"Nes, ya elah! Gue jual murah itu. Gue turunin lagi dah harganya 10%. Intinya lo beli, oke? Yang pasti jangan sampai di bawah lima ratus ribu, soalnya gue butuh segitu."
Suara dari seberang membalas pernyataan dari seseorang. Berhasil membuat Gio mengacak rambut dengan gusar seraya bolak balik menyusuri ruangan. Ia memperhatikan kalender di samping kulkas seraya menghitung tersisa beberapa hari sebelum lingkaran merah.
"Iya, Nes. Gue tunggu, oke?"
Telepon dimatikan. Gio mengembus napas panjang, meletakkan ponsel ke meja sebelum menghidupkan televisi yang menayangkan berita internasional.
"Nggak kuliah?"
Suara menyebalkan ini ....
Enggan menoleh belakang, Gio sibuk memindahkan channel yang ada. Siapa pun manusia yang ada, pasti sudah dapat mengetahui siapa pemilik suara menyebalkan yang hobi memerintah itu.
Bang Rean? Tentu saja iya. Satu orang yang ingin Gio kutuki kenapa kehadirannya masih di sini? Bukan lelaki menyebalkan itu harusnya sudah pergi ke perusahaan?
"Jawab pertanyaan gue."
"Nggak," balas Gio singkat.
Rean mengangguk paham. Lelaki dengan kemeja yang melekat di tubuh itu menyingsingkan lengan sejenak sembari menggigit roti bakar yang lagi-lagi berwarna kehitaman dibuat oleh seseorang.
"Dikta ke mana? Gue nggak ada lihat dia?"
Gio mengembus napas kasar, mengabaikan letak dapur yang tidak jauh dari ruang tengah. "Lagi ada urusan bentar di luar. Entaran juga pulang."
Rean mengangkat kedua alis, merebahkan tubuh di samping Gio berhasil membuat adik ketiganya itu refleks menggeserkan tubuh, memberi jarak yang cukup jauh. "Channel itu aja."
Gio melirik sesaat lalu melemparkan remote ke arah samping. Berita laporan tentang naik turunnya saham. Tanda segitiga berwarna merah dan hijau tergambar jelas dari layar tersebut.
"Lo tau apa kegiatan dia akhir-akhir ini?"
Gio tersenyum sinis. "Dibanding tanya sama gue, bukannya lebik baik lo tanya langsung ke orangnya?"
Rean membungkam, tanpa jawaban.
Suasana masih terasa dingin, baik Gio maupun Rean tidak dapat berbicara dengan benar. Jarak tercetak jelas di antara keduanya dan percayalah tidak tahu dimulai sejak kapan. Mungkin saat harapan itu terpatahkan?
Ya, harapan terbesar Gio. Harapan sederhana, tetapi sayangnya sulit untuk diwujudkan.
Gio mengembus napas berat, melirik tajam. "Lo nggak ke perusahaan?"
"Inginnya, tapi lo harus baca ini."
Dahi lebar itu mengernyit sesaat, dirinya yang tadi sedang membenarkan tudung jaket, sontak terdiam kaku, membulatkan mata tidak percaya.
"Bohong lo!"
____
"Dik, hp lo bunyi terus dari tadi."
Dikta yang baru saja menyampaikan pesanan dari pelanggan dengan nomor meja tujuh sontak menoleh sesaat. Reyhan, dengan tergesa cowok itu meraih ponsel yang tak jauh dari laci kasir lalu menyodorkannya ke arah Dikta.
Gio? Dahi itu mengernyit sesaat. Untuk apa adiknya itu sekarang?
"Halo, Yo?"
"Bang! Buruan pulang ke rumah elah. Urgent benaran ini!"
Tidak cukup dahi, tetapi alis tebal itu menyatu, meletakkan kacamata yang hampir turun. "Apaan? Lo masih nggak paham benarin keran a-"
KAMU SEDANG MEMBACA
Brother Notes [OPEN PRE-ORDER]
Teen FictionDi dunia yang menyebalkan ini, ada sebuah rahasia yang paling ingin Rean sembunyikan hingga mati. Tidak peduli orang-orang menganggapnya seperti apa, yang pasti biarkanlah rahasia penuh kelam itu menjadi tanggungannya. Namun di sisi lain, semenjak k...