satu rasa

43 6 0
                                    

trigger warning : mental disorder, psikologi abnormal

———

mahesa itu baik dan paling baik.

mahesa itu sempurna.

semuanya

mahesa, putra bapak paling baik dan manusia separuh malaikat yang baru saja menemaniku mengarungi lautan rindu selama empat jam di halaman belakang rumah ibu. kita baru saja bertemu, melepas rindu yang terkubur sepanjang hari lalu berlari mengitari pagi, bukan perkara penting memang, tapi aku hanya ingin memberitahukan sesuatu sebelum cintamu sepayah aku dalam menerima yakin.

sa, ragulah sebelum kau jatuh dalam kubangan semesta yang kusut, bahwa ia membiarkanku cacat dalam perjalananku menuju dewasa, aku diam bukan perkara tidak peduli pun bukan ingin membiarkanmu sendiri namun luka yang sengaja kugoreskan kala sakit pada lengan baju terus menerus menambah pelik.

sedang aku cacat dan takut.

cacat dan penakut.

kita sempurna seperti segitiga terbalik.

aku cacat, sa, jiwaku sakit, hatiku payah.

aku cacat, sa, bagiku mati bukanlah pilihan melainkan jalan kebebasan.

aku cacat dan itu bukan hanya lelucon yang terlontar begitu kau menembus halaman belakang tempat kita memadu rasa.

bukan, sa.

aku cacat, bahkan dalam sajak ibu dan raungan bapak.

pikirkanlah bahwa sebenarnya tawaranmu tak sepantasnya hadir, lalu bagaimana dengan rayuan yang kau ucap dalam sujud setiap malam? tak tahu, bahkan mereka saja tidak sudi di injak olehku, memalingkan wajah dan mendecih terang-terangan, mengatakan bahwa aku tak lain hanyalah pendosa abadi.

pikirkan lagi bahwa tawaranmu ialah sebuah katarsis, lantas bagaimana dengan utopia yang menyertai? hancur digerus sepatu mengkilap yang sering dipakai bapak, berubah dan mewujud distopia. pemberingas dengan label pemuka agama tentu akan lebih dipercaya masyarakat 'kan sa?

"tak apa," katamu begitu, "cinta memang bukan hal yang mudah bagi kita tapi mari berjuang, tunjukkan bahwa perasaan adalah anugerah yang siap menghadirkan kebahagiaan." katamu lagi sore itu dibalik selimut, menyongsong malam yang semakin dingin di ujung jari, mendekap asa yang mungkin akan lepas sewaktu kita berkedip. yakin dan lugas bahwa dunia memang hanya milik kita berdua.

tapi percayalah padaku sa, kau akan gagal, kita berdua akan gagal. kau dan aku tidak akan mencapai kata bahagia bahkan saat kita ucap janji akan menjadi rumah untuk semua keterbatasan ini, kecacatanku. pun dalam keterbatasanmu yang berupa keindahan bertahta langit yang memancarkan iktikad baik manusia bumi.

sudah jelas, kita duduk sebagai katalisator pada reaksi semesta yang berbeda. tidak usah memaksa, mari bangun dan biarkan semuanya berjalan di tempat yang aman. kau dan aku, begitupula bapak dan ibu, mari berpegangan tangan, bukan untuk sehidup semati sebagai pasangan yang kekal melainkan sehidup menjadi dua insan yang ditakdirkan bersaudara seiras dan semati dengan tarikan nafas yang selaras.

aku dan esa, ditakdirkan memang bukan sebagai saudara kandung dengan satu orangtua, namun kita tetap berasal dari benih yang sama. esa datang ke rumah saat umur sepuluh dan aku tujuh, masih bergigi susu dan sering panas-panasan mengejar layangan bareng anak komplek sebelah. jika dibandingkan denganku yang tidak karuan sejak anak-anak, esa kebalikannya. dia super rapih sejak hari pertama kita ketemu.

mahesa senang membaca buku, semua buku di kamar milik ibu pernah ia baca. dari yang buku wajib baca (alqur'an, buku pelajaran, dan text book dari tempat les) sampai buku ilmu lainnya yang sebenarnya terlalu berat untuk anak umur sepuluh tahun. dia jarang keluar rumah, paling banter ya duduk-duduk di teras belakang itu pun masih dengan buku di tangannya. kadang aku yang umur tujuh tahun suka meniru esa, tapi paling bertahan hanya beberapa jam dan setelahnya kembali mengejar layangan sampai matahari pergi ke peraduan.

"maheshes, ayo main layangan sama aku."

sering sekali aku tarik tangannya, tarik bajunya, sembunyikan buku dan rubiknya, dan usil sepanjang hari supaya anak itu mau main di luar rumah tapi tanggapannya seperti robot dengan alasan ada tugas sekolah lah, tugas les lah, atau mau baca buku lah, esa membosankan bahkan dari dia masih anak-anak.

"mau main keluar gak?" kalau ini mahesa yang sekarang berdiri di depan pintu kamarku, penampilannya super rapih tapi selalu keliatan keren.

"enggak mau ah, panas! mening aku tidur sampe sore." kalau ini aku yang udah gak perlu ditanya lagi keadaannya, pokoknya mengenaskan dan masih pakai baju tidur kemarin sore.

"payah, masa sama panas aja takut." dia masuk lalu duduk di ujung tempat tidur, menarik-narik jari kakiku sampai menimbulkan bunyi 'tak' yang keras.

"sakit tau, sa!" aku tendang saja tubuhnya agar menjauh dan berhenti membuat jariku bertambah panjang.

mahesa ketawa, aneh kok ada orang yang kalau ketawa aja masih keliatan nyebelin? ... dan keren.

"makanya ayo keluar, kok betah sih seminggu ga keluar kamar." dia tarik-tarik bajuku kali ini, memaksaku buat bangun dari kegiatan yang nyamannya gak ada main.

"itu pertanyaanku pas umur tujuh tahun." aku beringsut menjauhi dia, menuju pojok dekat lemari agar bisa menjauhi tangannya yang mulai menggelitiki bagian tengkukku, sudah tahu kalo bagian itu super sensitif.

"waktu itu kan lagi proses healing jadi ya ga boleh main lama-lama di luar dong." dia mengikuti beringsut ke pojokan.

aku mendecih, "halah, alesannya bohong banget."

"healingnya buat menyembuhkan jiwa yang patah, kalo sekarang kan yang patahnya udah tumbuh lagi." mahesa semakin mendekat, mempersempit jarak dan memerangkapku di balik pelukannya. bukan main rasanya saat mencium aroma sitrus dari kepalanya, tiba-tiba pahit menjalari indera pengecapku.

"heh heh jangan deket deket!!!" suaraku tercekat, esa tertawa, tangannya bersender pada dinding dibelakangku sementara kepalanya menempel di pelipisku. rasanya aneh begitu kita mengetahui perasaan terlarang ini, tidak ada rasa takut namun semakin gencar menunjukkannya pada semesta. mahesa inginkan aku bukan sebagai saudaranya.

"makanya ayo keluar." dia lepaskan begitu saja pelukan kita, bergegas meninggalkanku dan berlari dengan tawa keras yang menggema di seluruh penjuru kamar, setelah dengan kurang ajarnya ia curi satu kecupan di pipiku.

benar,

aku cacat dan kamu sempurna, kita melengkapi seperti selayaknya, seperti seharusnya.

lalu sekarang pertanyaan sesungguhnya ialah ; kita, akan seperti apa, sa?

———



namanya dipinjam dari eskalokal.

seirama.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang