Kroni Merah Bertopeng Ilu

31 9 9
                                    

Terlalu sibuk memupuk harga diri dengan keegosentrisan bercelah alegori, Eliza kini memanen buah kepicikannya yang masam mengusik lidah bak duri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terlalu sibuk memupuk harga diri dengan keegosentrisan bercelah alegori, Eliza kini memanen buah kepicikannya yang masam mengusik lidah bak duri. Melirik jam di pergelangan tangan, perempuan itu mengerling jengah sembari menyumpal telinganya dengan earphone. Memutar lagu bisa membuatnya berhenti mendengarkan dengungan kata hati, setidaknya itu yang perempuan itu percayai.

Hari ini buruk, masam, bahkan pahit. Semuanya menghitam dalam gerbong lamunannya yang serupa pelabuhan surat-surat tak bernama berkonsentrasi kopong. Dalam hati Eliza merapal bahwa mungkin ini hanya kebohongan yang didesiskan monster di kolong tempat tidur, namun nahas realitas tak pernah benar-benar berpihak pada garis buram yang putus-putus di pelupuk matanya. Dunia memang gemar bergurau.

"Sial ... sungguh sial." Surai legamnya yang lepek oleh keringat ia cengkeram selagi bahunya yang tak lagi tegap bersandar lelah, ia marah dan kalah. Telinganya mungkin berasap imajiner saat ini, bak cerutu pria paruh baya yang duduk di dekat pintu keluar.

Perempuan itu menghindari luapan berang dengan mencoba membaca novel kegemarannya dari gawai. Benaknya tentu saja masih memberontak congkak, kontras dengan paras ayunya yang kini tertekuk oleh mendung yang nyata menaungi sorot mata. Tidak ada gunanya melarikan diri dari sepoi-sepoi benak yang penuh ilusi.

Pada akhirnya, konklusi menyeretnya kembali pada deret peristiwa siang tadi. Harga dirinya pailit dalam gulungan kertas lusuh bergelintin ego. Ia telah dipecat. Eliza terkekeh pahit sembari menggenggam erat gawainya.

Ia telah bekerja sebagai internal selama setahun lamanya dan banyak yang menaruh kepercayaan atas kinerjanya yang dianggap cakap. Semua orang mengharapkan ia melangkah ke tangga selanjutnya, namun belum sempat memijak ia telah tergelincir jatuh. Jauh sekali.

Sudut kosong dalam dirinya terus mengalunkan parade kebencian bertabur rasa skeptis. Ia terus bertanya-tanya apa sebenarnya yang kurang dalam dirinya.

"Aku mungkin terlalu tua."

"Meskipun aku memiliki pengalaman dan nilai yang baik, perempuan itu lebih cantik."

"Dasar kepala cabang mata keranjang!"

Pergolakan internal dalam diri Eliza agaknya semakin gencar merongrong kesadaran perempuan itu yang nautikal abu-abu, Eliza mengembuskan napas berat. Tubuhnya lunglai bak disetir lumpuh tamparan realitas, namun kejemawaannya belum habis terkuras, bahunya masih berpura-pura tegap dan sorot matanya pun tak kunjung melunak. Panas, rasanya seperti akan meledak kapan saja.

Satu pergerakan yang tertangkap matanya telah setara dengan satu sumbu api, ia kesal pada sepasang remaja yang bersenda gurau dihadapannya, ia kesal dengan seorang pria lansia yang tertidur sembari mendengkur di bangku samping kanannya, ia kesal dengan keluarga kecil yang terlihat bahagia di ujung sana. Eliza lagi-lagi mengembuskan napasnya, menyadari pemikirannya yang begitu kekanakan.

"Sudahlah Eliza, tidak ada yang perlu kau sesali. Setidaknya kau sudah berhasil menampar pria tua kurang ajar itu tadi pagi, itu cukup. Kau bisa mencari pekerjaan lain esok hari." Perempuan itu berujar pelan pada dirinya sendiri, ia tak yakin itu akan menambah kepercayaan dirinya. Namun tidak ada lagi hal yang bisa ia lakukan. Meski jauh di dalam benaknya, kekhawatiran tak tampak ujungnya.

Ketika ia kehilangan pekerjaan, itu artinya ia tidak bisa mendapat penghasilan untuk keluarganya, mirisnya orang-orang gemar menaruh beban ekspektasi yang begitu berat pada orang lain, namun ketika semuanya terjatuh mereka tak lagi peduli. Lucu sekali.

Eliza diam-diam berkontemplasi apakah ia harus mengabari ibunya atau tidak, rutuk kekesalannya belum surut, ditambah rasa perjalanan kereta kali ini terasa lebih panjang dari pada biasanya, entah karena apa.

"Sepertinya tidak perlu, ibu bisa khawatir," gumam perempuan itu entah kepada siapa. Lagipula simpanannya masih ada beberapa untuk dikirim pada keluarganya, ia akan bertahan. Bertahan. Karena sudah berjalan sejauh ini.

Watak resahnya memudar disapu senyap, earphone-nya kini tak lagi memutar lagu kegemarannya, ia membiarkan benda itu menggantung senyap sementara rungunya menangkap berbagai andante familier yang mengalun senada helaan napas. Ketika kereta tiba di pemberhentian terakhir, Eliza segera bangkit dengan sisa energinya yang telah berkedip hitam merah. Perempuan itu menyeret paksa lantainya yang gontai agar berjalan cepat. Tepat beberapa langkah setelah keluar dari kereta, perempuan itu merasakan seseorang menarik pelan ujung blazer yang dikenakannya. Perempuan itu segera menoleh dan menemukan figur seorang anak perempuan yang tadi ia lihat bersama orang tuanya di dalam kereta.

Dengan segaris senyum, anak itu menyodorkan sebungkus permen yang di atasnya terdapat secarik kertas berwarna kuning. Belum sempat Eliza mengucap rasa terima kasih, anak itu sudah berlari kembali pada orang tuanya.

Ketika tiba di kontrakannya, Eliza membaca kalimat yang tertera di kertas itu, kanvas wajahnya yang semula diselimuti awan hitam kini kembali menghangat dengan seulas senyum tipis. Perempuan itu menggenggam bungkus permen itu sembari membaringkan tubuhnya.

Jangan sedih terus kak, nanti cantiknya hilang!

Hidup memang penuh dengan kejutan, hal yang diinginkan atau hal yang sangat dihindari dapat terjadi kapan saja, namun Eliza juga sadar satu hal kali ini. Semua hal yang terjadi dalam hidup terjadi karena sebuah alasan, dan dibalik alasan itu pasti ada ibrahnya. Tidak ada gunanya membenci setitik peristiwa hitam dalam jalan hidup, sebab siapa tahu esok hari titik hitam itu akan terhapus dengan lembaran langkah yang baru.

 Tidak ada gunanya membenci setitik peristiwa hitam dalam jalan hidup, sebab siapa tahu esok hari titik hitam itu akan terhapus dengan lembaran langkah yang baru

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sebuah PerjalananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang