Suara yang berasal dari deringan jam beker berwarna abu-abu tua membuat sesosok kaum adam yang tengah berkelana pada alam bebas menjadi terganggu. Dia terbangun dari tidurnya. Memencet tombol off guna mematikan sumber suara yang agak membuatnya tidak nyaman, pemuda itu–Brian Nathaniel Louiszar duduk bersandar pada kepala ranjang dan mengumpulkan nyawa sesaat. Tidak sampai lima menit, tubuh atasnya yang tak memakai satu helai benang pun berjalan menuju kamar mandi di pojok kiri ruangan.
Brian memang selalu shirtless jika ingin tidur, sudah kebiasaannya.
Gemericik air dari shower membuatnya menundukkan kepala, membiarkan air terjatuh dan membasahi rambut hitam kelamnya yang sangat sedap di pandang. Apalagi tubuhnya yang terbentuk karena rajin berolahraga juga menganut pola makan sehat, semua hal tersebut menjadi salah satu rules yang ia terapkan di hidupnya.
Brian melilit handuknya sebatas pinggang dan keluar dari kamar mandi.
Dentingan notifikasi pesan dari ponselnya membuat Brian urung memakai seragam sekolah lebih dulu. Nath, nanti malam lo bisa ke sini? Brian mengerutkan kening sebentar dan berpikir apakah nanti malam dia ada rencana lain atau tidak untuk datang ke tempat yang sering dia datangi. Sekedar membalas singkat berupa, 'Ya' Brian lalu mematikan ponsel dan kembali melanjutkan kegiatannya yang tertunda.
Pantulan kaca fullbody menampilkan bayangan pria berbadan tegap, atletis, juga kulit sedikit agak gelap yang eksotis. Tidak terlalu gelap dan putih, katakan saja ia memiliki tekstur kulit medium tan. Brian, pria berumur delapan belas tahun yang memiliki tinggi 187 cm itu kini merapikan sedikit tatanan dasi sekolahnya.
Sentuhan terakhir dari Brian sebelum beranjak turun ke lantai bawah adalah membiarkan wangi citrus bercampur musk yang gentle membuat harum di sekitar tubuhnya menguar tanpa dapat dicegah. Maskulin dan membuat nyaman, itulah kesan pertama bagi siapa saja yang mencium aroma wangi dari tubuh Brian saat di dekatnya.
Membuka kenop pintu dan menyampirkan tasnya di salah satu bahu, tangga yang melingkar tak jauh setelah jalan sepuluh meter menyambut Brian untuk turun ke lantai dasar. Tempat penuh kehangatan dari keluarga yang selama ini Brian rasakan di pagi hari, ruang makan.
"Pagi, Sayang..." Suara keibuan dan pancaran hangat pertama kali menyambut Brian di ruang makan. Tidak lupa untuk membubuhkan sebuah kecupan selamat pagi, Pevita—Ibu Brian tersenyum secerah matahari melihat Putranya yang selalu tampan juga wangi di setiap hari.
"Pagi, Ma."
Singkat dan jelas, namun semua perkataan Brian memang sudah terbiasa di dengar Pevita seperti itu. Putranya tipikal laki-laki tegas yang mengutamakan bicara banyak jika diperlukan. Katanya, dia tidak terlalu suka basa-basi, membuang waktu yang berharga ini.
Lalu Brian membutuhkan tidak lebih dan kurang lima belas menit di meja makan sebelum berangkat pergi ke sekolah. "Hati-hati bawa mobilnya ya, Bry," Pevita melambaikan tangannya sebelum mobil sedan berwarna hitam yang dikemudikan Brian melaju cepat.
Helaan napas kasar yang berasal dari sampingnya membuat Brian menoleh. "Kamu kenapa?" Brian melontarkan tanya pada gadis berusia lima belas tahun yang merupakan Adik satu-satunya, Chantika Maeerin Louiszar. "Rin?" Brian bertanya lagi karena Chantika tidak membalasnya. "Maee–"
Chantika menubrukkan tubuhnya dari samping untuk memeluk Brian dan tiba-tiba saja keheningan mobil sedari tadi digantikan oleh isak tangisnya. "Kak Bry..." Cicit Chantika yang membuat Brian mengelus rambut juga lengannya dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanan sibuk menyetir. "Ak-aku..." Brian menepikan mobil tepat di depan gerbang SMP Wijaya. "Aku kenapa, Rin?" Chantika mendongak dan menemukan wajah tampan Brian yang sangat pacar able sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARGHVIOX
Ficção AdolescenteBagi Brian, hidup tenang saat SMA adalah satu-satunya jalan agar ia tidak mendapat masalah di kemudian hari yang akan membuatnya menyesal. Awalnya semua berjalan baik-baik saja. Hingga tiba saatnya, satu makhluk aneh yang sialnya terlampau cantik me...