2 - satu permintaan

294 49 3
                                    

KARMA Kanigara mengenal Satria jauh sebelum Satria sesukses sekarang.

Saat Satria masih mahasiswa tahun ketiga yang selalu memilih kedai kopi dekat kampus sebagai tempat bolosnya. Yang kemudian, saking seringnya main ke Coffeenesian sekaligus bingung pekerjaan paruh waktu apa yang cocok dengannya, memutuskan untuk mencoba menjadi barista.

Berawal dari coba-coba, hanya ingin tampak keren di lingkarannya, bahkan Karma masih ingat benar betapa Satria tak bisa minum kopi tanpa gula, siapa sangka Satria bisa seperti Satria yang sekarang. Yang tampak selalu nyaman mengenakan apron, berkutat di balik meja bar, tersenyum puas setiap kali targetnya tercapai.

Namun, tentu saja kesuksesan Satria tak diraih semudah itu. Sebelum House of Cliché berdiri, ada hari-hari yang panjang untuk belajar meracik kopi yang nikmat. Ada juga waktu di mana Satria tenggelam melukis latte art, yang ujung-ujungnya masih saja bisanya sekadar dasar. Ada pula perjalanan dari satu kedai kopi ke kedai kopi lain sebagai pekerja. Belum lagi keterlambatan membuat pesanan yang berujung diomeli pengunjung di depan publik.

Mengingat itu membuat Karma tak bisa menahan diri untuk tersenyum. Setiap kali dia memberi pelukan selamat pada Satria, di momen-momen yang tetiba mengingatkan mereka, setiap kali itu pula Satria membalas, "Kalau bukan karena kamu, aku pasti enggak ada di sini."

Padahal, tak banyak yang Karma lakukan selain selalu ada di sisi Satria. Apa pun yang terbaik untuk Satria, Karma selalu mendukung. Satria hanya perlu yakin. Hanya itu.

"Kalau kamu aja meragukan dirimu sendiri, gimana orang lain bisa yakin?"

Sayangnya, nanti, pada satu titik, Satria lupa.

Lupa dengan apa yang pernah Karma ucapkan. Lupa bahwa kepercayaan adalah salah satu kunci utama di antara dua orang yang berniat membangun masa depan bersama.


***


"Apa harus, ya, Kar?" Setelah terdiam cukup lama, akhirnya suara Satria terdengar juga. Dia tak lagi menggenggam tangan Karma. Satria mundur, menjauh, bersandar ke punggung sofa. Meski demikian, Satria masih saja tak berhasil menutupi kegetirannya.

"Kita udah bahas ini, lho, Ya."

"Iya, aku tahu."

"Lalu masalahnya di mana?"

Satria mengembuskan napas berat. Kalau bisa, dia tak ingin mereka ada di situasi ini.

Namun, Karma benar. Tiga tahun silam, di tahun keempat hubungan mereka, saat Satria mengutarakan niat seriusnya—belum lamaran resmi; hanya mereka berdua, sebelum akhirnya Satria memboyong keluarganya datang ke kediaman Karma, Karma yang malam itu memberi anggukan setuju juga sekaligus mengajukan satu permintaan pada Satria.

"Sepakat! Setelah ini kita harus sama-sama menghemat. Kamu benar, aku juga enggak mau ngerepotin Mami. Tapi," Karma mengangkat jari telunjuknya, "sebelum kita menikah, izinin aku untuk traveling sendirian. Deal?"

Tanpa pikir panjang Satria langsung mengiakan. Entah karena euforia yang meledak di dada atau karena Satria berpikir suatu saat Karma bisa saja berubah pikiran. Lebih tepatnya, dengan kata lain, Satria yang membuat Karma mengubah keinginannya.

Bertahun-tahun bersama, rupanya Satria tak semengenal itu dengan Karma.

"Kapan, Kar?" Satria mengusap sekilas wajahnya. Frustrasi.

"Mmmh ..., minggu depan?"

"Minggu depan," Satria menggumam. "Berapa lama?"

"Belum tahu." Karma mengangkat bahu. "Kan, aku udah bilang, there is no planning, no schedule. Mungkin satu minggu, mungkin lebih."

DALAM TANDA PISAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang