Bagian Sembilan

313 53 11
                                    

"Oi, Nal! Dipanggil si Bu Bos tuh!" seru Bang Togar pada Kinal yang tengah membasuh tangan.

Kinal mengeringkan tangannya. Menghampiri Bang Togar yang tengah menyeruput kopi pekatnya. Maklum saja, waktu jam makan siang tengah berlangsung.

"Ada apa ya, Bang?" Kinal menaruh lapnya ke atas meja. Ia melirik bekal yang ada di atas meja kayu--yang Shania buat tadi pagi.

Bang Togar mengangkat kedua bahu. "Tak tahulah aku!" Ia menyambar sepotong tahu goreng isi yang masih hangat.

"Ya udah, saya ke sana sekarang."

"Eh, Nal! Hati-hati kau tergelincir!" nasihat Bang Togar

Kinal menggaruk tengkuk, tidak mengerti ke mana arah ucapan Bang Togar.

Dengan amat pelan, Kinal mengetuk pintu ruangan Veranda. Ruangan yang kini telah dipugar dan dibuat senyaman mungkin.

Suara seruan dari dalam, menuntun Kinal untuk membuka pintu. "Ibu memanggil saya?"

"Masuklah dulu!" Veranda meletakkan penanya. Ia mengulum senyum. Namun tidak menapik, kehadiran Kinal cukup membuat resah degup jantungnya. Setelah sekian lama, akhirnya ia kembali merasakan gairah jatuh cinta.

Dengan langkah ragu, Kinal melangkah lebih dalam lagi. Kepalanya tertunduk. Seolah menegaskan siapa dirinya di hadapan wanita itu.

"Kamu sudah makan siang?" Veranda beranjak berdiri. "Saya sudah pesan makanan untuk makan siang. Mau temani saya?" Ia berjalan dengan begitu anggun, memutari meja persegi kaca. Jari telunjuknya menari gemulai di atas meja kaca itu. Mendekati Kinal. Melirik beberapa kotak makanan yang sudah dipesannya tadi.

"Terima kasih, Bu. Tidak perlu repot. Saya sudah membawa bekal," terus terang Kinal.

Veranda bergumam panjang. Ia tidak ingin menyerah. Masih mencari cara untuk mengulur waktu agar bisa berlama-lama dengan Kinal.

"Pasti bekal buatan istri kamu, ya." Terdengar ada kecemburuan di sana. Veranda masih tidak rela. Bukan, Veranda tidak peduli dengan status Kinal yang sudah beristri. Sejak dulu, Veranda selalu mendapatkan apa yang diinginkannya. Ia wanita petarung, ambisius, dan tidak pernah mau mengalah perihal apa pun yang sudah menjadi tujuannya. Tidak ada istilah kalah atau mengalah dalam kamus hidupnya.

Kinal hanya mengangguk. "Kalau tidak ada keperluan lain. Saya permisi dulu, Bu." Ia merendahkan kepala, dan hendak berlalu dari ruangan itu.

Dengan cepat Veranda menarik lengan Kinal. "Tunggu! Saya belum selesai," titah Veranda. Kini, ia berdiri dekat sekali dengan Kinal. Tepat di hadapan Kinal.

Kinal tidak suka dengan aura yang memancar dari wanita yang ada di hadapannya. Wangi parfum mewah beraroma lembut menusuk indera penciuman Kinal. Yang membuat siapa saja mabuk ketika menghirupnya. Namun tidak untuk Kinal, aroma tubuh Shania-lah terbaik untuknya. Yang seolah sudah tertanam dalam otaknya.

Kinal bukanlah pria polos. Dulu, ia adalah seorang lelaki berengsek. Seorang petualang cinta. Berkat tahta, harta, dan ketampanan ditambah beberapa kata manis. Dia bisa mendapatkan wanita mana pun. Kinal sudah bertemu dengan berbagai tipe wanita dalam hidupnya. Namun, dirinya yang sekarang adalah berkat istrinya, Shania. Setelah bertemu dengan Shania, dunianya berubah seratus delapan puluh derajat. Lewat Shania ia diajarkan untuk lebih menghargai hidup. Bagaimana menghargai perasaan wanita.

Situasi sudah terbaca oleh Kinal. Ia tidak ingin terperangkap oleh wanita yang ada di hadapannya.

Veranda memandangi Kinal dengan seriangaian. Memindai setiap lekuk garis-garis tegas pada wajah Kinal. Kinal adalah pria impiannya. Apa pun akan ia lakukan demi untuk mendapatkan hati pria yang berdiri tepat di depannya.

Tangan Veranda terangkat, lalu berkata, "Masih ada oli di wajah kamu?"Hendak menyeka sisa oli yang tertinggal di wajah Kinal.

Namun, dengan segera Kinal melangkah mundur. Tidak mengizinkan Veranda untuk sekadar menyentuhnya. "Saya permisi, Bu." Cepat-cepat Kinal berlalu dari ruangan itu.

Senyum penuh makna terkulum di bibir Veranda. Ia melipat tangan di dada. Saya tidak akan menyerah begitu saja—pikirnya. Kamu harus jadi milik saya, Kinal—ia menegaskan.

.

..

...

"Ya ampun, kamu kok wangi banget."

Kinal mengendus kemeja polos yang ia kenakan. "Ah, enggak kok. Biasa aja ini."

Shania memindai penampilan Kinal yang terlihat tidak seperti biasa. Celana chino berwarna krem lembut. Kaus putih sebagai dalaman dan kemeja polos berwarna biru pastel yang tidak dikancing membuat dahi Shania berkerut dalam.

"Sayang, kita cuma mau ke rumah sakit. Periksa kandungan aku. Kok kamu heboh banget,sih."

Kinal berputar sebentar layaknya seorang putri kerajaan. "Biasa aja, kok. Kayaknya kamu deh yang heboh."

Shania mengendus sesuatu yang tidak beres dari suaminya. "Kamu mau modusin suster-suster di sana, ya?"

"Ih, apaan!"

"Awas, ya. Kalau kamu genit-genit lagi."

"Sejak kapan saya genit-genit."

Shania memutar malas kedua bola matanya. "Sepertinya ada yang amnesia."

Kinal langsung terkekeh. Ia meraih pinggul Shania. "Saya sudah punya kamu. Masa mau genit-genit." Merengkuh Shania lebih lekat lagi. Ia mencium bibir Shania yang tertutup. Setelah beberapa saat, ia mendapat balasan dari Shania. Rasanya masih sama seperti ciuman pertama mereka. Selalu mampu membuat keduanya mabuk. Shania membuka ruang untuk Kinal menjelajahi area dalam mulut Shania. Menyatukan saliva mereka.

Shania menjauhkan tubuh Kinal. Ia menahan dada Kinal. Shania tidak ingin acara hari ini rusak karena harus berakhir di tempat tidur. "Nanti kesorean."

"Kamu enggak asyik!" keluh Kinal seperti anak kecil yang tidak dituruti permitaannya oleh ibunya.

Tidak acuh, Shania meraih tas tangannya yang sejak tadi teronggok di atas ranjang. "Berangkat sekarang, yuk."

Kinal meraih tas tangan Shania. "Biar aku bawain."

Shania hanya mengulum senyum. Mengekori langkah Kinal yang sudah terlebih dulu.

Kinal berdiri mematung di depan pintu yang hendak ditutupnya. Sebuah sedan mewah mengkilap tampak berhenti tepat di depan rumahnya. Dada Kinal berdebar tidak nyaman. Ia bisa mengira siapa pemilik mobil itu.

Seorang pria paruh baya turun dari mobil itu. Berjalan mendekati pekarangan kecil rumah Kinal.

"Selamat sore, Tuan Muda," sapa Pak Bagio—supir pribadi Pramudya.

Kinal merendahkan kepala. "Sore, Pak Bagio. Apa kabar?"

"Kabar baik, Tuan Muda. Bagaimana kabar Anda?" Ia melirik Shania yang berdiri di ambang pintu. "Sore, Nona Shania."

Shania menggerakkan kepala. "Sore, Pak."

"Tuan Besar ingin bicara dengan Anda. Ia menunggu di mobil."

Kinal menghela napas amat panjang. Ia mendekati Shania, meraih jemari Shania kemudian menggenggamnya. Seolah meminta izin pada istrinya.

Shania mengangguk. Kinal pun berjalan mendekati mobil yang terparkir di sana.

Raut wajah Shania langsung berubah. Mengamati mobil itu dari kejauhan dengan firasat tak enak.






Bersambung....

__________________________

Terima kasih.

26-06-2021

OBSESSIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang