3 - terjebak dalam dilema

257 44 0
                                    

SATYA Waruna baru saja tiba di salah satu restoran di bilangan Senopati saat ponselnya berdering menuntut perhatian.

Dia melirik sembari tetap fokus mengendalikan kemudi. Nama Eros terpampang di layar. Eros hampir jarang menghubunginya duluan. Bapak satu anak itu amat sangat sibuk. Kecuali, ada maksud penting di baliknya. Lima tahun mengenal, Satya sudah hafal sifat Eros satu itu.

Sesudah mobil boks yang dibawanya terpakir dengan sempurna, Satya gegas meraih gawainya yang diletakkan di wadah dekat persneling. Sembari menekan ikon telepon berwarna hijau, Satya meminta rekan kerjanya untuk turun duluan. Dia menunjuk ke ponsel yang menempel di telinganya. Restu, rekan kerjanya itu, mengangguk paham.

"Yo, Bang Eros!" sambut Satya. Penuh semangat seperti biasa.

"Halo, Satya Waruna yang belakangan mainnya bareng sayuran mulu. Sibuk lo?" suara berat Eros menyahut di ujung panggilan.

"Hahaha. Bisa aja lo, Bang. Kenapa, nih, Bang, kenapa?"

Eros diam sejenak. "Gue butuh bantuan lo, Sat."

Satya keluar dari mobil, menghampiri Restu yang sedang mengeluarkan boks kiriman mereka dibantu pegawai restoran. Tak enak tidak turun tangan, Satya berkata pada Eros, "Bang, gue telepon lima belas menit lagi, gimana? Gue kelarin freshbox dulu."

"Oke, oke, Sat. Jangan lupa kabarin gue."

"Sip, Bang." Satya menyimpan ponsel di saku celana, lalu bergerak mendekati Restu. Keduanya berdiri bersebelahan, masing-masing mengambil ancang-ancang sebelum mengangkat boks berukuran paling besar di antara yang lain. "Sori, Tu, tadi temen gue telepon," ujar Satya tak enak hati.

Restu tak langsung menanggapi. Berhasil mengangkat boks besar, pemuda itu bergerak mundur dengan Satya yang berusaha mengarahkan langkah mereka memasuki restoran. "Aman, Bos, aman," tukasnya sambil menahan tawa.

Andai saja Restu dapat melihat, di balik boks, Satya yang mendengar panggilan itu refleks memutar bola mata. Sudah berulang kali Satya mengingatkan Restu dan kawan-kawannya yang lain, Satya tak suka diistimewakan; dianakemaskan.

Memang, secara teknis, Satya dan Restu sama-sama pekerja di freshbox. Bahkan dari segi senioritas, Restu lebih dulu bergabung. Satya baru satu tahun terakhir, tepatnya sejak pandemi melanda tanah air tercinta. Bedanya mereka, Restu datang bersama surat lamaran, sementara Satya diberi tawaran langsung oleh sang paman, yang kebetulan adalah pemilik freshbox, bisnis yang bergerak di bidang supplier sayuran dan buah-buahan segar.

Tidak butuh waktu lama bagi Satya untuk mengiakan. Pembawaannya yang tak bisa diam dan selalu penasaran dengan hal baru membuat Satya semangat terjun ke bisnis pamannya itu. Siapa sangka, sekian bulan berlalu, Satya justru sangat menikmati. Datang ke pertanian; menjemput sayur dan buah segar, lalu mengantarkan boks-boks itu ke restoran, kedai kopi, juga perorangan. Berkeliling Jakarta, kadang bersama Restu, kadang bersama rekannya yang lain, dari pagi hingga sore.

Tak cuma itu, ada yang lebih penting. Bukan hanya waktu luang Satya yang tak berakhir sia-sia, tetapi juga ada yang ikut berubah dalam dirinya. Pandangan Satya.

Kalau tidak bergabung di freshbox mungkin Satya tak akan tahu bahwa bisnis pamannya ini ternyata dapat berlayar di segala kondisi. Satya tidak bilang tak terpengaruh sama sekali. Pandemi tentu saja mendatangkan perbedaan, tetapi freshbox jelas masih bisa bertahan bila dibandingkan dengan E-Traveler.

Pekerjaan Satya yang satu itu benar-benar mati suri sejak Maret tahun lalu.

Dan, itu jelas pertanda buruk bagi manusia-tak-bisa-diam seperti Satya.


***


"Pergi kapan, Bang?"

Sesuai janjinya, selesai memindahkan boks sayuran dan buah-buahan sekaligus bertemu dengan kepala dapur, Satya langsung menghubungi Eros. Restu yang melihat kesibukan Satya, menawarkan diri menjadi sopir. Mereka bertukar tempat duduk. Mobil boks hitam itu segera saja bergabung kembali dengan kepadatan ibukota di siang hari.

"Lusa, Sat," sahut Eros.

"Wah, parah lu, Bang." Satya geleng-geleng kepala tak habis pikir. "Dadakan banget."

"Itu dia! Erin enggak bilang ke gue kalau hari ini dia sakit."

Baik Satya maupun Eros sama-sama meledakkan tawa. Sejak kapan ada orang yang bisa tahu kapan dirinya terserang penyakit? Sejak kapan ada manusia yang bisa menebak hari esok? Omong-omong, Erin adalah saudari kembar Eros. Mereka berdualah pencetus E-Traveler. Si kembar yang hobi bepergian.

"Ngadi-ngadi lu, Bang," kata Satya sesudah gelakaknya mereda.

"Nah, itu dia juga, Sat!" Satya bisa membayangkan entah di mana pun Eros berada saat ini matanya pasti berbinar-binar senang. Eros menang satu poin. "Artinya lo enggak bisa nolak permintaan gue."

Benar, kan!

Satya melirik Restu sejenak. Volume suaranya menurun. "Masalahnya, Bang, gue enggak se-free kemarin. Gue butuh izin ke bos gue—"

"Paman lo," sela Eros.

"Iya, iya, itulah," Satya lekas menimpali. "Kan, belum tentu gue dikasih izin, Bang. Lima hari, kan, ini kata lo? Kalau enggak dadakan, sih, gue optimis."

"Dicoba dululah, Sat. Oke? Kabarin gue secepatnya. Kalau bisa paling lambat abis magrib ini malam. Biar gue bisa kirim rundowns dan lain-lainnya ke lo. Sip, oke?"

Belum sempat Satya menyahut, sambungan telepon dimatikan oleh Eros.

Satya mendengus. Satu lagi kebiasaan Eros. Bersamaan Satya menyimpan ponsel di saku celana, Restu yang sejak tadi diam mendengarkan mengajukan pertanyaan.

"Kenapa, Bos? Ada masalah?"

Ingin rasanya Satya meralat, tetapi ada masalah yang lebih genting, yang lebih menyita perhatiannya. "Bos gue di E-Traveler minta gue buat jadi tour leader."

"Oh, kerjaan lo yang satu lagi." Restu manggut-manggut. "Udah mulai bangun, nih, kayaknya. Mantaaap!"

"Itu juga yang bikin gue kaget."

"Tapi emang di berita gue lihat Mas Menteri Pariwisata yang baru lagi giat-giatnya menggenjot pariwisata, sih, Bos."

"Iya, itu, sih." Satya melempar pandangan ke luar mobil. Mereka baru saja melewati sebuah kedai kopi yang tampak ramai pengunjung. Satya tak sempat melihat namanya, tapi mungkin kapan-kapan dia bisa berkunjung ke sana. Satya selalu suka mencoba hal baru. "Gue bingung, nih, izinnya gimana."

"Ya, kan, tinggal ngomong, Bos."

Jawaban enteng Restu mendapat delikan tajam Satya. Sama aja kayak Bang Eros! Sementara itu yang ditatap cuma menyunggingkan cengiran lebar.

Jujur saja, Satya yang dulu pasti bisa langsung mengiakan. Apalagi ini berkaitan dengan hobinya. Hobi yang dibayar, itu. Namun, Satya yang sekarang tak bisa seenak itu. Dia juga punya tanggung jawab di freshbox. Meskipun bosnya adalah pamannya sendiri bukan berarti Satya bisa sesuka hati. Di sisi lain, Eros sudah banyak menolong Satya. Kalau bukan karena Eros, Satya tak mungkin bisa terlibat dalam banyak pengalaman hebat.

Ya, Tuhan, Satya benar-benar dilema.

Tak mau dipusingkan sesuatu yang belum terjadi, Satya memutuskan untuk mengikuti saran Restu. Sesampainya di kantor freshbox, dia harus segera menemui dan berbicara dengan sang paman.

Bagaimana hasilnya, lihat saja nanti.

[ ].

DALAM TANDA PISAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang