Haoxiang bangun pagi sekali hari ini. Matahari saja baru menunjukkan semburatnya di ufuk timur saat ia menginjakkan kaki di ruang makan istana. Niat hati ingin mencari sesuap kudapan untuk mengganjal rasa lapar sebelum sarapan resmi dimulai. Sepotong roti dengan selai kacang mungkin cukup.
Tanpa disangka, ia tidak sendiri di sana. Ada Chengxin yang juga tengah mengoleskan selai ke roti di ujung meja makan. Chengxin yang menyadari kehadirannya melempar senyum lebar.
"Haoxiang," sapa Chengxin, "ingin roti?"
Yang ditawari pun mengangguk dan memilih duduk di sampingnya dengan canggung. Memerhatikan dengan seksama gerakan Chengxin yang terkesan lembut dan penuh kehati-hatian.
"Bagaimana kehidupan istana?" Chengxin membuka pembicaraan, masih sembari mengoleskan selai ke roti. "Aku harap tidak ada yang menyulitkanmu."
"Tidak, kak. Semua memperlakukanku dengan baik," jawab Haoxiang.
Kata-kata Haoxiang jujur adanya. Kecuali beberapa pengawal yang suka berbisik dibelakangnya, belum ada gangguan yang berarti.
"Baguslah. Setidaknya mereka tidak sekasar seperti dulu."
Ah, benar juga. Kalimat terakhir Chengxin mengingatkan Haoxiang dengan apa yang didengarnya beberapa hari lalu. Mungkin Chengxin bisa menjawab rasa penasarannya.
"Eum, Kak?" Chengxin bergumam tanda mendengar. "Boleh aku bertanya sesuatu?"
Chengxin menghentikan aktifitasnya. Meletakkan tangan di bawah dagu dan menatap Haoxiang, memberi atensi penuh. "Tentu, Haoxiang. Kau boleh bertanya apa saja."
"Beberapa hari yang lalu, aku mendengar beberapa pengawal menyebut sesuatu seperti hasil pungutan. Apa maksudnya?"
Air wajah Chengxin berubah sendu. Senyumnya tipis dengan sinar mata meredup. "Menurutmu, apa kedudukanku di istana ini?"
Pemuda setengah kucing itu mengerjapkan mata bingung. Chengxin pun terkekeh.
"Aku bukan anggota resmi kerajaan. Jika mereka memanggilmu pungutan kedua, maka akulah yang dimaksudkan dengan pungutan pertama."
Chengxin mendorong piring berisi roti yang sudah diolesinya selai kehadapan Haoxiang. Mengisyaratkan untuk dicicipi selagi mendengar kisah panjangnya.
"Aku hanyalah satu dari sekian budak yang diperjualbelikan secara bebas. Kurang lebih tiga tahun yang lalu, Jiaqi menyelamatkanku, membawaku untuk tinggal di istana, dan menjadikanku tunangannya. Seperti dongeng, bukan? Dari budak menjadi tunangan Putra Mahkota."
Cerita itu diakhiri dengan tawa Chengxin. Sedangkan Haoxiang tercengang dengan roti setengah tergigit. Beberapa detik kemudian ia justru bertepuk tangan.
"Kau beruntung sekali, Kak," ujarnya antusias.
"Kau juga tidak kalah beruntung, Haoxiang. Aku yakin Junlin akan memperlakukanmu sama baiknya seperti Yaowen terhadap Yaxuan dan Jiaqi terhadapku."
Si hybrid mengangguk mantap. Semakin merasa bersyukur dengan takdir yang mempertemukannya dengan He Junlin, tuannya.
Terlalu asik berbincang, mereka tidak sadar bahwa sedari tadi, Jiaqi sudah berdiri bersedekap tangan di pintu masuk. Ia menghampiri Chengxin dan mengecupnya lembut. Memancing semu kemerahan di pipi sang tunangan.
Tidak lama kemudian yang lain menyusul dan saat sarapan dihidangkan, seluruh anggota keluarga telah duduk di tempat masing-masing. Zhenyuan juga ada di sana, agaknya sepupu mereka itu sedang berlibur untuk jangka yang lama di sini.
"Selamat makan."
TBC
Terima kasih sudah membaca sejauh ini (◠‿◕) jangan lupa vote ya~
Doaku terbaik untuk tiga Abang kita yang mau gaokao besok 🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
He and His Yan (XiangLin TNT)
FanfictionSemua orang bertepuk tangan, beberapa saling bisik. Agaknya terkejut karena melihat sang pangeran hadir di acara informal, pun ditambah membeli seorang hybrid. "Tuan," panggil sosok itu sembari menunduk dalam, "saya Yan Haoxiang, terima kasih atas k...