“Sayang, tolong buka pintunya. Sarapan dulu, yuk!”
Sudah tiga puluh menit Murni berdiri di depan pintu bercat putih itu. Namun, tak mendapati sahutan dari dalam. Wanita itu tampak mendesah berat, dengan tangan memegang nampan berisi susu dan roti berlapis selai cokelat, kesukaan putri sulungnya, Zaskia.
Pintu terus saja diketuk dengan lembut, membuat wanita berambut sebahu itu dirundung cemas. Takut Zaskia kenapa-kenapa. “Bi Ijah, tolong kemari sebentar,” panggilnya pada wanita berkisar lima puluh tahun. Wanita itu tidak sengaja melintasi Murni setelah membersihkan kamar di ujung ruangan.
“Iya, Nya, ada apa?” Wanita itu berjalan dengan tergopoh-gopoh, lantas menunduk hormat.
“Tolong pegang ini, pastikan Zaskia memakannya. Saya mau ke bawah sebentar.” Murni menyerahkan nampan berwarna cokelat itu pada Bi Ijah, sementara dirinya berlalu ke bawah. Satu-satunya cara ampuh untuk membujuk Zaskia agar mau membuka pintu adalah dengan cara ‘itu’.
Zaskia yang terduduk meringkuk di belakang pintu menangis tersedu. Ia membenamkan wajahnya di balik lipatan tangan yang berpangku pada lutut. Matanya tampak sembap, gadis itu menatap kamar berukuran 5x5 meter persegi dengan tatapan kosong. Mengabaikan semua suara yang memanggilnya di luar.
“Zaskia ....” Samar dan lirih, suara seseorang menyerukan namanya. “Kemarilah, Nak ....” Suara itu terdengar seperti berbisik di telinga. Membuat bulu kuduk meremang seketika.
Zaskia menengadah, menatap sekitar dengan bingung. Ini aneh. Tak ada siapa-siapa selain dirinya di dalam kamar bernuansa biru langit itu. “Siapa?” tanyanya celingukan.
“Kemarilah, Nak ....”
“Siapa kamu?!” Zaskia menutup kedua telinganya, berusaha menghalau suara-suara yang berulang kali memanggil dirinya. Takut, itulah yang dirasakan oleh Zaskia.
“Di sini ....” Seketika mata indah itu membeliak, menatap sesosok wanita bergaun putih yang tengah membelakanginya menghadap jendela.
“Siapa kamu?!” tanya Zaskia sekali lagi. Ia hanya ingin memastikan, bahwa sosok itu hanya sekadar ilusi, bukan makhluk jadi-jadian. Pasalnya, kamar dia ada di tengah-tengah. Tak mungkin ada orang lain yang bisa masuk karena hanya kamar ini yang memiliki balkon.
Wanita itu tidak menjawab, dia berjalan pelan menuju arah samping, membuat Zaskia penasaran. Langkah gadis remaja itu terhenti saat sosok itu menembus dinding kaca yang menghubungkan antara kamar dan ruang belajar miliknya. Di sana terdapat sebuah cermin usang yang terpajang di dinding, menghiasi ruangan. Zaskia berjalan menghampiri cermin itu, lalu mengusapnya pelan. Tampak debu tebal mengotori jemari tangannya.
Sesaat ia bergeming, mendapati bayangan dirinya yang tampak kacau di cermin. Akan tetapi, dalam sekejap gadis itu terperanjat. Ada sosok lain yang muncul di belakangnya, di sudut ruangan sebelah jendela. Sosok wanita bergaun putih dengan surai hitam panjang yang menutupi wajahnya, sehingga Zaskia tak dapat memastikan sosok itu siapa.
Gadis penyuka lagu melow itu mematung di tempat saat merasakan debaran jantung yang tak berirama. Sesaat ia memutar tubuhnya menatap meja belajar dan rak buku yang tertata dengan rapi. Sosok itu tak ditemukan di sudut mana pun bahkan di sudut jendela, gadis itu menelan saliva karena tegang.
Lagi. Ia mengepalkan tangannya seraya meyakinkan diri sendiri untuk berbalik menatap cermin, tetapi tiba-tiba sosok itu muncul di depannya. Dalam sekejap Zaskia memekik, “Aaa ...!”
Mendengar pekikan dari dalam, buru-buru Bi Ijah menggedor pintu secara brutal. Khawatir terjadi sesuatu pada nona mudanya di dalam. Terlebih lagi ia tahu bahwa Zaskia telah melanggar satu aturan.
“Non Kia, apakah Nona baik-baik saja di dalam? Tolong jawab bibi, Non.” Namun, tak ada sahutan. Wanita bertubuh gempal itu menggigit kuku ibu jari dengan keringat dingin yang memenuhi pelipisnya. “Non, tolong buka pintunya, Non!” Semakin gaduh suara gedoran pintu yang dilakukan Bi Ijah. Namun, sia-sia. Zaskia tak menggubris teriakannya.
“Bi Ijah, apa yang terjadi?” Murni bertanya dengan napas terengah-engah. Saat di bawah ia sontak berlari dengan tergopoh-gopoh menaiki tangga setelah mendengar teriakan disertai gedoran pintu dari Bi Ijah, memanggil-manggil putri semata wayangnya.
“A—anu, Nya ... tiba-tiba Non Kia berteriak histeris dari dalam. Bibi khawatir terjadi sesuatu padanya,” terang Bi Ijah takut. Semakin jelas terlihat keriput di wajah saat keningnya bertaut. Resah dirasakannya, mengingat Zaskia sudah ia anggap sebagai anak sendiri.
“Ya ampun ....” Hilda yang baru saja tiba setelah mendapat panggilan dari Murni secara mendadak itu menutup mulut yang menganga dengan kedua tangan. Ia bahkan belum mandi sama sekali, saking khawatirnya dengan aksi mogok makan temannya, Zaskia.
“Sayang, kamu dengar bunda, ‘kan? Tolong buka pintunya. Are you okay, Dear?” Sabar, itulah Murni. Meski terkadang sikap Zaskia kekanak-kanakan, ia tetap menyayanginya dengan sepenuh hati.
Bagaimanapun, ia melahirkan Zaskia dengan penuh perjuangan. Terlebih banyak cobaan yang kerap kali menguras energi serta kesabarannya. Pernah sekali Murni terjatuh dari tangga saat usia kandungannya baru berumur dua belas Minggu. Untung saja selamat, kalau tidak entah apa yang akan terjadi pada hidupnya setelah itu.
Lahirnya seorang anak dalam bahtera rumah tangga adalah suatu anugerah yang selalu dinantikan kehadirannya oleh setiap pasangan. Walau dari awal ia menikah tanpa berlandaskan cinta hingga kini. Besar harapan Murni pada Zaskia, karena ia sangat yakin kehadiran putrinya akan membawa suatu perubahan yang besar.
Tidak peduli sebanyak apa ranjau yang siap menghadangnya nanti. Karena ia tahu seberapa besar konsekuensi itu. Kembali hidup normal, itu adalah impiannya sejak lama. Tak lagi berurusan dengan mereka. Hidup dengan damai walau tak bergelimang harta.
“Bi, kita masih ada kunci cadangan, ‘kan?” tanya Murni pada Bi Ijah. Berdiri di depan pintu dan berteriak seperti orang gila itu hal percuma. Berharap Zaskia membukakan pintu itu hanya angan semata. Gadis itu kalau sudah merajuk memang sulit dibujuk.
“A-ada, Nya. Sebentar, bibi ambilkan dulu,” ujar Bi Ijah seraya berlalu dengan tergopoh-gopoh.
Sementara Bi Ijah mengambilkan kunci, kali ini giliran Hilda yang beraksi. Gadis itu menghela napas dalam sebelum akhirnya berteriak, “Zaskia, ini aku, Hilda. Tolong bukakan pintunya!” Bahkan, pawangnya pun dibuat terheran-heran.Tidak biasanya Zaskia begini. Setiap kali gadis itu merajuk, Hilda adalah orang kepercayaan Zaskia, sehingga mudah baginya untuk membujuk. Amarah gadis itu akan mereda setelah menumpahkan segala keluh kesahnya pada sang sahabat. Namun, kali ini pengecualian. Murni dan Hilda dibuat cemas tak karuan karena sedari tadi tak mendapati sahutan dari dalam.
“I-ni, Nyonya,” kata Bi Ijah setelah sepuluh menit berlalu. Dia menyerahkan beberapa kunci cadangan yang bertumpuk menjadi satu. Murni menerimanya dengan kasar, kepayahan mencari kunci yang pas untuk pintu kamar Zaskia.
Terbuka! Akan tetapi, ketiganya tidak mendapati Zaskia ada di kamarnya. Murni berjalan menuju balkon saat angin sepoi membelai gorden putih hingga meliuk-liuk memperlihatkan sepasang kaki di tepi balkon. Sementara Hilda berlalu menuju kamar mandi, barangkali saja gadis itu mengurung diri di sana. Sedangkan Bi Ijah menggeledah seisi ruangan karena ia paham betul, nona mudanya itu senang bermain petak umpet.
“Zaskia?” tanya Murni mengernyitkan alis mata. Angin sepoi membelai rambut sebahu wanita itu, lantas ia pun membuka pintu balkon yang tertutup gorden. Namun, kosong. Wanita itu mulai bertanya-tanya dalam hati, kalau bukan Zaskia, lantas kaki itu milik siapa?
Bersambung!
KAMU SEDANG MEMBACA
Darah Sang Dara [SUDAH TERBIT!]
HorrorSebuah tradisi keluarga yang mengharuskan anak perempuannya menikah bila sudah genap menginjak lima belas tahun membuat Zaskia muak dan berontak. Gadis remaja itu secara terang-terangan menolak permintaan sang nenek, tetapi nahasnya ia malah mendapa...