Kesembilan

0 0 0
                                    

Petra berjalan keluar dari kamarnya dengan wajah datar, tadi pagi memang sudah di katakan bahwa malam ini mereka akan makan malam bersama, tentu saja bersama keluarganya, ini memang merupakan agenda sekali sebulan mereka akan bertatap muka dan menyantap makanan sambil berbincang ringan. Kedengaran menyenangkan memang tapi lain lagi jika objek perbincangan ujung ujungnya lebih sering tentang ketidakmampuan dirinya sendiri.

Petra sampai di depan meja makan dan langsung duduk, disana sudah ada seorang laki-laki umur 24 tahunan dan wanita paruh baya dengan gaya anggung yang tidak lain adalah kakak dan ibu Petra sendiri, kedatangannnya mengundang perhatian kedua orang itu sampai ia mendudukkkan bokongnya.

"Tra, gimana sekolah kamu?" Tanya kakak laki-lakinya. Haris.

Petra membenci kakaknya, laki-laki itu adalah definisi dari bagaimana terpenuhinya semua ekspektasi dari kedua orang tuanya. Otak encer, anak kedokteran, kepribadian ramah, dan tidak pernah membangkang tentunya menjadi sangat kontradiktif bila di sandingkan dengannya.

"Baik." Jawab Petra singkat, ia menatap Haris sebentar lalu memandang ke arah depan lagi. Ia tentunya sangat malas walau hanya menjawab pertanyaan Haris tapi jika ia tidak melakukannya, wanita yang ia sebut ibu akan menatapnnya tak suka.

"Kalau kamu gimana sayang? Koasnya lancar kan?" Tanya Laela, ibunya. Wanita itu memandang Haris teduh di sertai senyuman lebar, tampak sekali bagaimana bahagianya ia memiliki anak seperti Haris. Calon dokter muda yang cemerlang.

Petra hanya diam, telingannya mendengar derap langkah kaki yang berjalan menuju meja makan, kemudian sosok seorang pria berumur 50 tahunan duduk tegap di ujung meja. Dibingkai kaca mata kotak dengan kemeja hitam. Pria itu adalah Ayah Petra. Tirta Atmaja.

Tirta Atmaja adalah seorang Dokter bedah terkenal,

Kehadiran Ayahnya selalu membuat Petra terintimidasi, karena pria itu akan memandangnya lama lalu membuang mukanya, berbicara sedikit saja tapi sering membuat mentalnya terluka.

Segera setelah Ayahnya datang, mereka mulai menyantap makan malam, suasanya yang sangat sangat dingin karena tidak ada satupun yang bersuara kecuali gesekan sendok dan garpu dengan piring keramik.

"Bagaimana dengan Koasmu Haris?" Tanya Tirta dengan suaranya yang dalam.

"Semuanya lancar."

"Baguslah, dan bagaimana dengan kamu Petra?" Tanya Tirta, menatap langsung kedalam mata Petra yang sekarang rasanya ingin menenggelamkan dirinya saja di amukan badai samudra.

"Baik."

"Kamu selalu menjawab pertanyaan seperti itu tapi tak ada satupun yang becus kamu lakukan." Nahkan, sudah dimulai. Sementara Haris dan ibunya hanya akan menonton ketika Tirta mencecarnya habis habisan setelah ini.

"Maafkan saya jika tidak ada yang bisa saya lakukan." Ucapan itu langsung membuat kedua orang yang tadi hanya membisu dan menonton kontan menatap kearahnya.

"Siapa yang mengajarimu menjawab seperti itu?"

"Bukannya kenyataannya memang seperti itu? Saya sampai kapanpun tak akan bisa melakukan apapun sesuai keinginan anda."

"Petraa" Panggil Haris dengan nada halus, Petra melihat kearah Haris dengan ekpresi datar.

"Lagipula, semua keluarga memang akan selalu memiliki satu kecacatan, dan beruntung sekali bukan anda yang menjadi kecacatannya."

"Petra, jaga ucapanmu."

"Oke." Lalu hening, Petra memilih menutup mulutnya duduk tenang sampai tiba tiba sesuatu membentur kepalanya, tepatnya pelipisnya, Petra melihat kepada Ayahnya yang sedang memegang pegangan lilin besar yang panjang yang tadi di benturkan ke kepalanya.

"Saya tidak pernah mengajarimu berbicara seperti itu." Ucap Tirta menatap manik mata Petra dari balik kacamatanya.

Petra merasakan perih, dan sepertinya darah menetes dari pelipisnya melihat runcingnya pegangan lilin itu, ia tersenyum kepada ayahnya lalu beranjak bangun dari duduknya, ia tidak sempat melihat reaksi kedua orang yang hanya menontonnya tadi. Persetan dengan mereka, pelipisnya terasa sakit.

Petra kembali ke dalam kamarnya, berjalan kedalam kamar mandi dan melihat pelipisnya yang masih mengeluarkan darah. Ia menyentuh lukanya lalu menghena nafas.

"Punya orang tua kok sinting." Ucapnya sambil terkekeh, seolah sangat biasa dengan keadaannya seperti ini karena kenyataannya, Tirta Admaja bukan hanya dokter bedah terpandang tapi sekaligus ayah Abusive.

Ia lalu membasuh wajahnya agar darahnya ikut menghilang dan hanya melakukan itu lalu membanting tubuhnya di kasur. Mengambil ponselnya lalu mendial satu nomor yang membuatnya tersenyum dengan hanya melihatnnya.

"Halo?" Sapa seorang gadis di balik telepon.

"Hai."

"Ngapain nelpon?" Tanya gadis itu, Petra bahkan bisa membayangkan bagaimana ekpresi dari gadis itu ketika bertanya seperti itu.

"Bell, gue boleh selingkuh gak." Tanya Petra sambil tertawa pelan.

"Boleh, mau selingkuh sama siapa lo?" Jawab gadis itu cepat tanpa berfikir sama sekali.

"Lo punya temen cakep gak?"

"Punya, tapi guesih yakin banget dia gak bakalan mau sama lo."

"Bell?"

"Iya apaan?"

"Lo lagi apa?"

"Sibuk ngirup oksigen sama ngeluarin karbondioksida."

"Bell?"

"Manggil gak jelas sekali lagi gue matiin telponnya."

"Abelll sayangg? Panggil sayang boleh kan?"

"Jangan ngelunjak ya."

"Iyaiya, galak banget sih."

"Lo ada masalah apa?" Pertanyaan gadis itu membuat Petra terdiam selama beberapa saat, lalu mengelak pertanyaan itu ketika ia sudah sadar.

"Gak ada papa, lagi kangen aja."

"Lo lagi capek ya?" Tanya gadis itu sekali lagi, membuat Petra langsung bangun dan duduk tegak.

"Apasih, gak jelas banget."

"Suaralo kok beda?"

"Kok lo tau suara gue beda?"

"Gue nggak tau lo ada atau gak ada masalah apa sekarang, tapi lo harus tau satu hal.." ucap Abel menggantung Petra bersiap siap mendengar apa ucapan selanjutnya dari gadis itu.

"Kalo elo emang gak jelas, ngapain nelpon gue ngijin selingkuh bambang. Gak ada yang lebih berfaedah kek."

"Lo emang nyebelin banget ya."

"Kenapa? Lo ngarepin gue bakal ngucapin kata kata motivasi? Lo pikir gue Mario Teguh? Yakali." Ucap Abel terdengar tertawa di akhir kalimatnya.

"Ha.ha.ha lucu banget." Kata Petra datar.

"Dah ah, pulsa gue abis nih lama lama." Lalu sambungan di putus, padahal yang menelepon adalah Petra sendiri, bagaimana ceritanya pulsa gadis itu yang habis. Sementara Petra hanya memandang bingung kepada ponselnya karena ucapan Abel tadi.

"Semua orang berubah sinting atau gue yang kurang waras sih."





Let's Break Up in JuneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang