SABDACINTA#Empat

2.5K 499 41
                                    

Rasanya baru saja ia memejamkan mata. Pendengarannya baru hilang. Dan baru saja ia melayang kealam mimpi. Ily merasakan ia berada diatas ayunan tali yang diikat dari satu pohon kepohon lain. Cahaya meraba wajahnya. Dingin tersentuh kulit dahinya. Ia membuka mata perlahan. Menetralkan pandangan yang awalnya kabur. Lensanya menangkap kilat yang sama dengannya. Rindu.

"Jodiii..." lirihnya serak, mengangkat tangan lalu menyentuh pipi yang kesat dan dingin.

"Katanya mau kedokter? Kenapa tidak siap-siap? Malah tidur..."

Ily menarik tangannya saat indera dengarnya disapa suara yang berbeda. Bukan Jodi. Ternyata ia bermimpi. Ia bukan berada ditaman tetapi berada dikamarnya. Ia hanya sedang halu melihat Jodi padahal bukan. Yang menyentuh dahinya tadi ternyata tangan lain. Dingin karna sehabis mandi. Kenapa seolah mirip? Dengan rambut sedikit gondrongnya, basah terlihat makin ikal.

Saat Ali pamit kekamar mandi lalu berucap akan mengantarnya ke dokter, ia hanya menatap punggung Ali dan pintu kamar mandi yang ditutup dalam diam.

Diantar kedokter oleh Ali bukan harapnya. Itu hanya alasannya kepada papanya saja agar papanya tidak memaksa untuk mengantar kedokter. Kepalanya berat akibat ia sedang mengidam. Matanya terlihat berair terus karna ia sedang sensitif terlebih jika teringat dengan Jodi. Ayah dari bayinya yang mangkir dari tanggung jawab tetapi bodohnya tetap ia rindukan. Mengidamkan menatap wajahnya, menyentuh pipinya.

Terbayang saat terakhir mereka bertemu. Saat ia mengatakan kalau ada yang hidup didalam dirinya. Bukti cinta mereka. Sejujurnya ia belum siap. Tapi apa daya, semua tak terelakkan.

"Bagaimana ini, Jodi, aku takut!"

Jodi nampak syok tanpa bisa mengatakan apapun. Ia menggelengkan kepala sambil memijit pangkal hidungnya. Ily membalik badan membelakanginya dengan kondisi serupa. Memijit pangkal hidungnya karna kepalanya seolah pening seketika. Ia sudah memiliki firasat tak enak sebelum bertemu dan mengatakannya kepada Jodi. Karna selama ini mereka tidak pernah membicarakan mau kemana arah hubungan mereka meski mereka sudah terlalu jauh berhubungan.

Ia merasakan tubuhnya dirangkum dari belakang. Helaan nafas Jodi menghangatkan tengkuknya.

"Aku... akan bicara pada orangtuaku!"

Ily diam. Membiarkan Jodi menyelesaikan ucapannya. Tangannya bertumpu pada lengan yang melingkar didepan dadanya.

"Tapi meskipun kita menikah, kita gak akan siap memiliki anak," terdengar tarikan nafas ditelinga Ily sebelum Jodi melanjutkan kalimatnya. "Bagaimana kalau kita gugurkan saja!"

Ily menghempas lengan Jodi yang mengeratkan pelukannya.

"Kalau memang kita menikah kenapa harus digugurkan!?" Tanya Ily dengan wajah yang luka. Hatinya teriris mendengar Jodi tidak menginginkan bayi mereka.

"Itu adalah aib kenapa harus dipertahankan?" Jodi beralasan.

"Dia gak salah apa-apa, yang salah justru kita!" ketus Ily tak dapat menahan emosinya.

"Dia anak haram!" Balas Jodi dengan nada emosi sama sepertinya.

"Kelakuan kita yang haram bukan dia!" Ily membela anak yang dikandungnya.

Ia tak rela bayi tak berdosa dikatakan anak haram. Walaupun Ily tak banyak belajar agama, sesungguhnya ia menyadari kesalahan dan dosa-dosanya.

Ia juga tak pernah belajar dari siapa-siapa kalau anak hasil zina tidak ikut menanggung dosa, karena perbuatan zina dan dosa kedua orang tuanya. Sebab hal tersebut bukan perbuatan sianak, tetapi perbuatan kedua orang tuanya, karena itu dosanya akan ditanggung mereka berdua.

SABDA CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang