Bantuan Dikala Banjir Datang

140 23 35
                                    

Cincin itu terpasang sempurna di jari mungilnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Cincin itu terpasang sempurna di jari mungilnya. Matanya menatap benda emas itu dengan tatapan tak percaya. Setitik air mengalir dari pelupuk mata. Hatinya berdebar, tubuhnya menghangat diselimuti keharuan. Otaknya masih memproses apa yang tengah terjadi.

Ia lantas menatap laki-laki si pemasang cincin tadi. Matanya teduh memancarkan kasih sayang. Gending menggeleng tak percaya. Sudah sejauh ini rupanya ia dan Hasta bersama. Lengannya melingkar sempurna di pinggang Hasta, menghirup aroma rindu yang menyerbak—membuat dirinya kembali ke masa di mana ia dan Hasta bertemu untuk kali pertama.

Gending memasuki gerbong kantin kereta. Dengan wajahnya yang tertutupi masker dan topi hitam, ia memesan seporsi nasi goreng padang serta segelas teh melati. Tungkainya melangkah pelan menuju salah satu sudut gerbong, menunggu pesanannya selesai. Kepalanya masih tertunduk lesu, mengamati buku jari tangannya yang membiru samar. Ia mendesah pelan, menggelengkan kepala, mencoba melupakan peristiwa beberapa jam lalu yang sanggup membuat dirinya terguncang hingga nekat memesan satu tiket kereta menuju kampung halamannya. Persetan dengan kuliahnya yang terabaikan, Gending butuh ketenangan meski hanya sejenak.

Di waktu yang sama, pemuda jangkung yang duduk di kursi seberang menyandarkan kepalanya pada sisi jendela seraya menutup matanya. Perutnya keroncongan sejak ia memasuki kereta beberapa jam lalu. Tak ada seorang pun dari teman BEM-nya yang bersedia menemani Hasta ke gerbong kantin untuk mengisi perut. Hari mulai gelap, lampu-lampu rumah dihidupkan, menjadikannya pemandangan indah yang ditangkap netranya.

Pesanannya sampai, tetapi Hasta tak langsung melahapnya. Ponselnya berdenting beberapa kali, pesan masuk diterima, dikirimkan oleh sang ibu yang menanyakan kabar Hasta. Ia tersenyum kecil, membalas pesan dengan penuh kerinduan. Nyaris lima bulan ia tak bertemu dengan keluarganya karena kesibukan Hasta di kampus. Ia berencana pulang ketika tugas-tugasnya usai.

Hasta menyimpan ponsel ke dalam saku hoodie dan mulai menyantap hidangan yang ia pesan. Ketika ia menyesap teh, ia lantas mengernyitkan dahi. Keningnya berkerut samar, hidungnya mencium aroma menyerbak melati dari teh itu. Seingatnya, ia tadi memesan teh premium, alih-alih teh melati. Ia bangkit, berjalan membawa pesanannya ke tempat memesan, hendak mengajukan protes.

"Mbak, kayaknya pesanan saya ketuker, deh. Saya pesen teh premium, tapi dikasih teh melati," kata Hasta dengan kebingungan.

Petugas kantin lantas mengecek catatan pemesanan dan sesaat setelahnya ia sadar bahwa pesanan Hasta tertukar dengan pelanggan lain. Ia membawa Hasta menuju salah satu meja di mana kemungkinan besar pesanan Hasta tertukar—mengingat pelanggan yang berada di gerbong kantin hanya empat orang.

Perempuan berambut hitam memakan nasi goreng bakso dengan lahap seolah tak ada waktu lagi di hidupnya. Hasta sampai dibuat melongo ketika menatap bagaimana perempuan itu makan.

"Em, permisi, Mbak, boleh saya cek pesanannya? Kayaknya pesanannya ketuker sama punya Masnya," kata petugas itu dengan pelan.

Perempuan itu mendongak. Pipinya penuh makanan yang belum sempat dikunyah. "Hng?" Ia melongo, menatap Hasta dan petugas itu beberapa kali sebelum menatap sepiring nasi goreng yang ia lahap. Alih-alih menemukan nasi goreng padang, ia justru mendapati potongan bakso di atas piring.

Sebuah PerjalananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang