Empat: Anak Ayam.

180 43 11
                                    

Sudah lewat dua minggu sejak pertama kali Yoriko menginjakkan kakinya di Kos Pak Wawan. Bisa dibilang, gadis itu sudah mengenal akrab dengan seluruh penghuni kos tiga lantai. Memang pada dasarnya kemampuan bersosialisasi Yoriko sangat baik, ditinggal di negeri antah berantah seorang diri pun dia pasti bisa hidup.

"Saka, makan apa?" tanya Yoriko ketika baru menuruni tangga, dilihatnya sosok lelaki sebayanya tengah menikmati sarapan di meja makan.

"Bubur ayam," jawab Saka singkat.

"Cobain dong!" seru gadis berkulit seputih susu.

Pada awalnya Yoriko agak takut dengan lelaki ini, sebab Saka menutup mulutnya rapat. Jarang bicara. Matanya selalu menatap tegas. Biasanya orang seperti Saka tidak cocok dengan kepribadian riang dan gak tau malu Yoriko. Tetapi semenjak peristiwa jemuran itu, Yoriko sering mengajaknya berbicara. Saka juga terkadang bertanya duluan. Paling sering dia tanya soal monyet.

Monyet adalah kucing kampung yang dipelihara anak Kos Pak Wawan. Di antara penghuni lain, Saka yang paling peduli dengan monyet. Soalnya, di rumah Saka nggak diperbolehkan memelihara hewan. Adik Saka mengidap penyakit asma.

Yoriko mempercepat langkah kakinya menuju Saka di meja makan. Diliriknya isi mangkuk bubur lelaki itu.

"Ih, gak diaduk!" Yoriko mengernyit keheranan. Apa-apaan dengan bubur gak diaduk! Kurang nikmat, tau!

"Psikopat katanya kalo orang makan bubur diaduk," balas Saka tidak mau kalah.

Kepala Yoriko tergeleng-geleng. "Gak papa deh, yang penting gue bagi bubur lo dikit ya. Males masak."

"Jangan diaduk." Saka memperingatkan.

"Iya, bapak Sakaaa."

Yoriko menundukan badannya di samping lelaki berkacamata tersebut. Sebelumnya Yoriko sudah mengambil sendok baru terlebih dahulu, jadi nggak pinjam sendoknya Saka juga. Yang dimakan buburnya, tetapi yang enak aroma rambut Saka pagi ini. Ini anak kenapa wangi amat deh, pikir Yoriko.

"Tuh, udah. Makasih ya!" ucap si gadis berterima kasih. Alih-alih naik ke kamarnya, Yoriko justru duduk di hadapan lelaki itu.

"Lo pake shampoo apa deh? Wangi banget," celetuk Yoriko.

"Gak pake shampoo, cuma pake air wudhu aja," balas Saka tanpa melihat ke arah lawan bicaranya. Lagi mau ngelucu.

"Bisa aja nih karpet masjid." Saka tertawa.

"Eh, tapi serius, Sak. Shampoo wanginya enak. Merk apa sih? Bagi-bagi bisa kali."

"Bagi nama merknya apa sama shampoonya sekalian?"

"Dua-duanya."

"Yeu, dasar." Yoriko cengengesan.

"Gak usah ganti-ganti shampoo. Yang ini wanginya juga udah enak. Wangi apel," kata Saka lalu bangun untuk membuang sampah styrofoam ke tempatnya.

Oh, jadi tadi waktu lagi deket-deketan Saka sempat cium wangi rambutnya Yoriko juga.

. . . . .

"Sak, gimana kalo kita melawan macet lewat semotor berdua?"

Saka menoleh ke belakang menemui wajah yang sudah tidak asing lagi. Yoriko berdiri satu meter di hadapannya, dengan tas yang disampir dan rambut kuningnya yang selalu menarik perhatian. Mungkin kalau pun Yoriko hilang di telan kerumunan, Saka bisa dengan mudah menemukannya.

"Maksudnya?" Saka bertanya balik. Yang keluar dari mulut Yoriko ajaib. Kalimat yang tidak pernah dimengerti Saka, bahkan lewat sepintas di kepalanya saja tidak pernah.

Wabi-Sabi.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang