmate itu harus dicari bukan di tunggu. Sakura selalu bertanya pada orang-orang disekitarnya "Apakah kau menyukai ku?" Tapi selalu berujung Kegagalan, karena dirinya belum dipilih sebagai pelabuhan hati. Sampai suatu hari ia Mendapat Surat-sura...