Bab 0.5 | Pemuda Berkuda Putih

20 13 4
                                    

Happy Reading!🌔

• • •

Lagi-lagi dia harus memikirkan hal yang tidak diketahuinya dengan pasti. Kejadian di lorong itu membuatnya seperti kehilangan akal. Bagaimana mungkin, tulisan aksara Sunda di dinding lorong bisa mengeluarkan cahaya? Lalu, menyeretnya serta Arch masuk ke dalam buana antah berantah yang sedikit aneh ini.

Kalau tahu akan seperti ini kejadiannya, tentu saja Reni lebih memilih menjadi seorang penurut. Diam di rumah tanpa membangkang. Apa lagi sok-sokan berlagak detektif. Persis seperti sekarang ini, membuatnya seperti orang tidak waras yang ingin menyulitkan diri, padahal sudah diberi kemudahan.

Setelah berkelana sejauh ini, akhirnya mereka sampai di sebuah pemukiman yang tampaknya damai nan sejahtera. Namun, yang membuat Reni pusing, mengapa lagi-lagi dia harus melihat aksara itu lagi? Biang kerok dari keberadaan mereka sekarang ini. 

"Kenapa sih lagi-lagi aku harus menebak teka-teki yang menjengkelkan seperti ini?" tanya Reni sedikit tersulut. Setelah mengetahui negeri tempatnya dan Arch berpijak sekarang.

Melihat itu, Arch merasa aneh. Kenapa Reni sangat kesal dengan nama tempat ini? Apa dia pernah ke sini? Karena tidak ingin mementingkan gengsi melulu, Arch memutuskan untuk sedikit melunak. Tentunya agar bisa bertanya tentang kekesalan Reni tersebut.

"Memang, negeri ini salah apa sama kamu?" tanya Arch tanpa mengalihkan binar matanya dari celah-celah bebangunan tinggi bercat putih di sekelilingnya.

"Hah?! Salah?" sahut Reni dengan nada bingung. Merasa konyol atas pertanyaan Arch.

"Tadi kamu kesal mirip nenek lampir. Sekarang, kamu beralih pura-pura lupa mirip judul lagu?"

Reni menghela napas kasar. Sangat gemas dengan tingkah lelaki annoying di depannya ini. Kenapa ia harus terjebak di situasi yang menguji kesabaran begini?

"Gimana aku gak kesal coba? Tulisan ini, awal dari tersesatnya kita di sini!" ujarnya sambil menunjuk pahatan nama Aelius di sebuah batu marmer.

"Maksud kamu, cahaya itu berasal dari tulisan itu?"

"Iyalah. Kamu kira aksara Sunda di lorong itu hanya sekedar hiasan?" Kali ini Reni yang memberikan pertanyaan.

"Memang gak ada yang lebih istimewa dar-." Ucapan Arch terpotong karena Reni sudah membalapnya.

"Elah, udah basi. Kamu mau bilang gak ada yang lebih istimewa dari aku 'kan?"

"Sebentar, kamu harus dengerin saya selesai ngomong dulu. Jangan seenaknya nebak begitu. Kamu pikir saya mau gitu, gombalin kamu?" ujar Arch.

"Ya ... Maaf. Habisnya aku udah hafal tingkah buaya."

"Memang gak ada yang lebih istimewa selain martabak kok," lanjut Arch sambil melangkah pelan. Berniat untuk mencari informasi lebih jauh tentang negeri ini.

"Sialan," umpat Reni sambil mengelus dada.

"Kamu tadi bilang apa? Hafal tingkah buaya? Memangnya kamu pernah lihat buaya bertingkah?" ucap Arch dengan nada acuh.

"Bodoh! Double shit!" Reni merutuki dirinya sendiri. Merasa dipermainkan oleh Arch.

***

"Wah. Di sini keren sekali. Mereka terlihat bahagia," ujar Reni saat pertama kali sampai.

Sebenarnya, mereka tidak tahu sedang berada di tempat apa. Sedari tadi menelusuri pemukiman tanpa tau arah, mereka akhirnya sampai di tempat ini. Mungkin kalau di dunianya, hm ... tempat ini mirip pasar?

Hidden Truth [Segera Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang