keluarga

25 6 6
                                    

tw : selfharm

———

aku serius pada kali ini. kaburku bukan lagi ingin pergi dari rumah, kaburku bukan lagi ingin berkeliling kota, kaburku bukan lagi dari terasing yang mencekik habis. aku putuskan larikan diriku pada jerat kusut yang tak berkesudahan, tiap malam di balik jeruji dinding yang dinamakan keluarga.

laraku saban malam tak terdengar sebab sibuk goreskan perih pada jengkal kulit yang tak lagi sempurna, lagi dan lagi, terus tak henti sampai sakitku hilang digerus pekat. tak tahu bagaimana, bapak temukanku terkulai di lantai kamar mandi, bermandikan darah dari pergelanganku sendiri.

ia bawa tubuhku rebah pada lantai kamar yang berderai lelah. bukan perkara mudah pindahkanku yang terkulai lemah. bapak tak menangis, ibu pun begitu, mereka kecewa padaku yang mudah menyerah.

jusuf bawa aku berkeliling kota. melihat dari ujung timur sampai kini berada di ufuk barat, menunjukanku proses dirinya pulang ke peraduan. ia belikanku jagung bakar dan segelas susu jahe yang masih mengepulkan uap panas. sepanjang itu, keterdiaman milik kita tak lagi penting sebab tenang yang disuguhkan lebih dari sempurna.

"habis ini aku anter pulang ya." jusuf berikan aku sepiring kacang rebus, baru matang saat kita sampai. entah darimana ia punya ide ini, tapi kuakui kalau ini lebih dari cukup.

"biasanya juga begitu kan."

lalu diam lagi.

"pacarku ganteng banget deh, suf." aku buka keheningan, lihat dirinya dari sisi ini buatku lebih membuka mata kalau sebenarnya dia sudah menjadi sosok dewasa yang tumbuh lebih tinggi dariku, bukan bocah ingusan yang suka makan serangga dan mengetuk pintu rumahku sambil tertawa.

"memangnya pacar yuna itu yang mana?" dia mengerling usil kepadaku.

"yang ini." aku tunjuk dia di paha.

"yang mana?"

"yang ini!" aku tunjuk dia lagi di lengan.

"yang mana sih, kok ga keliatan?" dia menyipit, pura-pura mencari di lengan jaket parkanya.

"yang ini! yang ini! yang ini!" aku tunjuk lagi di setiap bagian tubuhnya, dari kepala sampai kaki. dia tertawa.

jusuf tangkap pergelangan tanganku, menarik lebih dekat lalu mendekapku menuju hangat. kami tertawa dengan tangan yang saling bertaut.

"lihat mataharinya tenggelam."

aku mengikuti telunjuk jusuf yang mengarah pada sang surya yang kini aruna. indah. ia berikan dunia pada chandra yang kini merangkak naik, memenuhi gelap malam yang kian menusuk, beri cahaya yang mengantar kami untuk segera pulang. aku terkesima, sebagaimana ia merelakan miliknya pun dimiliki yang lain. sama seperti jusuf.

"yun, sekali-kali cerita sama aku boleh loh." pandangannya mengarah ke depan, pada induknya yang kini merayap meninggalkan gelap, namun atensi sepenuhnya padaku.

"pacarmu yang ganteng ini selalu sedia disini." jusuf menepuk pundaknya sendiri, super pede.

"wah pacar siapa si ini yang ganteng?" aku mendongak, menemukan senyumnya terpampang jelas bagai sabit yang meremukan hatimu sekali tebas. ia sempurna, jika saja tidak jadi milikku.

"pacar teh melody, ga sih?" ia menunjuk dirinya sendiri, bertanya.

"kalo itu mah aji!" aku tertawa, dia pun begitu.

"pulang ya?"

aku mengangguk. sudah seharian kami menerjang lautan manusia, ia pasti lelah karena aku begitu. aku ikut dia yang beranjak meninggalkan bonggol jagung dan kulit kacang diatas meja, membayar rupiah lalu pergi menuju timur untuk pulang. sepanjang jalan ia ceritakan apapun yang menurut dia menarik, bagiku pun semua tentangnya menarik.

pukul delapan lewat lima belas, saat jusuf lewati gapura gang rumahku. aku tepuk pelan bahunya, ia menoleh dengan wajah lelah di kaca spion.

"aku mau turun disini." kataku saat ia tanya, "ada yang mau dibeli di warung batak depan sana." lanjutku, jelaskan tujuan agar ia tak usah bertanya. jusuf itu banyak tanya jadi pastikan harus sedetail mungkin.

"habis itu pulang ya terus mandi dulu baru tidur." pesannya sebelum pergi meninggalkanku.

aku mengangguk masih dengan senyuman terpatri, menunggu dia sampai berbelok di persimpangan. segera setelah ia tidak terlihat, aku panggil pak satpam untuk bantu memesankan ojek online dengan alamat milik tante rina, adik dari bundanya esa. pak satpam tak curiga padaku sebab aku tunjukkan bukti kalau daya ponselku habis. ia mengangguk-angguk, paham tak paham namun tetap iya saat kubilang jangan beritahu ini kepada bapak.

"astagfirullah yuna, kenapa malem-malem kesini?" ini tante rina, saat aku muncul di depan gerbang rumahnya meminta uang untuk membayar ongkos ojek yang ternyata mahal juga.

"kabur?"

aku mengangguk.

"kenapa?"

"gapapa, pengen aja." kataku menggigit roti lapis yang dia buatkan.

"temanya mau hilang dari jangkauan ya?"

aku tertawa, mengiyakan dalam hati. tante rina mengambil ponselnya lalu memotretku yang sedang melahap semangkuk sereal. aneh kan masa malem-malem makan roti sama sereal? ya, namanya juga tante rina. dia gak akan pernah bikin orang lain hidup biasa-biasa aja.

"ada apa sih, tan?"

beliau tertawa, menunjukku, "ada yang lepas."

"emangnya aku monyet!" aku menukik sebal.

"tante ga bilang gitu ya, tapi mirip sih."

dia pergi ke wastafel, setelahnya bawakan aku segelas air lalu duduk disebelahku dengan menuntut untuk segera ditanya, "kenapa?"

"jangan bilang esa ya, tan."

wanita cantik itu mendesah samar, "padahal foto tadi mau tante kirimin ke esa."

aku meneguk ludahku, ingin ceritakan apa yang kemarin terjadi namun tak sanggup untuk dapat reaksi yang tidak aku inginkan.

tante rina memegang bahuku, "relaks yun, gak tante apa-apain kok."

aku menatap jemariku yang meremat gelas terlampau kuat, bekasnya meninggalkan ruam semu dipermukaan. terlalu jelas bahwa aku sedang menyembunyikan sesuatu.

aku menghela nafas, dengan ragu mengulurkan lenganku didepan wajahnya. tente rina kebingungan, namun ia tarik pergelangan tanganku mendekat, sedikit demi sedikit menyingkap kain sweater yang sengaja kubuat longgar.

"lagi?"

aku mengangguk takut.

"sampe kapan?"

aku menggeleng. bahkan aku juga tidak tahu sampai kapan semua ini akan berhenti.

sa, ada yang bilang kamu harus cepat pulang.

———

seirama.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang