"Dik, muka lo kusut amat? Ada masalah?"
Tidak ada jawaban dari Dikta, laki-laki berkacamata dengan kaus hitamnya itu terus fokus pada layar laptopnya, tangannya sibuk menyentuh keyboard tanpa berhenti hingga akhirnya ia mengembus napas pasrah memperhatikan ruangan yang minim cahaya.
"Seminggu lagi kayaknya kita bisa matang kalau kerja di sini," keluh Dikta, mengibaskan kerah baju sejenak, lalu membuka jendela dengan lebar. Ah, tidak membantu sebenarnya, mengingat jendela yang digunakan dilapisi trali besi dari luar.
"Minta dana sama abang lo, Dik," ujar Reyhan, sesekali memperhatikan jam yang menunjukkan pukul delapan. Tersisa dua jam lagi untuk membuka kafe yang berada di lantai bawah. Ruko minimalis yang berada di pinggir jalan raya, tanpa pepohonan, dan cenderung dihiasi oleh polusi udara. Tidak menjadi rekomendasi, tetapi setidaknya hanya ini tempat yang mampu ia dan Dikta beli.
"Nggak bakal," ucap Dikta, kembali menjulurkan kaki, duduk di sofa lusuh, memangku laptop. "Gue bisa sendiri. Jangan meremehkan gue."
Reyhan mencibir, setengah kesal ia memperhatikan kegiatan Dikta, sontak saja matanya yang kecil kini membulat seketika. "Yang benar lo!"
Dikta melirik sejenak, mengusap sebelah telinga dengan malas. "Jangan teriak deket telinga gue."
"Lo ...." Laki-laki dengan tinggi sejengkal di bawah Dikta itu langsung saja menyambar laptop, matanya yang membulat terus membaca tulisan dengan logo perusahaan berwarna hijau yang tertera lalu menoleh tidak percaya. "Lo dapat tawaran kerja di rumah sakit?"
"Yang benar aja." Dikta tersenyum sinis, kembali menyambar laptopnya. "Bisa-bisa belum sampai sebulan, gue udah dikeluarin."
"Yeu, tukang bolos," gerutu Reyhan.
Dikta tertawa saja, meneguk sebotol minuman, mencoba mengabaikan keringat yang bahkan turun dari pelipisnya.
"Jadi itu apaan?"
"Surat kerja sama," jawab Dikta, sesekali meletakkan tekukkan telunjuk ke depan bibir, berpikir. "Gue yang nawarin bantuan buat ningkatin hal yang berhubungan dengan pemograman data mereka. Diterima."
"Bagus, dong?"
Dikta mengangguk pelan, mengembus napas panjang. "Gue udah ada beberapa rancangan aplikasinya. Ah, bahkan gue udah persiapkan dana juga sekiranya berapa yang mereka butuhin."
Reyhan tertawa pelan. "Yang banyak, Dik."
"Lo mau meras rumah sakit atau gimana?" sambar Dikta, langsung menoleh kesal. Tatapan itu menajam seketika. "Kemarin mereka lagi ada masalah internal, banyak pihak atas mereka diusut ke kejaksaan."
"Gue bercanda, elah. Seriusan mulu lo!" Reyhan menjitak kepala Dikta dengan kuat, lalu memperhatikan layar laptop kembali dari belakang. "Penggelapan dana?"
Dikta mengangkat kedua bahu.
"Kenapa lo mau lakukan hal kayak gini?"
"Lo banyak tanya juga, ya?" Dikta mendongakkan kepala, Reyhan yang mendapat tatapan sebal itu hanya bisa menyengir tanpa dosa. "Bokap, nyokap, sama Bang Rean pernah dirawat di sini."
"Terus?"
"Hari di mana gue kehilangan bokap sama nyokap untuk selamanya," jelas Dikta, pelan. Tetap fokus pada layar, kembali mengecek deretan kode yang ia buat. "Ada hal yang buat gue penasaran waktu itu, tapi gue nggak bisa menemukan jawabannya."
Pandangan Reyhan kini berubah teduh. "Bokap sama nyokap lo murni kecelakaan, kan, Dik?"
"Ya, murni." Dikta menelan ludah, mengangguk pelan. "Pihak rumah sakit juga udah melakukan hal terbaik yang mereka bisa."
"Jadi, apa lagi yang mau lo cari?"
"Bang Rean," jawab Dikta, memejamkan mata, menutup layar laptop begitu usai digunakan. "Dia juga terlibat kecelakaan yang sama waktu itu. Ada hal yang harus ketahui, tapi Bang Rean sembunyikan, cuma Om Ben yang tau."
"Orang yang sering ngatain lo pengangguran?" tanya Reyhan, mendelik.
"Gue produktif, bukan pengangguran." Secepat mungkin Dikta bangkit, menyambar handuk dan beberapa pakaian ganti di ransel. "Buruan, bersihin kafe. Bentar lagi jam sepuluh."
"Kafe di bawah punya gue padahal," gerutu Reyhan, menyambar peralatan pel dan sapu di sudut dinding.
Dikta yang mendengar, tertawa pelan, ulasan senyuman sinis menghias di wajah. "Gue yang banyak nanam saham di sini."
___
"Bang Gio! Udah! Berhenti di sini!"
Kendaraan beroda empat itu berhenti, kacamata hitam yang dikenakan kini ia lepaskan dengan perlahan sembari tersenyum miring ala khas trendi. Bagaimana juga, pagi ini Gio menobatkan sebagai hari keberuntungan.
Bukan mendapatkan kepastian dari Nesya yang akan membeli PSP-nya, melainkan mobil ini. Ah, jarang sekali Rean meninggalkannya di rumah dan membiarkan orang lain untuk menggunakan. Meskipun perlu Gio akui, sebenarnya ia membawa kendaraan ini juga tanpa seizin Rean.
Ya, adanya Om Ben di rumah mau tidak mau membuat Rean meninggalkannya, dan daripada menganggur karena pria itu hanya tidur, bukankah lebih baik digunakan?
"Ye, elah, Dek! Jarang-jarang kita pakai ini! Biasanya motoran juga. Sampai dalam, dah, ya?" tawar Gio.
Nihil, Nanta menggeleng, cewek yang membenarkan ikatan dasi abu itu berkaca sejenak sembari merapikan anak rambut yang menghiasi pinggiran dahinya. "Sampai halte sini aja, Bang. Lagian nggak jauh, Nanta tinggal naik gang, tuh."
Gio berdecak, menyayangkan penampilannya hari ini. Tidak ada jadwal kuliah dan ia sudah susah payah mengobrak abrik jaket kulit yang terlipat di paling bawah deretan baju.
"Setelah ini Abang pulang?" tanya Nanta.
Gio mengangkat kedua bahu. "Pengennya nggak, tapi gue takut disidang entar sama Bang Rean kalau dia tau keluar pakai ini mobil tanpa bawa Om Ben."
Nanta cekikan, menyipitkan mata dengan senang. "Semangat."
"Ya, ya, semangat," jawab Gio, malas, mengepalkan sebelah tangan, lalu menaikkannya. "Males gue dikata-katain mulu kalau ada dia di rumah."
"Abang bisa hadapin Om Ben. Hitung-hitung tutorial buat mimpin perusahaan." Nanta membenarkan sandangan tas soft pink dengan garis putih yang membentuk motif kotak-kotak, membuka pintu kendaraan. "Nanta sekolah dulu, dah, Bang!"
"Dek! Tunggu!" Secepat mungkin Gio turun, mengeluarkan sesuatu dari saku. "Nih, buat beli makanan."
Nanta menunduk, memperhatikan lembaran rupiah itu dengan tidak enak. "Nggak usah, Bang. Punya Nanta masih ad--"
"Udah, ambil aja," paksa Gio, meletakkannya ke telapak tangan Nanta. "Traktirin Yesa sekalian. Sekolah yang bener lo, Dek! Ingat! Sekolah!"
"Iya, Bang." Nanta tersenyum terpaksa, Gio yang protektif. Selain Rean dan Dikta juga tentunya. "Nanta sekolah ini."
"Oh, ya. Satu lagi!" Belum sampai lima langkah, lagi-lagi suara Gio menghentikan. Abangnya itu berlari kecil, lalu membungkukkan badan, mengingat tinggi Nanta yang sebahunya. "Kalau ada guru magang yang cantik, bilang ke gue, oke?"
Nanta menoleh seketika, menatap tajam. "Abang mau digebuk Kak Nesya?"
Gio menyengir, mengenakan kacamata hitamnya kembali. "Nggak, ampun."
___
Thanks for reading! I hope you enjoy it!
Up : 13.02.22
Vote, komen, dan krisarnya sangat membantu ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Brother Notes [OPEN PRE-ORDER]
Teen FictionDi dunia yang menyebalkan ini, ada sebuah rahasia yang paling ingin Rean sembunyikan hingga mati. Tidak peduli orang-orang menganggapnya seperti apa, yang pasti biarkanlah rahasia penuh kelam itu menjadi tanggungannya. Namun di sisi lain, semenjak k...