BAB 0.3 | Ukiran Tersembunyi

30 17 0
                                    

Happy Reading!🌔

• • •

Angin berembus kencang, membuat suasana semakin mencekam dalam gelapnya malam. Rembulan enggan menampakkan seluruh cahayanya untuk menyinari bumi yang gelap. Sesekali terdengar suara anjing juga ayam saling bersahutan dalam heningnya malam. 

Reni tak menghiraukan suasana di sekitarnya. Tujuannya saat ini hanyalah pergi ke suatu tempat, tempat di mana sang ayah kecelakaan. Tidak peduli dirinya sendirian dan kedinginan saat ini. Tekadnya sudah bulat, dia tidak akan pulang sampai menemukan secercah harapan yang membuatnya yakin jika sang ayah akan kembali.

Jalanan kosong melompong, tidak ada satu kendaraan pun yang lewat. Suara aneh di balik semak-semak di pinggir jalan membuatnya merinding. Bulu kuduknya berdiri seketika, membuat nyali menciut. 

"Siapa di sana? Kucingkah? Atau … ular?" tanyanya. 

Wajahnya pucat pasi, membayangkan sesuatu yang selama ini ditakutinya, hantu. Ya, dia takut dengan hantu. Akibat terlalu sering menonton film horor, padahal dia takut pada makhluk itu. Akhirnya, ketakutannya semakin bertambah seiring berjalannya waktu.

"Kalau kamu hantu, please jangan muncul di hadapan aku, ya? Aku takut …," ucap Reni dengan nada ketakutan. 

Suara dari semak-semak itu semakin jelas. Reni tidak berani menolehkan kepalanya ke arah semak-semak itu, dia terus saja berjalan dengan pandangan lurus ke depan. 

"Nèng, nuju naon di sini? Saya bukan hantu atuh, Nèng. Saya téh manusia, lagi nyari kucing ini tèh," ucap seorang lelaki paruh baya dengan suara serak khasnya. Dia muncul dari semak-semak itu.

Reni berhenti berjalan, tapi tidak berani menoleh pada lelaki itu. Tangannya gemetaran. "Eh, si Bapak? Saya kira hantu. Sama, Pak, saya juga kucing," alibinya tanpa menoleh sedikit pun.

"Kamu kucing, Neng?" tanya Bapak tadi.

"Eh, maksud saya nyari kucing, Pak," ujar Reni sambil menolehkan kepala pada Bapak tadi. Awalnya ingin tertawa, tapi urung setelah melihat Bapak itu.

"Aa!" teriak Reni histeris. Dia langsung lari terbirit-birit meninggalkan Bapak itu.

"Nèng!" panggil Bapak itu. Dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. 

"Kenapa Nèng itu lari ya?" tanya Bapak itu.

Reni terus saja berlari tanpa menoleh ke belakang. Pikirannya kalut saat ini akibat terlalu takut. Setelah merasa aman dan kelelahan, dia berhenti lari.

"Hosh … hosh …." Embusan napas lolos darinya. Lari sekian meter membuatnya kehabisan napas. Bahkan, hingga kakinya terasa pegal. Dia duduk di pinggir jalan untuk memulihkan tenaga. 

"Itu hantu apa orang, sih? Kok, mukanya serem," monolognya. Dia bergidik ngeri membayangkan lagi wajah seram bapak tadi. Apalagi mengingat bapak itu keluar dari semak-semak.

Setelah tenaganya kembali, dia segera berdiri. Tanpa sadar, akibat berlari ketakutan tadi membuatnya sampai di mulut lorong. Senyum kecil terbit di wajah Reni, dia akan segera menyelidikinya. 

"Beruntung juga ya …," ucapnya diakhiri tawa.

Penerangan di lorong ini sungguh minim. Hanya ada beberapa lampu di setiap sudut lorong. Reni mengeluarkan senter dari saku jaketnya. Untung saja, dia membawa ponsel juga senter untuk membantu penerangan.

Dia ragu untuk memasuki lorong ini saat pikirannya tertuju pada hantu. Bagaimana jika di dalam sana ada hantu? Namun, Reni menggelengkan kepalanya. Dia akan melawan rasa takutnya itu demi mencari tahu tentang sang ayah. 

Hidden Truth [Segera Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang