Bagian Delapan

285 48 3
                                    

Beberapa bulan kemudian....

"Selamat pagi, Bu!" sapa Boby pada Shania saat berpapasan di lorong kelas.

"Pagi!" sapa Shania. Alisnya menukik tajam. "Kamu enggak masuk ke kelas? Bel masuk sudah 10 menit yang lalu."

Boby hanya mengulum senyum. "Saya males ikut pelajaran Pak Surya, Bu. Cuma bikin ngantuk," keluh Boby.

Shania menggeleng. "Boby, ini tahun terakhir kamu di sekolah. Seharusnya, kamu harus lebih giat lagi. Kamu sudah harus mulai memikirkan masa depan kamu," saran Shania. Tangannya bergerak mengusap perutnya yang sudah tampak membuncit.

Boby melirik gerakan itu. "Um, sudah berapa usia kehamilan Ibu?"

"Kenapa kamu tanya hal yang tidak penting?"

"Bagi saya, um ... itu pertanyaan penting." Boby menggaruk-garuk pipi.

Senyum Shania terkulum. "Jalan 5 bulan."

Tiba-tiba saja, tanpa diduga ... Boby menahan napas. Kala tangan Shania menyentuh puncak kepalanya. "Kamu harus rajin belajar, Bob. Masa depan kamu ada di tangan kamu sendiri." Setelah melakukan itu, Shania berlalu begitu saja.

Boby mematung, tangannya bergetar mengusap jejak sentuhan Shania.

"Kalau masih boleh, di masa depan ... saya ingin bersama Ibu," lirih Boby menatap sendu punggung Shania yang kian menjauh.

.

..

...

"Oi, Nal! Kita disuruh kumpul dulu di ruangan Pak Andar." Bang Togar menghampiri Kinal yang sedang bersiap-siap memulai pekerjaannya.

"Ada apa memangnya, Bang?"

Bang Togar mengangkat kedua bahu. "Mana aku tahu. Tapi, kudengar gosip yang beredar. Bengkel ini akan ditutup karena terus rugi."

Kinal meneguk air liur. Pikirannya langsung melayang ke mana-mana.

Bagaimana kalau benar bengkel ini akan ditutup?

Ia harus memutar otak lebih keras lagi untuk mencari pekerjaan baru.

Sedangkan Shania sedang hamil.

"Kenapa kau malah bengong?" Bang Togar memukul bahu Kinal. Seolah menyadarkan Kinal.

"Enggak apa-apa, Bang."

"Jangan bohong kau! Aku tahu apa yang kau pikirkan. Aku pun sama, Nal. Aku harus membiayai keluargaku. Ketiga anakku masih butuh biaya sekolah. Kalau memikirkan nasib kita di sini. Memang akan bikin stres. Tapi kuyakin, Tuhan tidak akan sekejam itu, 'kan," ujar Bang Togar berusaha menghibur dirinya sendiri dan juga Kinal.

Kinal mengangguk, mengerti maksud ucapan Bang Togar.

Beberapa pekerja bengkel pun sudah terlihat berkumpul.

"Selamat pagi semua!" sapa Pak Andar kepada bawahannya. "Seperti yang kita ketahui semua, akhir-akhir ini keadaan bengkel sangat memprihatinkan. Saya sudah mengupayakan semua usaha agar bengkel ini bisa tetap berjalan. Akan tetapi, perekonomian yang sedang lesu membuat saya angkat tangan untuk terus melanjutkan usaha bengkel ini." Pak Andar memerhatikan satu per satu wajah-wajah lemas bawahannya.

Helaan napas panjang terdengar dari bibir Pak Andar. "Tapi ... saya patut bersyukur, di tengah-tengah masalah seperti ini. Bantuan Tuhan selalu hadir. Saya memang berencana akan menutup bengkel ini. Akan tetapi siapa yang menyangka ... ada seseorang yang mau membeli bengkel yang akan bangkrut ini. Beliau pun sudah memutuskan akan tetap melanjutkan usaha ini."

Wajah-wajah cerah kembali terbit. Semuanya menghela napas lega. Para bawahan Pak Andar mengucap syukur yang sedalam-dalamnya. Begitu pula Kinal. Dalam hati, ia mengucapkan rasa syukur tak henti-henti. Perasaan cemas itu luruh hilang dari benaknya.

"Saya bersyukur sekali, sekian tahun ini bisa memimpin bengkel yang awal tidak seberapa menjadi bisa besar seperti sekarang ini. Semua ini berkat kerja keras kita bersama. Saya ucapkan terima kasih banyak atas segala kerja keras kalian semua," sambung Pak Andar. "Langsung saja, saya akan memperkenalkan kepada kalian semua, pemilik bengkel yang baru."

Suara pintu yang dibuka seseorang membuat seluruh pasang mata yang ada di ruangan itu terpaku ke arah ke pintu.

Wanita berambut panjang terurai itu berjalan dengan anggun mendekati Pak Andar. Ia berdiri di sampingnya. Pandangannya terus tertuju pada sosok Kinal yang berdiri paling belakang.

"Perkenalkan, ini ... Ibu Jessica Veranda. Beliau pemilik bengkel yang baru."

Veranda merendahkan kepalanya sebentar. Ia tersenyum penuh arti ke arah Kinal.

Tatapan keduanya bertemu sejenak. Namun, cepat-cepat Kinal mengalihkan pandangannya. Terdengar beberapa karyawan saling berbisik mengagumi kecantikan Veranda--sang pemilik baru.

.

..

...

Pramudya tertunduk lesu. Melirik tumpukan laporan yang menggunung. Bisnisnya sedang berjalan tidak baik-baik saja. Banyak kerugian di sana sini. Ia memijit pelipis, berusaha mencari cara agar perusahaan yang ia rintis sejak muda tetap bisa berjalan.

"Ya Tuhan!" lirihnya dengan amat putus asa.

Meminjam uang kembali pada bank tidak mungkin ia lakukan. Cicilan utang pun sudah begitu mengunung. Semua aset penting pun sudah ia jual untuk menutupi pembayaran gaji-gaji karyawan yang tersisa. Yang tersisa hanya rumah yang ditinggalinya sekarang. Itu pun tidak mungkin ia jual begitu saja.

Pramudya melonggarkan dasinya. Ia mengusap kasar wajahnya, benar-benar amat putus asa. Ia bertepekur sejenak, masih berusaha mencari jalan keluar.

Hingga satu nama terlintas di benaknya.

Siapa tahu saja seseorang itu mau membantunya dari keterpurukan ini?

Dengan cepat, ia meraih ponsel yang sejak tadi teronggok di atas meja lalu menghubungi seseorang.

"Halo, Veranda! Bisakah siang ini kamu mampir ke kantor, Om?"

"............................................"

Senyum lega terukir di bibir Pramudya setelah memutus sambungan teleponnya.






Bersambung....

_________________________

Terima kasih.

22-04-2021

OBSESSIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang