semoga

24 6 2
                                    

tw : suicide thought

———

usiaku enam belas saat kamu ucap ingin pergi dari rumah. kupikir itu hanya bualan remaja yang baru lulus sekolah, namun kamu serius. seserius matahari dalam panasnya, pula gelap malam menyelimuti semesta. kamu ucap pergi hanya untuk mengemban ilmu, di tanah seberang milik orang berkulit putih. memang begitu adanya, atensimu tak lagi aku.

kamu buat bangga siapapun. namun, aku sendirian. bertahan pada asa yang tiap hari semakin memudar, luruh dan hilang terinjak. dalam tidur dan jagaku, kematian mencumbu bagai malaikat mencatat hidup. berlebihan orang bilang, iya, memang berlebihan, aku pun anggap begitu. tiap kubuka mata, jendela dan pintu, perih merasuki di tiap jengkal, bukan kamu tidak disini namun sebab sendiri yang kian menenggelamkanku pada lautan ketidakberberdayaan.

aku kian dimakan payah, hilang yakin dan akal. cacian ibu berganti tangisan pilu, cercaan bapak sudah berujung tamparan di pipi. aku payah dan enggan sadar bahwa diriku cacat.

jusuf namanya, teman sepermainanku mengejar layangan, dia antar aku kemanapun dan jemput aku dimanapun. ia lebih baik dari sinar mentari dan lebih hangat dari pelukan ibu, ia tak ayal sudah menjadi diriku.

dulu sekali jusuf pernah ucap kata suka yang tentu kutolak sebab mahesa yang kusuka, lalu lagi utarakan suka tiap kami duduk di bangku sekolah yang sama, terus lagi upayanya kutolak sebab tak bisa.

namun, sa, ia lebih sekadar dari sabar. jusuf bagai lilin yang di bakar habis oleh rasanya kepadaku, lalu padam sebab asa menipis, namun purnama melahirkannya kembali utuh untuk lagi jatuh di lubang yang sama. dia naif, aku bilang. tapi tulusnya tak mampu aku tolak mentah-mentah.

"hari ini mau kemana, tuan putri?" jusuf menyerahkan satu helm berwarna merah. dia duduk diatas motor beat hitam, pakai jaket parka warna hitam-putih kesayangannya.

"mau kabur, boleh gak baginda raja?" aku pakai helmnya, menaikkan alis menggodanya yang kebingungan.

"tiap hari bilangnya mau kabur tapi tetep aja kalo udah jam delapan pasti aku pulangin." jusuf begitu, selalu mengiyakan ajakanku tapi selalu mengantarkanku pulang tepat jam 8 malam. katanya bapak bisa curiga kalau jusuf bawa aku kabur, nanti bundanya yang di wawancarai dan dia gamau buat bundanya kesusahan.

"yah jusuf ga seru." aku naik ke jok belakang, setelah dirasa semua sudah siap jusuf mengendarai motor dengan hati-hati melewati pagar rumahku. selalu seperti itu, dia takut bikin bapak bangun padahal sebenarnya jam segini bapak masih di tempat kerja. kebiasaan anehnya itu sedari kecil tidak pernah hilang.

"pengen tumis belalang deh, suf."

"mau tumis belalang atau mau kabur?"

"mau kabur sih, tapi makan tumis belalang dulu yuk." aku lihat jusuf melirik dari kaca spion, wajahnya penuh dengan rasa keberatan.

"mana ada sih disini yang jual tumis belalang, na."

iya, benar juga.

di bandung mana ada yang jual tumis belalang.

"yaudah kita nyari belalang sendiri aja." aku melihat jusuf dari spion, "kita nyari di kebonnya pak rt."

"ngaco!"

aku tertawa, dia lucu kalau begini.

"mau es boba mcd atau mau es goyobod deket sekolah?" tawar dia saat motor kita sudah melewati restoran cepat saji yang terkenal dengan iklan badutnya. aku memutar melihat plang besar mcd yang semakin menjauh, jusuf terus mengendarai motornya tanpa ada niatan untuk berhenti.

"ini mah bukan nawarin tapi emang kamu mau beli es goyobod."

"tau aja." dia tertawa.

jusuf itu paling suka minuman, apapun jenisnya dan rasanya, dari yang sedang trendi sampai yang biasa saja semuanya dia suka. kalau ada satu yang gak dia suka, itu cuman air teh tanpa gula.

"kamu mau es goyobod ga, yun?" tawar jusuf saat menghentikan motor di depan tenda sempit yang menjejer menjualkan makanan.

"mau satu tapi gapake es terus kelapa sama hankuenya dikit aja."

jusuf mengerutkan alis, "mana enak kalo kaya gitu!"

aku tertawa, "canda suf, kaya biasa aja satu ya."

jusuf mengangkat jarinya berkata oke lalu pergi memesan. aku menunggu di motor, tidak mau susah payah turun dan membuka helm. selagi pesanan dibuatkan, jusuf melambai dan melemparkan senyum padaku seperti anak kecil. berkali-kali sampai beberapa orang yang juga sedang menunggu di atas motor sepertiku menengok penasaran.

"pacarnya ya teh?" ini kata ibu yang sedari tadi kebingungan melihat jusuf yang tertawa tidak jelas di balik gerobak es.

aku tersenyum malu, "iya bu."

"pantesan," ibu itu tersenyum maklum, "si a'a-nya lucu, yang langgeng ya teh."

aku masih tersenyum, mengaminkan jika semoga itu menjadi kenyataan. katanya semesta selalu bercanda membalikkan perasaan, aku harap begitu denganku.

kalau kamu tanya kebenarannya. iya, sa, jusuf itu pacarku. aku terima sebab sabar dan tulusnya pantas dihadiahi bahagia. dengannya pun aku masih belajar, tak sedih ataupun senang namun aku tenang. tak ada rasa takut dan keberatan saat kusungging senyum dan afeksi nyata, tak ada sedih dan lara saat ku singgung masa depan, serius namun tak menjadikanku manusia apatis. ia menerimaku walau tahu aku setianya cacat dan tidak semestinya.

"maaf ya tuan putri, aku lupa buat bilang dibungkus jadi abangnya ngasih pake gelas." jusuf itu matahari, aku bilang begitu karena dia memang representatif benda langit pusat tata surya itu. wajah tersenyumnya selalu membuat seisi dunia menghamburkan tawa sebab gemas karena hangatnya.

aku terkadang takut namun lihatlah kisah kami tidak semenakutkan itu, sa.

kamu harus yakin bahwa aku akan baik-baik saja.

begitupula denganmu, yakinku hanya harap kamu baik-baik saja.

———

i just wanna write it down what's on my head, i warn ya...
ㅜㅇㅜ

seirama.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang