aku mainkan ponsel di depan gerbang sekolah, menunggu jemputan datang tuk antarkanku pergi menuju rumah sakit. hari ini rabu, dan bapak tambahkan jadwal konselingku menjadi dua kali perminggu. aku keberatan? tentu saja. sebab yang menyambutku di dalam ruang putih pengap itu hanyalah pertanyaan kenapa yang sampai kapanpun tidak akan bisa aku jawab. dokter paula sepenuhnya enggan untuk tahu latar belakangku, aku akui itu bagus tetapi konseling ini tidak membantuku sama sekali, apalagi dalam temukan jalan keluar kecuali penambahan jadwal intensif selain pergi ke sekolah.
permainan candy crush di ponselku tunjuk angka tingkatan level, 196 katanya, lalu perintah agar memecahkan jeli sebanyak 55, coklat 15, dan permen gelembung 10 buah dengan 15 kali percobaan menggeser, aku meringis, "gak masuk akal."
"apa yang gak masuk akal?"
aku hampir jatuhkan ponsel jika saja jusuf tak segera tangkap pergelangan tanganku, "maaf."
aku meliriknya sekilas lalu ucapkan tak apa lantas masukan ponsel pada saku rok seragam abu.
"kok jalan kaki? motornya dimana?" tanyaku saat lihat ia tak bawa helm ataupun kendarai motor beat hitam miliknya.
"aku bawa mobil," jusuf tunjuk tempat parkir di dalam sekolah, di sebelah lapangan basket yang penuh dengan anggota ekstrakulikuler yang sedang lakukan pemanasan, "aku mau hubungi kamu tapi malah lihat duluan disini jadi ya... mau pulang bareng?"
aku sepenuhnya ingin iyakan tapi suara klakson mobil bawaku lagi pada kenyataan bahwa aku harus lakukan konseling bersama dokter paula pukul empat sore ini. kuucap sebentar pada jusuf yang bilang tidak apa jika aku sudah dijemput sopir, aku hampiri mobil ranger hitam yang biasa dipakai mas bram. jika bapak sudah kirim asistennya yang satu ini, sepertinya aku tidak bisa membolos konseling dan membiarkan jusuf pulang dengan jok penumpang yang kosong.
"mas, aku—" aku ketuk jendela lalu heran saat melihat esa duduk di bangku pengemudi, "esa?"
"yuk, aku anter ke rumah sakit," katanya, tanpa lihat wajahku sama sekali, "loh ada jusuf."
ia lirik spion depan yang tampilkan jusuf berjalan kearah kami, esa menatapku, tanyakan mau kemana tanpa suara, aku menggeleng lalu ia segera sambut jusuf dengan senyuman saat pemuda itu berjarak tak kurang dari satu meter, "mau kemana suf?"
"mau ajak yuna pulang, abang mau kemana?"
esa lirik aku, jelas ia tanyakan alibiku. aku ucap tanpa suara, "aku mau pulang sama esa, mau konseling." kataku begitu, jelas dan akurat bahwa aku minta bantuannya untuk tolak ajakan pulang bareng milik jusuf. akan tetapi esa ucapkan hal yang berbanding terbalik, ia tertawa lalu menyuruhku agar ikuti jusuf menuju mobilnya, katanya begini, "kebetulan nih yuna harus konseling, tolong anterin ya suf?"
hah? esa sengaja ya?
esa lajukan mobil saat aku sudah jejakan kaki di depan jazz hitam milik bunda jusuf. aku enggan, bukan perihal pulang bareng dengan jusuf, namun aku enggan untuk beritahu jusuf mengenai konseling dan segala ketidaknormalan dalam jiwaku. esa tahu itu, aku sudah ucap puluhan kali bahwa perihal yang satu ini jangan sampai jusuf tahu. hanya jusuf yang tidak boleh tahu, yang lain tidak masalah. belum reda keterkejutanku dengan keputusan esa, aku dikejutkan pula oleh dua tangan kecil yang memerangkap bahuku sesaat setelah mendudukan diri pada jok depan sebelah jusuf.
"teh* yuna!!" teriakan daru memenuhi setiap sisi mobil ini, ia masih mengenakan seragam putih-merah khas anak sekolah dasar, baju yang sudah keluar dari celana dan dasi yang sudah ia tanggalkan cukup membuatku sadar bahwa aku sudah melupakan ulang tahunnya minggu kemarin.
"hai daru, selamat ulang tahun sayang." aku miringkan tubuh, peluk kepala mungilnya yang menyembul diantara himpitan kursi, "maaf ya, teh yuna ga datang minggu kemarin."
KAMU SEDANG MEMBACA
seirama.
Fanfiction(n) satu irama, senada ; kita seirama namun tidak di semesta ini. ft. kim seungmin, yang jeongin - trigger warning : psikologi abnormal, mental disorder, suicide attempt, lowercase!