Semilir angin pagi berembus meraba dinding kulit hingga ke tulang. Zaskia terduduk di tepi jendela, menatap luasnya hamparan kebun yang mengelilingi rumahnya. Ada hal yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, saat first kiss-nya dirampas tanpa perasaan cinta.
Tangan mungil itu tidak henti-hentinya memainkan bibir merah muda alaminya. Sedari semalam ia berusaha menghapus jejak Arga di sana, tetapi rasanya percuma saja. Sebab, bayangan mengerikan itu terus-menerus terlintas di kepalanya. "Ughh ... menjijikkan!" Zaskia meracau tidak jelas seraya menampar bibirnya sendiri cukup keras.
Murni yang sedari tadi diam memperhatikan di daun pintu pun segera berlari dengan tergopoh-gopoh, lantas mencekal tangan Zaskia agar tak melukai dirinya sendiri. “Sayang, apa yang kamu lakukan?” tanyanya menginterupsi.
“Bu-Bunda, dia ....” Zaskia tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. Dengan gemetar, gadis itu mulai terisak lirih di bahu sang ibunda.
Murni bergeming. Ia tahu apa yang dimaksud Zaskia. Karena semalam ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri. Akan tetapi, Arga sedang berada di luar kendali. Pemuda yang mencuri first kiss putri sulungnya itu dikendalikan sesosok bayangan hitam seperti kabut tebal yang menggumpal.
“Iya, Sayang, bunda ngerti. Tolong maafin bunda, ya? Karena bunda gak bisa nolong kamu semalam.” Tangan Murni mengelus lembut surai hitam putrinya yang diikat sembarang.
“Bunda tahu?” Zaskia mendongak, lantas menatap wajah ibunya lekat-lekat.
Melihat wajah terkejut putrinya, Murni mengangguk pelan. “Iya, Sayang. Bukan Arga yang bunda lihat semalam, tapi sosok lain,” lirihnya dengan pandangan kosong.
Mata bulat itu melotot, tidak mungkin! Zaskia tidak mungkin salah dengar. “So-sosok apa, Bunda?” tanyanya memastikan.
Murni melengos, tidak seharusnya ia berbicara demikian. Sepasang mata tampak mengawasi di sudut ruangan, membuat Murni tidak dapat berkutik. Wanita itu berdeham, lantas menangkup wajah oval Zaskia dan mengecup keningnya singkat. “Sayang, bersiap-siaplah. Kamu sudah ditunggu nenek di bawah. Gih, mandi. Bunda mau menyiapkan sarapan dulu,” kata Murni, berlalu meninggalkan kamar.
Zaskia membeku di tempat. Dia menatap punggung ibunya lekat-lekat hingga hilang ditelan pintu. Kemudian, tubuh gadis itu luruh di lantai. Dengan tangan gemetar, ia menutup wajah saat mendapati sepasang mata tengah mengawasinya. “Kenapa? Kenapa harus aku? Kenapa?!” erangnya terisak lirih.
Bahu gadis itu tampak bergetar, sesenggukan. Antara kesal dan takut, Zaskia tidak berani mendongak. Kepala gadis itu tertunduk setelah merasa ada aura yang mencekam. Ia tahu, ada sosok lain di kamarnya setelah kepergian Murni. Sekilas. Ia hanya melihatnya sekilas. Sosok itu mengintip di balik pintu.
Zaskia semakin sesenggukan. Dia menumpahkan kekesalannya melalui tangisan. Masih enggan untuk beranjak, gadis itu duduk di lantai. Di depannya ada kasur, sedangkan di belakannya adalah jendela. Di sebelah sana ada kamar mandi, lalu dekat lemari pakaian ada sebuah ruangan.
Tak berselang lama, Zaskia mendongak saat mendengar suara langkah kaki mendekat dan berhenti tepat di depan pintu kamarnya. Pintu pun terbuka, tampaklah Hardi tengah menatapnya dengan tajam. “Sayang, mau mandi sendiri atau dimandikan?” Suara bariton itu membuat Zaskia bergidik ngeri. Sosok figur ayah yang seharusnya ia junjung tinggi, malah ia benci.
Menyedihkan sekali hidupku ini. “Ti-tidak!” bantah Zaskia, menunduk takut. Selalu saja begitu. Tatapan Hardi benar-benar mengintimidasi. Gadis itu menelan saliva yang tercekat di kerongkongan. Andai ia bisa melawan, sudah pasti sedari dulu berontak dan lari dari kenyataan.
“Kalau begitu, segeralah bersiap. Kami menunggumu di bawah,” kata Hardi memperingatkan. Tatapan dingin yang lelaki paruh baya itu layangkan seolah-olah tengah mengancam. Zaskia yang terduduk lemas di lantai pun lekas berdiri, setelah sebelumnya mencari pegangan agar tidak terjatuh lagi.
Pintu ditutup cukup keras oleh Hardi, membuat Zaskia muak dengan semua ini. Persetan dengan tradisi keluarga, atau apa pun itu namanya. Ia sudah seperti narapidana, sementara rumah mewah itu ibarat penjara. Ia tidak memiliki kebebasan apa pun di sana. Setiap kali hendak pergi ke luar, ia akan diantarkan oleh sopir dan dikawal oleh seorang bodyguard. Katanya untuk melindungi, tetapi nyatanya malah membuat Zaskia risi.
