Bab 6. Bimbang

82 7 2
                                    

Semburat jingga telah menjelma menjadi kelabu. Sore telah berganti malam. Amanda menyalakan lampu teplok menggunakan korek api untuk menerangi gubuk tua itu agar tidak terlihat menyeramkan, apalagi ketika terdengar suara lolongan anjing di kejauhan.

Bising suara hewan saling bersahutan. Terlebih suara burung hantu yang terdengar menakutkan. Menjadi perempuan pemberani sudah ditanamkan orang tuanya sejak dini, sehingga suara-suara yang mengganggu di luar diabaikannya. Bahkan, makhluk tak kasat mata pun sering kali dijumpainya.

Perempuan cantik itu duduk di atas dipan kayu seraya memandang tubuh kurus adik-adiknya yang tidur meringkuk tanpa alas. Perempuan muda itu menepuk-nepuk tangan di udara, mencoba membunuh nyamuk yang sedari tadi mengganggu tidur kedua adiknya.

Dia duduk bersandar pada dinding kayu, remang cahaya lampu teplok bergoyang pelan karena tertiup angin. Malam semakin larut, dingin menyapa kulit tak berkesudahan. Perempuan itu meraba bulu kuduknya yang terasa meremang, merinding! Berbekal selimut lusuh dengan banyak tambalan, ia merebahkan kepala di atas dipan dan tangan kirinya ia jadikan sebagai bantal.

Mata lentik itu menatap atap rumah yang terbuat dari daun sagu yang diawetkan dalam air lumpur selama berhari-hari. Sekali terpaan angin barat, rumah itu pasti akan runtuh menyisakan puing-puing lusuh.

Pikiran gadis itu kembali berkelana pada kertas yang ia baca saat di pasar tadi pagi. Kertas itu masih disimpannya rapi di bawah kendi. "Apakah aku harus pergi ke tempat itu dan menjadi istri muda saudagar kaya itu?' Amanda melirik kedua adiknya yang tampak mendengkur dengan teratur. Kemudian, perempuan itu menghela napas gusar. 'Tapi aku sendiri tak yakin dengan ini. Ini pilihan yang berat untukku. Ah, andai ....'

Srek, srek, srek.

Dersik daun kering di luar terdengar seperti disapu. Gegas perempuan itu memejam, dalam hati ia berdoa kepada Tuhan. 'Dia datang lagi. Dia datang lagi. Tuhan, tolong lindungi aku dan adikku. Jangan sampai dia masuk ke dalam,' batinnya memohon pertolongan. Dalam sekejap, dersik daun tak lagi terdengar, berganti dersik angin yang membelai pepohonan.

“Syukurlah, dia sudah pergi.” Gadis itu mengurut dada seraya menghela napas lega.

***

“Rangga, Nina, bangun! Kakak mau mencari kayu bakar dulu di hutan untuk dijual ke desa seberang nanti siang.” Tangan kurus kering itu menggoyang-goyang tubuh mungil kedua adiknya yang masih terlelap dibuai mimpi.

Terlihat makhluk kecil itu menggeliat lantas mengigau, “Kak, aku mau makan tempe bacem ....” Amanda menggigit bibir bagian bawah, entah mimpi apa yang dialami Nina, sampai-sampai mengeluarkan air liur di ujung bibirnya.

Rangga perlahan bangkit, bocah laki-laki itu mengucek-ngucek mata yang masih terasa sepet. “Kak, hari ini kita makan apa?” tanyanya setelah membuka mata.

Bocah laki-laki itu berkulit sawo matang, hidung mancung juga alis mata yang terlihat menyatu juga tebal. Amanda tersenyum getir melihat paras menawan adiknya yang baru bangun tidur. “Biasa, Dek ... pisang rebus,” jawabnya dengan bibir bergetar.

Setiap hari hanya dua menu yang mampu ia sajikan untuk kedua adiknya. Pisang dan singkong rebus atau dibakar. Ada yang berdenyut di dalam dadanya, perempuan cantik itu mengulas senyum pedih. Karena tidak mampu dibendungnya lagi, setetes butiran permata jatuh membasahi pipi.

“Kakak, kenapa menangis?” tanya Nina yang baru saja bangun.

“Enggak papa, Dek. Kakak cuma kelilipan aja,” jawab Manda berbohong, lalu menghapus kasar jejak permata di ujung pelupuknya.

Amanda berjalan menuju dapur, mengambil seutas tali dari bonggol daun pisang yang sudah kering, juga kain selendang yang biasa ia gunakan. “Kalian jaga diri baik-baik di sini, ya. Kakak mau mengumpulkan kayu bakar dulu untuk dijual,” pamitnya pada dua bocah yang terduduk di atas dipan.

Rangga turun dari dipan, lalu berjalan ke arah dapur dan mengambil sedikit air dari kendi lantas membasuh muka untuk menghilangkan kantuk yang masih tersisa. Nina pun menyusulnya, melakukan kegiatan serupa agar menghilangkan bekas kotoran dari wajahnya.

“Kak, kami mau ikut. Boleh, ya?” pinta Rangga memelas. Bocah laki-laki itu kembali duduk di atas dipan, tetapi dengan tangan yang menggenggam pisang rebus.

Nina pun demikian, bocah perempuan itu duduk di sebelah kiri Rangga dengan tatapan polos. “Iya, Kak. Kami juga mau ikut. Mau bantu Kakak mengumpulkan kayu bakar untuk dijual. Terus biar kita bisa makan enak, deh!” serunya semangat.

Lagi-lagi Amanda dibuat gamang. Embun di mata kembali menggunung. Karena tidak tega, perempuan cantik yang hari-harinya memakai kebaya lusuh peninggalan sang ibunda itu mengangguk dengan seulas senyum. “Baiklah, mari kita berangkat ke hutan!” ujarnya pura-pura tegar.

“Hore ... bisa makan enak!” seru Nina bersemangat.

Rangga tidak banyak bicara. Bocah laki-laki itu sudah besar, tahu kehidupan mereka susah semenjak orang tua mereka meninggal. Ia menenggak air dalam kendi menggunakan bambu yang dipotong menyerupai gelas. Lalu ia pun berkata, “Kak, aku mau ketemu Ibu dulu boleh, ya?”

Amanda mengangguk mengiyakan. Kebetulan ia juga rindu, hendak memohon doa restu atas apa yang akan ia lakukan setelah ini. Mungkin, menjual harga diri itu lebih baik daripada ia dan kedua adiknya harus mati kelaparan di tengah jelaga tanpa ada yang memedulikan.

***

“Nyonya, Non Zaskia di sini!” teriak Bi Ijah lantang saat mendapati nona mudanya tergeletak pingsan di lantai, dekat cermin usang.

Murni dan Hilda sontak berlari menghampiri Bi Ijah yang tampak kepayahan mengangkat tubuh Zaskia. Wajah gadis itu tampak pucat pasi, membuat ibu muda itu mendelik karena terkejut. “Ya, ampun ... Zaskia. Kamu kenapa, Nak?” Diangkatnya kepala gadis itu, Murni menangis seraya menyapu anak rambut yang menghalangi wajah cantik putri semata wayangnya. “Bi, tolong bantu saya angkat tubuh Zaskia,” pintanya dengan seraut ditekuk.

Bi Ijah tampak mengangguk. Sebagai sahabat dekat Zaskia, gadis itu membantu Murni dan Bi Ijah tanpa menunggu perintah. Dibaringkannya tubuh mungil Zaskia di atas ranjang, dengan cekatan Bi Ijah mengoleskan minyak aroma terapi pada bagian perut, hidung, dan kepala Zaskia. Tangan Murni sibuk mengelus-elus tangan Zaskia yang terasa dingin, mencoba menghangatkan kembali tubuh anaknya dengan jiwa keibuan.

“Ibu ... maafkan aku,” gumam Zaskia lirih, beruraikan air mata.

Murni dan Bi Ijah saling beradu pandang dengan alis bertaut. Pandangan mereka seolah bertanya-tanya, ibu? Jelas-jelas Murni senantiasa dipanggil bunda, tetapi mengapa kali ini berbeda? Satu hal yang pasti, Zaskia sudah sadarkan diri. Hal itu membuat mereka tersenyum lega.

Dengan cekatan Murni meraih tubuh Zaskia ke dalam pelukannya beruraikan air mata, membuat gadis itu membelalak terkejut.

“Syukurlah kamu gak kenapa-napa, Nak,” bisik Murni lirih.

Bersambung!

Spesial buat kalian yang membeli novel Darah Sang Dara, selain mendapatkan souvenir pouch bag dan pulpen karakter, kalian akan mendapatkan kelas sharing seputar pengalaman pribadi dan ilmu literasi juga, loh! Dalam kelas itu, tentu aku tidak akan sendiri. Karena ada partner kece yang akan kalian temui juga di kelas itu nanti.

Penasaran? Ayo, segera order Novel Darah Sang Dara segera! Sebelum masa PO berakhir pada tanggal 1 April😁

Darah Sang Dara [SUDAH TERBIT!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang