— ONCE AGAIN, THE DOOM'S
NIGHT —Tanganku mencoba mencapai angin. Menghalau dingin ditengah lika-liku labirin.
Ah, aku mendapatkannya lagi. Seacak itu isi mimpiku belakangan sampai aku merasakan pening setiap kali terbangun. Namun, seolah mengerti jenuh bersama jantung yang tak henti bertalu, rasa takut itu kemudian menyuguhkanku pemandangan berbeda. Tanganku tak lagi berusaha menggapai udara—terhenti, manikku membesar. Itu adalah pemandangan sorak sorai penonton dengan lima pemuda berdiri dengan gagah di atas panggung.
Tunggu dulu, ini rasanya familiar.
Benar juga. Aku mengingatnya di sekon berikutnya; momen tiga tahun lalu—penampilan lima lelaki yang begitu memukau—sekaligus clue atas puncak konflik dan kami pergi ke Magical Place. Tempat terkutuk, semesta dimana semua fantasiku bermula, dan lokasi lambang perpisahan. Entahlah, aku agak ragu. Apakah aku pantas menyebutnya begitu? Yang jelas, itu adalah tempat di mana aku melakukan rewind sekaligus mengulang semuanya sedemikian rupa. Kehilangan salah satu dari kami. Membuatku selalu merasa gagal seumur hidupku.
Kami menyebutnya, malam kiamat kami yang pertama. "The First Doom's Night."
Menyaksikannya tentu membuat hatiku merasa ngilu, bayangan itu kembali lagi, menghantam isi kepala layaknya film dokumenter. Namun semuanya tak cukup sampai di sana. Pemandangan yang sebelumnya serupa gedung konser yang berkilauan mendadak berubah jadi mengerikan tatkala naga bersayap datang. Mengacaukan semuanya, dan menimbulkan kepanikan.
Netraku tertangkap di sana—pada Suho yang seharusnya tidak berbalik dan melangkah mendekatinya. Alih-alih mencoba menghalau dan tak membiarkan Suho pergi, yang lain terhenti saat Suho memberikan senyum. Perlahan maju dan menyerahkan dirinya.
Tidak. Seharusnya tidak seperti ini.
Bukankah pengorbanan sudah pernah dilakukan satu kali?
Jangan lagi ....
"If another chance is given, will you thwart the second dooms's night?"
(Jika kesempatan diberikan sekali lagi, maukah kau menggagalkan malam kiamat kedua?)
Aku memejam kuat, meremat suraiku sendiri dan meringkuk di posisi.
"Argh!" Aku terbangun. Membuka mata dan mendapati baju piyamaku kuyup oleh peluhku. Ini gila. Bahkan rasa takut itu tidak hilang saat aku telah menyadari aku hanya terduduk di atas ranjang dan aman di dalam kamarku sendiri. Menggeleng sekilas, aku meraih ponsel di atas nakas. Menghubungi satu lelaki yang selama ini mengambil peranan besar menjadi tempatku mengadu—Taehan.
Lima sekon berlalu sampai panggilan itu terangkat di seberang sana dan aku mendesah gusar seraya menggigit jari. "T-Taehan ...."
"Valda?" panggil Taehan serak. Aku tahu dia pasti kesulitan sebab kantuk menyerangnya. Kulirik jam beker merah muda bentuk hati di dekatku—itu nyaris pukul 3 dini hari. "Ada apa? Kau menangis?" tanyanya lagi saat mendengar isakanku.
"Y-ya." Tentu aku mengaku. Mana pernah aku bisa beralibi dengannya.
"Mimpi buruk lagi?"
"Memangnya apalagi?" tanyaku balik, setengah kesal. Itu karena selama tiga malam sebelumnya di minggu lalu, aku memang rutin menghubunginya tanpa alasan, hanya ingin mendengar suaranya saja. "M-maaf mengganggu tidurmu lagi, Taehan. Aku tidak tahu ... aku selalu refleks menelponmu saat panik."
"Apa perlu minta maaf begitu?" Nada suara Taehan jatuh lebih rendah. "Kita sudah bersama selama tiga tahun dan selama itu juga kebiasaanmu itu terus terjadi, Val."
"Maaf." Aku mengusap pipi, tak mampu berpikir jernih.
"Kau mau aku ke sana sekarang?"
"Tidak usah."
"Lalu, apa? Kita video call saja?"
"Tidak perlu, wajahku menyedihkan, aku malu." Aku membuang napas panjang, menggeser diri mundur agar bisa menyender. Kemudian menekuk lutut dan memeluknya. "Kita bicara saja sampai sebentar lagi."
"Oke. Mau bicarakan apa? Soal mimpimu?"
"Taehan, sebenarnya aku ...." Aku terdiam. Kontradiksi lantas menyusup ke otakku, membantah satu niat untuk berbagi keluh kesah. Apa benar untuk menceritakan pada Taehan sekarang?
Soal mimpi buruk yang bukan seperti biasanya. Soal bisikan dari tempat misterius—persis yang kudapat sewaktu ditakdirkan mencari lima monster tiga tahun silam.
Apakah boleh?
"Sebenarnya apa? Hm? Kenapa kau diam?"
"Taehan, semuanya sedang ada di Seoul, 'kan? Termasuk Kak Suho juga?" tanyaku langsung, memproses kalimat pengalihan dengan cepat. Aku bertanya begini, sebab meskipun tahu bahwa kami berlima berkuliah di universitas yang sama, Suho atau Ken kerap kali mengabari kalau sempat berangkat ke luar negri guna mengurusi beberapa urusan mereka.
Oh iya, sekedar informasi juga, sekitar setahun yang lalu ketika kelulusan angkatanku, Suho memberikan tawaran pada Ken untuk bergabung di keluarganya. Mengadopsi Ken menjadi putra bungsu di kartu keluarga mereka dan membiayai Ken berkuliah juga. Sejak saat itu, nama Ken resmi mendapat marga keluarga Suho menjadi Han Ken. Benar-benar satu kabar yang membahagiakan.
"Hm, tentu. Aku baru bertemu dengannya dan Ken kemarin. Dan seperti yang kau tahu juga, aku dan Kak Beomin sekarang selalu bersama kemana-mana."
"Oh, bagus." Aku menghelas lega, menghapus jejak peluh di sisi dahi. "Aku mau kita semua berkumpul nanti sore, ada hal ... yang ingin kubicarakan dengan kalian."
• TO BE CONTINUED •

KAMU SEDANG MEMBACA
2. Can't We Just Leave The Monster With Me? | TXT
Fanfiction𝐂𝐀𝐍'𝐓 𝐖𝐄 𝐉𝐔𝐒𝐓 𝐋𝐄𝐀𝐕𝐄 𝐓𝐇𝐄 𝐌𝐎𝐍𝐒𝐓𝐄𝐑 𝐀𝐋𝐈𝐕𝐄? (𝐒𝐄𝐀𝐒𝐎𝐍 𝟐) Tak pernah sekali pun Kim Valda menduganya. Pasca kembali ke kehidupan normal selama hampir tiga tahun, ia justru mendapatkan lagi mimpi soal misi misterius ters...