Chapter 3 - Trauma

1.1K 189 14
                                    

"Banyak hal telah terjadi, namun hanya satu kata yang menghantui diriku dan kata itu adalah kenapa. Kenapa semuanya harus terjadi?"

-Midoriya Izuku (13 tahun)-

.
.
.

Musutafu, satu tahun yang lalu.

Saat itu Midoriya Izuku berusia 12 tahun, ia baru saja menempuh pendidikan di sekolah menengah pertama beberapa minggu yang lalu. Anak itu mulai bersekolah di SMP Aldeera, salah satu SMP di Kota Musutafu.

Malam ini, keluarga Midoriya tampak sibuk memasak beberapa hidangan. Sepertinya akan diadakan suatu acara di apartemen kecil ini.

“Izuku, apa kau mendengar suara dentuman?”

Yang ditanyai seperti itu langsung tersenyum ke arah ibunya. “Mungkin kau salah dengar Ibu, aku tidak mendengar apa-apa.”

Suara riuh mixer yang mengaduk adonan kue memenuhi pendengaran Izuku. Jadi, tentu saja anak itu tidak begitu mendengar suara lain dari kejauhan. Ia tampak bahagia membuat kue untuk ulang tahunnya yang ke-13. Malam ini adalah malam yang akan ia habiskan bersama ibunya untuk memasak hidangan spesial karena besok adalah hari ulang tahunnya.

Midoriya Inko, ibu dari Izuku tampak memikirkan sesuatu sebelum ia mengangguk ke arah anaknya dan mempercayai apa yang dikatakan putra semata wayangnya tersebut. Mungkin ia hanya salah dengar.

“Kau sudah tambahkan telur ke adonannya?” tanya Inko yang sibuk mengirisi buah untuk isian kue pie.

Izuku menoleh ke arah ibunya, “Oh ya, tentu saja sudah.”

Inko tersenyum lembut melihat putranya. Tak terasa, hampir 13 tahun sudah berlalu. Ia tak mengira bayi mungilnya sudah sebesar ini. Besok adalah hari spesial bagi Izuku, ia juga harus menyiapkan banyak hal istimewa untuknya. Semua kejadian telah mereka lalui bersama baik dalam keadaan suka maupun duka. Ibu bersurai hijau ini masih ingat bagaimana putranya begitu sedih ketika didiagnosis tidak memiliki quirk. Namun, kesedihan itu berlalu ketika Izuku mengeluarkan quirknya saat usia 11 tahun. Ya, kejadian itu baru 2 tahun yang lalu.

Inko sendiri tak bodoh untuk tak menyadari bahwa sejak usia 7 tahun, Izuku selalu mendapat hinaan dan serangan dari teman-temannya. Namun, ia tak bisa melakukan banyak hal. Wanita paruh baya ini begitu takut jika ia ikut campur dalam urusan anak-anak, maka Izuku nantinya akan semakin disiksa oleh mereka karena dianggap tukang mengadu. Apalagi jika teringat setiap pulang sekolah Izuku selalu tersenyum dan berkata bahwa ia baik-baik saja. Semua kenangan itu begitu menyiksa batin Inko hingga tak sadar ia meneteskan air matanya.

Izuku yang tengah sibuk mengaduk adonan menyadari wajah sedih ibunya. “Kau tak apa, Bu?”

Ditanyai seperti itu, tentu saja Inko tersentak kaget. Ia buru-buru menghapus air mata di pelupuk matanya. “Ya, tidak apa-apa. Entah kenapa ibu terharu kau sudah sebesar ini, Izuku.”

Izuku yang mendengar itu hanya bisa memasang senyum canggungnya. Ia menggaruk kepala bagian belakangnya sambil cengengesan. Inko yang telah selesai dengan irisan buahnya berjalan mendekati Izuku. Ia mengambil adonan pie yang telah ia siapkan sejak tadi dan menata irisan buah tersebut di sana. Suara detik jam yang telah menunjukkan pukul 11 malam mengisi keheningan di antara mereka.

“Oh ya, Izuku. Kau dan Katsuki masih bermusuhan?”

Izuku yang tengah melepas kabel mixer dari stop kontak sedikit terenyak dengan pertanyaan ibunya. Ia dan Katsuki itu memiliki hubungan rumit. Kepala hijaunya tak paham dengan apa yang ada dibalik pikiran bocah ledakan tersebut. Kadang Katsuki baik seperti saat dulu tapi, terkadang ia juga tiba-tiba menjadi egois dan membully dirinya.

[Fanfic] Pocket MoneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang