“Ini Iko yang lu bilang mau ngisi kamar bekas Andrea, Jak? Gua kira dia laki, anying.”
“Luarnya doang cewek, dalemnya cowok kok.”
Buagh.
Satu sikutan melayang di perut Zakaria atau lebih akrab disapa Jaka. Sore ini Yoriko resmi pindah ke Kosan Pak Wawan yang konon katanya Pak Wawannya sendiri tinggal di Jakarta. Menikmati hari tua sambil menerima pundi-pundi kekayaan setiap bulannya yang ia tanam lewat bangunan itu.
Di depan Yoriko, ada Jaka dan Krisna. Dua-duanya mahasiswa tingkat akhir dari fakultas yang sama, jurusan yang sama, offering yang sama. Gak salah kalau banyak teman yang panggil mereka dengan sebutan biji. Abis kemana-mana selalu berdua, rasanya kalau yang satu gak ada bakalan mati aja yang satunya lagi.
Jodoh, mungkin.
“Ko, barang-barang lu cuma ada segini aja?” tanya Krisna perihal dua koper yang berdiri kokoh di samping Yoriko.
Si sulung Yoriko mengangguk mantap, “Selebihnya udah dibawa sama Mas Jaka kemarin. Kunci kamar gue ada di mana ya, bang? Mau cepet-cepet diberesin soalnya takut males kalo udah malem.”
“Oh, itu minta aja sama Kiki. Ya udah yak gua cabut dulu, mau molor,” balas Krisna lalu berlalu ke kamarnya.
Yoriko mengernyitkan dahi, bingung. Baru datang sudah disuruh minta kunci ke Kiki, Kiki siapa aja dia nggak tau? Terus mau minta kunci kemana?
“Mau gua anterin?” tawar Jaka bisa baca situasi. Langsung saja dijawab “Mau!” sama yang ditanya.
Ngomong-ngomong, Jaka ini seniornya di sekolah dulu. Kebetulan mereka satu kampus jadi Yoriko banyak tanya perihal masa ospek dan keperluan selama hidup ngekos di Malang. Semenjak itu, dia jadi dekat sama lelaki jangkung pemilih nama (hanya) Zakaria.
“Ki, minta kunci kamar,” ucap Jaka masuk ke dalam bilik kamar yang terletak di samping dapur. Setelah ditanya ke Jaka, barulah Yoriko tau kalau Kiki ini ponakan yang punya kosan alias Pak Wawan. Kiki diamanahi pakdenya untuk tinggal dan menjaga kos di sini.
“Kunci kamar Andrea tah, mas? Sek tak bukaen langsung ae.” Kiki keluar dari kamar, masih lengkap dengan sarung motif kotak membelit di pinggangnya. Sementara atasannya, baju koko berwarna putih gading.
Waduh akhi, pikir Yoriko.
“Yoriko?” Yang dipanggil mengangguk. “Sini aku bawain barangnya. Maaf ya tadi lagi sholat jadi belum sempat cek hape.”
Suara Kiki lembut dengan aksen jawa kental yang masih bisa didengar Yoriko. Tangannya langsung mengambil alih dua buah koper yang semula dalam kendali sang empu. Yoriko sebetulnya nggak keberatan kalau dibawa sendiri, tapi gadis itu nggak enak sama Kiki yang sudah repot mau bantu bawa barangnya itu.
Yoriko mengekor di belakang pemuda tinggi tersebut, membawanya ke salah satu kamar di lantai dua. Letak kamar Yoriko ternyata tepat di samping tangga, enak kalau lagi telat kuliah bisa langsung turun ke bawah.
“Mbak, ini kamarnya,” ucap Kiki menyilakan Yoriko untuk masuk ke kamar barunya.
Kamarnya tidak terlalu besar, namun tidak juga kecil. Ada kamar mandi di dalam, cocok untuk Yoriko yang suka menghabiskan satu jam penuh di kamar mandi. Yang terpenting ada balkonnya! Kamar kos Yoriko yang sebelumnya tidak punya balkon, tetapi di kosan ini seluruh kamar di lantai dua punya balkon. Mungkin sebagai ganti ruang tv di lantai satu. Soalnya di lantai dua, ruangan untuk kumpulnya agak kecil.
“Di kosan ini ndak ada jam malamnya, tapi kalau mau pulang larut sebaiknya kabari anak kosan dulu. Jadwal piket sesuai peraturan per lantai, khusus di lantai dua penganggung jawabnya mbak Winda. Orangnya belum pulang, nanti kalau sudah pulang saya suruh datang ke kamar mbak Yoriko,” jelas Kiki panjang lebar mengenai peraturan di sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wabi-Sabi.
FanfictionKemunculan gadis dengan warna rambut nyentrik membuat hidup Saka jungkir balik. Tingkah Yoriko yang tidak bisa diprediksi tak pernah lepas dari perhatian sang wira. © cartoffeln Alternative Universe.