Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Jam 06.30 WIB, suara AlarmSmartphone berbunyi. Menggantikan tugas sang-ayam. Seorang pemuda menggeliat setengah sadar di atas tempat tidur.
Tangan pemuda itu menyentuh layar gawai. Mematikan suara yang mengganggu telinga. Namanya Gio Putra Surya. Anak sekolah kelas tiga di SMK 14045 kejuruan Pariwisata, di Kota Medan.
Kruk kruk suara cacing di perut meronta-ronta, mencium aroma bakwan udang yang di masak Ibunda.
Gio turun dari tempat tidur, berjalan bergegas ke dapur. Klontang! tanpa di sadari Gio menendang mangkuk kaleng bekas wadah bakso, yang ia tinggalkan di lantai kamar tadi malam.
"Sial!" ucap Gio kesal. Gio bergegas pergi begitu aja, tanpa menghiraukan kuah bakso yang tumpah karena kakinya.
"Sendal mu di pakai nak," ucap Ibu Ana. Ibunda Gio. "Dapur masih berantakan. Banyak paku." Sambil memasukan adonan ke penggorengan, Ibu Ana memberi tahu Gio.
"Bu, di mana kain pel?" Sambil berjalan menghampiri Ibu Ana, Gio mencari kain pel.
"Belum di beli. Gunakan kaos bajumu yang gak di pakai sana."
"Baju Gio masih bagus-bagus lah bu. Gak ada yang jelek dan tak terpakai." Gio sambil mengunyah bakwan yang di ambilnya dari piring.
"Ya udah, beli ke pasar sana." Ibu Gio mengambil uang dari saku baju dasternya, "Ni uangnya, dan ini daftar belanjaan yang harus kamu beli."
Gio melihat daftar belanja memutar-putar daftar belanja yang ada ditangannya. "Hanya ini?" ucap Gio langsung keluar dari rumah lewat pintu dapur.
Berapa langkah ia pergi, lalu ia berjalan mundur balik masuk kerumahnya. "Hehe ... belum ganti baju." Gio dengan ekspresi cengengesannya.
Ibu Ana hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan anaknya itu. Gio mengambil piring kecil dan meletakkan beberapa bakwan lalu berjalan ke ruang tamu, menonton Upil-Ipil sambil menikmati sesajen yang di bawa dan berlalu tidur.
POV GIO
Udara sejuk di kaki gunung, aku seorang pengembara. Mencari suasana kehidupan baru yang tidak pernah aku alami. Kaki ku melangkah tak henti, kanan-kiri terus berjalan diiringi angin berhembus, searah langkahku.
Aku menarik napas panjang, serta tangan membentang menikmati setiap pemandangan. "Sungguh segar udara pagi ini. Hamparan gunung di depan mata, sawah dan kebun menjadi pemandangan menakjubkan. Benar Tuhan adalah pelukis terhebat di Alam Semesta."
Aku terus berjalan, menyapa setiap orang yang aku temui. Tak terasa kakiku membawa kesebuah Kompleks Candi Arjuna yang merupakan salah satu peninggalan kerajaan Mataram Kuno. Lokasinya berada di Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara.
Aku mendekati Candi Arjuna ukiran demi ukirannya, tingkat karya seni yang indah. "MasyaAllah." Bibirku berucap seketika mataku melihat gadis manis nan anggun berjalan dari sisi belakang Candi Srikandi.
Aku terpesona dengan kecantikannya. Sinar mentari menyinari dari belakang tubuhnya. Menambah kecantikan dari gadis dengan kebaya putih di dominasi warna biru muda yang menutupi tubuhnya.
Kaki ku bergerak sendiri menghampiri dirinya. Kebetulan dia juga berjalan mengarah kearah ku. Ketika kami berpapasan aku hanya bisa berdiri diam tanpa sepatah kata terucap, hanya mata yang mampu melihat keindahannya.
Wangi bunga melati dari tubuhnya tercium jelas di hidungku. "Oh ... Nona. Siapa namamu?" ucapku ketika dia sudah jauh dari pandanganku.
Sekian menit aku terdiam dan dia pun menghilang dari pandanganku, aku masih berdiri menikmati sekian menit keindahan yang terlihat oleh mata kepalaku.
Tanpa ku sadari aku tersenyum malu, baru kali ini aku merasakan getaran hati dari pesona wanita yang kulihat jelas sampai seluruh tubuhku merasakan kehadirannya.
"Dasar pengecut!" ucapku pada diri sendiri, dibarengi dengan senyum tawa kecilku.
Berdering gawai ku, memecahkan konsentrasi. Ku ambil gawai di saku celana dan ku lihat. Ternyata panggilan WhatsApp dari Ibuku.
"Halo ... anak lanang Ibu. Kamu nyari kain pel di mana? kok lama," ucap Ibuku.
"Astaghfirullah. Hehe maaf ibu." Seketika Aku mematikan telponnya.
Dari kejauhan sekitar lima meter aku melihat ibuku sedang berlari secara Slow Motion memanggil namaku, dengan tangan membawa tutup panci.
"Giiioooo ... ohhGiooo ...." Aku heran kenapa tiba-tiba ibu ada di depanku.
Ketika aku mengedipkan mata ibuku sudah berada di sampingku membisikkan kata di telingaku.
"B-bangun ... di suruh beli kain pel kok malah tidur." Tarikan Nafas ibuku berhembus di telingaku membuat aku seketika terbangun.
"Astagfirullah, Ibu. Anakmu baru bermimpi bidadari biru dari candi Srikandi. Wajahnya masih tergambar jelas di pikiranku."
Tanpa ku sadari perlahan bibirku tersenyum, Tanganku bermain pipi, mataku penuh dengan harapan. Seketika aku berdiri dan berpuisi.
Ooh, Nona. Siapakah dirimu? kau mampu membuatku merasakan hadirmu. Wajah lembut putih mu, membayangi ingatanku. Menggetarkan batinku. Jika kau takdir untuk hidupku, datanglah di hadapanku. Wahai, Nona. Candu mu melebihi candu yang membuatku mencintai dan berharap dicintai mu.
Klontang! Ibuku dengan sangat tega membenturkan tutup panci ke kepalaku. "Pagi-pagi udah bucin, minta di tempeleng," ucapnya dengan pakaian dan Style yang sama seperti di mimpiku.