Masih merenung dengan wajah murung, Murni duduk di sebuah kursi lipat, menatap tubuh putrinya yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Wajah Zaskia tampak pucat dengan selang infus dan oksigen yang terpasang di tubuhnya. Gadis itu dinyatakan koma pasca terjatuh dari lantai dua. Hal itu membuat Murni semakin dirundung rasa bersalah.
Sambil berpangku dagu, wanita cantik yang memakai kemeja kotak-kotak itu menatap tubuh Zaskia dengan sendu. Tatapannya tampak kosong, bahkan wanita itu enggan untuk beranjak dari kursi walau sesaat.
“Murni, mau sampai kapan kamu seperti itu? Kamu lupa, hari ini hari apa?” Rukmini yang baru saja tiba ditemani oleh Hardi, dengan tatapan bengis ia menghampiri putri semata wayangnya itu. Untuk sesaat menatap tubuh sang cucu yang terbaring koma, netra yang dilapisi kacamata silinder berbentuk persegi dengan bingkai yang dilapisi emas itu menatap tajam anaknya, Murni.
Sesuai kesepakatan yang sudah berlaku secara turun temurun, gadis yang sudah menikah saat usianya genap lima belas tahun dan sudah melakukan penyerahan diri dengan mengorbankan darah perawan harus melakukan ritual setiap malam Jumat Kliwon dan Rabu Legi. Itu adalah risiko yang harus diterima Murni sebagai seorang tumbal, meski bukan dengan nyawa taruhannya. Melainkan darah dan tubuhnya sendiri.
“Bu! Aku mohon, sekali ini saja ... izinkan aku berhenti sekali ini saja. Lihat anakku, Bu. Putriku satu-satunya. Karena siapa dia jadi terbaring lemah seperti ini?” geram Murni pada ibunya.
Wanita tua yang sudah ditumbuhi uban di rambutnya itu tersenyum sinis. Rukmini memicing, tidak sedikit pun mengiba saat putri semata wayangnya memelas. “Itu sudah menjadi risiko untukmu, Murni. Ibu gak peduli dengan air matamu itu. Pulang jika nyawa anakmu tak ingin melayang!” Suara Rukmini mulai meninggi.
“Jangan pernah lupa jika kita memiliki perjanjian dengan mereka. Berhenti mengeluh dan lakukan apa yang ibu suruh! Soal Zaskia kamu tenang saja. Nanti ibu suruh Bejo dan Bi Ijah untuk menjaga dia,” lanjutnya.
Murni mengepalkan jemari tangan dengan erat. Wanita itu tak kuasa menahan tangis saat mendengar kata-kata yang terlontar dari mulut ibunya. Demi harta, seorang ibu rela mengorbankan anaknya sendiri. Dasar manusia tak berhati! Murni mengumpat di dalam hati.
“Bu! Zaskia itu anakku ....“
“Kamu juga anakku, Murni!” Rahang tegas wanita tua itu tampak mengeras. Otot-otot di lehernya semakin jelas terlihat. Gigi putihnya pun terdengar bergemeletuk. Rukmini menatap Murni dengan tajam. Ia tampak seperti ibu singa yang sedang mengaum. Sungguh mengerikan.
Murni tak gentar. Ia tetap kukuh pada pendiriannya. Apa pun risiko yang akan ia terima, itu sudah menjadi konsekuensi karena sudah melanggar peraturan yang ada. “Bu, jika memang benar aku anakmu. Kau tak akan tega mengorbankan aku sebagai tumbal pada malam itu!” sentaknya geram.
Murni merasa tak kuasa jika terus-menerus dipaksa untuk bersabar. Sungguh, selama ini ia cukup merasa tertekan. Napas wanita cantik itu tampak terengah-engah. Terlihat dari dadanya yang naik turun dengan cepat.
“Heh!” Rukmini terkekeh, “kalau kamu ingin terbebas dari belenggu itu. Maka lepaskan Zaskia. Ibu tahu. Kamu, ‘kan, yang menahan jiwanya? Kamu sengaja ingin membuat anakmu sendiri menderita. Jiwanya sedang terbelenggu di sana.”
Murni tampak gelagapan mendengar itu. Matanya membulat dengan sempurna. Dalam hati ia mengumpat, sial!
“Murni, anakku ... kenapa kamu tampak terkejut begitu? Benar, ‘kan, apa yang ibu katakan? Kamu tidak ingin Zaskia bernasib sama sepertimu. Menjadi tumbal di malam pertama pernikahannya,” sinis Rukmini.
“I-ibu ... apa yang Ibu katakan? Itu tidaklah benar. Mana mungkin aku berbuat setega itu padanya. Dia anakku. Jelas-jelas makhluk itu yang membunuhnya,” elak Murni seraya memalingkan wajah dengan gelisah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Darah Sang Dara [SUDAH TERBIT!]
HorrorSebuah tradisi keluarga yang mengharuskan anak perempuannya menikah bila sudah genap menginjak lima belas tahun membuat Zaskia muak dan berontak. Gadis remaja itu secara terang-terangan menolak permintaan sang nenek, tetapi nahasnya ia malah mendapa...