Gadis itu mendengkus kasar, lalu berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Air mata yang menyusut membuat wajahnya terasa lengket. Mata gadis itu pun sudah cukup sembap.
Usai mandi dan mengenakan dress peace selutut, Zaskia sampai di ruang makan jam tujuh lewat tiga puluh menit. Tampak Hardi dan Rukmini sedang menatapnya tajam, sedangkan Murni menunduk dalam. Entah apa yang terjadi saat dirinya tengah bersiap di atas tadi.
Terdengar derit kursi digeser, Zaskia duduk berseberangan dengan Rukmini, sementara ayah dan ibunya duduk bersisian. Meja makan yang panjangnya tiga meter itu hanya diisi oleh empat kepala saja.
“Zaskia, kamu tahu kesalahan apa yang sudah kamu perbuat?”
Suara lirih Rukmini terdengar menginterogasi, membuat gadis remaja yang baru saja kedatangan tamu bulanan itu mengernyit heran. Pasalnya, ia tak mengerti maksud dari ucapan neneknya. Segelas susu hangat dalam genggaman urung diteguknya. “A-pa, Nek?” tanyanya gagap.
“Kamu terus saja mengumpat! Apa yang ingin kamu lakukan? Membuat para leluhur murka. Iya?!” bentak Rukmini seraya menggebrak meja. Sendok dan garpu terdengar berdenting saat beradu dengan piring, bising.
Pagi ini awan kembali mendung, enggan menampakkan seberkas cahaya mentari. Para pelayan yang berlalu-langlang pun tampak terkejut melihat amarah Rukmini hanya karena hal sepele.
“Kenapa?” Suara Zaskia terdengar bergetar. “Kenapa gak boleh mengumpat. Apa yang salah dengan itu? Apa anak gadis di keluarga Rukmini juga dilarang untuk meluapkan amarahnya sendiri? Apa aku harus terus tersenyum dan pura-pura tuli? Pura-pura bahagia? Sebenarnya apa mau kalian? Aku bahkan tak diberikan sedikit pun kebebasan untuk berekspresi!”
Pagi itu, tumpah sudah semua unek-unek yang hampir membuat kepala Zaskia pecah. Gadis cantik itu berdiri, lantas berlari menaiki anak tangga, menuju kamarnya sendiri. Pagi itu, meski nyanyian para cacing sudah berbunyi, gadis yang memiliki tahi lalat di dagu itu enggan mengisi perutnya dengan sesuap nasi. Persetan jika ia akan sakit, bahkan bila mati pun itu terdengar lebih baik.
“Anak itu benar-benar!” Rukmini tampak mengepalkan tangannya, terdengar gemeletuk gigi saling beradu dengan geram.
“Bu, aku mohon beri Zaskia sedikit waktu. Dia masih terlalu dini. Apakah Ibu tak berniat berhenti bermain-main dengan mereka? Sadarlah, Bu, kita sudah terlampau jauh dari ajaran-Nya. Bu, aku mohon berhenti menyembah para iblis itu!” Kali ini, Murni pun bersuara.
Kegaduhan pagi itu telah merusak suasana. Mencekam. Semua tatapan mata yang beradu melemparkan sinyal permusuhan. Murni teramat lelah jika setiap malam Jumat harus melayani ‘mereka’. Entahlah. Ia hanya tidak ingin Zaskia mengalami hal serupa dengan dirinya.
“Heh! Tahu apa kamu? Tanpa mereka, kejayaan keluarga Rukmini tak akan pernah ada! Tanpa mereka kamu gak akan terlahir ke dunia! Dan tanpa mereka ... kita tidak akan pernah merasakan apa itu gelimang harta.” Di akhir kalimat, nada suara Rukmini mulai melemah. Wanita yang hari-harinya bermain dengan mantra dan bunga kembang tujuh rupa itu mengusap kasar wajah keriputnya.
Dulu, ia terkenal dengan julukan, ‘Kembang Desa’ sampai usianya menginjak kepala lima. Kini, kecantikan itu tidak lagi didapatnya. Mantra dan ajian yang selalu ia lafalkan tak lagi berguna. Itu karena ia pernah berhenti untuk sesaat, mencoba berhenti dan keluar dari lingkaran setan. Akan tetapi, semua itu percuma saja ia lakukan. Pada akhirnya, Rukmini kembali memuja iblis untuk mendapatkan kejayaan. Semua pujian itu tak lain ia dapatkan dengan cara yang salah. Sesat! Begitu Murni menyebutnya.
Bersambung!
![](https://img.wattpad.com/cover/262899237-288-k544918.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Darah Sang Dara [SUDAH TERBIT!]
HorrorSebuah tradisi keluarga yang mengharuskan anak perempuannya menikah bila sudah genap menginjak lima belas tahun membuat Zaskia muak dan berontak. Gadis remaja itu secara terang-terangan menolak permintaan sang nenek, tetapi nahasnya ia malah mendapa...