Savant Biru Laut | Part 7

7 0 0
                                    

Setelah makan siang, aku pergi ke studio Kanami sesuai janji. Kunagisa mengaku, seperti biasa, tidak lapar dan segera tidur setelah lewat tengah hari. Dia itu teknisi cilik penderita kronis kurang tidur.

"Tolong bangunkan aku saat makan malam. Aku mau bertemu Iria," katanya.

Aku mengetuk pintu ruang kerja, menunggu jawaban, lalu memutar kenop. Lantainya terbuat dari kayu keras yang tidak dilapisi karpet. Dalam beberapa hal, aku teringat ruang seni di sekolah dasarku, kecuali tentu saja ruangan ini tidak diisi meja penuh goresan dan tidak ada pahatan plester palsu. Ukurannya juga tidak sebesar itu. Total area studio mungkin sekitar setengah luas kamar Kunagisa.

"Selamat datang. Duduk di sana," kata Kanami, setelah sebentar menatapku dalam keheningan dingin. Shinya pasti berada di kamarnya atau di suatu tempat, sebab Kanami satu-satunya orang di sana. Aku berjalan melewati rak berisi cat dan persediaan cat lalu mengambil tempat duduk.

Aku menghadap Kanami dan berkata, "Pertama-tama, terima kasih."

Tak dapat kusangkal dia itu wanita cantik. Dengan rambut pirang dan mata biru, layaknya salah satu putri terasingkan yang kau lihat di film-film lama. Dia juga memancarkan kecerdasan. Dan terlebih lagi, dia memiliki bakat artistik. Dia bagaikan mendapat rahmat dari Tuhan.

"..."

Tidak, mungkin aku tidak boleh mengatakan itu.

Dia memiliki sepasang kaki cacat, dan sampai beberapa tahun lalu, dia bahkan tidak mampu melihat. Kukira tak pantas bagiku untuk mengeluh. Namun di sisi lain, Kanami sendiri sepertinya tidak memandang kondisi tersebut sebagai cacat atau disabilitas.

"Tuhan itu adil. Jika aku berbadan sehat, sebaliknya akan tidak adil bagi yang sehat." "Kaki hanyalah hiasan." "Bahkan ketika kuperoleh kembali penglihatanku, dunia tidak benar-benar berubah. Dunia tampak sesuai bayanganku. Seleksi alam dan nasib punya selera yang buruk."

Semua dikutip dari buku seni Kanami.

Dia duduk pada kursi kayu bundar sama seperti tempat aku duduk. Dia mengenakan gaun, jadi kuperhatikan kelihatannya dia agak kurang nyaman.

"Kanami, kamu memakai baju itu saat melukis?"

"Apa kau meragukan selera modeku?"

Wajahnya berubah tegas. Rupanya ini bukan lelucon. Dia betul-betul jengkel. Aku pun bergegas mencari jalan keluar.

"Tidak, tidak, bukan itu maksudku. Aku hanya berpikir pakaianmu mungkin akan kotor nantinya."

"Aku tidak perlu mengganti pakaianku setiap kali melukis sesuatu. Sampai saat ini, aku tidak pernah mengotori pakaianku sekalipun saat melukis. Aku bukan seorang idiot."

"Oh, begitu."

Kurasa itu sama seperti ahli kaligrafi. Bila dipikir-pikir, terkena cat pada pakaianmu mungkin terhitung kesalahan besar nan amatir. Bagi Kanami, salah satu seniman top di seluruh dunia, saran belaka mungkin tidak sopan, ibarat berkhotbah pada sang Buddha sendiri.

Aku mengangkat bahu. "Tapi apa boleh melukis seseorang sepertiku?"

"Maksudnya apa?" bentaknya, ekspresi tegas masih tergambar. Dia nampak sedang berada dalam suasana buruk. Atau tidak, mungkin inilah dia sehari-harinya.

"Er, tidak, hanya saja, bukankah harga dirimu sebagai seorang seniman akan turun?"

Misalnya, mungkin aman untuk mengatakan Kunagisa terampil pada bidang teknologi tak seperti orang lain di dunia. Namun, dia hanya melakukannya untuk bersenang-senang, jadi jumlah orang yang benar-benar mengakuinya luar biasa sedikit. Bisa dihitung jari.

Serial Zaregoto: Pemenggalan Siklus Kubikiri (Indonesia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang