Satu Pemenggalan | Part 4

8 1 0
                                    

4

Dalam perjalanan menuju kamar Kanami, kami berpapasan dengan Yayoi. Aku bermaksud menyapanya, tapi suasananya, uh, canggung, jadi kesempatan itu sengaja kulewatkan. Dia sendiri terus berjalan ke arah berlawanan. Kami melewati satu sama lain, tapi sepertinya dia bahkan tidak memperhatikan kami.

"Aku ingin tahu dia sedang apa," kata Kunagisa. "Aneh!"

"Dia tampak agak khawatir tentang sesuatu. Atau mungkin sedang berpikir keras."

"Yap. Karena dia datang dari arah sana, mungkin tadi dia melihat-lihat kamar Kanami. Mungkin dia punya ide yang sama dengan kita. Ayo selesaikan kasus ini secepatnya biar kita semua bisa pulang."

"Hm, entahlah. Dia tinggal di sini paling lama, kan? Aku ragu dia tiba-tiba ingin berkemas dan pergi."

"Entahlah. Aku pribadi tidak akan suka pulau tempat kasus pembunuhan pernah terjadi."

"Benar juga."

Tepat sebelum kami semua berpencar dari ruang makan, Iria menetapkan sebuah aturan: "Sampai Aikawa tiba enam hari lagi, tidak ada yang boleh meninggalkan pulau. Kita semua tersangka di sini, termasuk diriku sendiri."

Dengan kata lain, Akane bukan satu-satunya yang sedang dikurung. Bukan cuma rasa ingin tahu yang memotivasi Kunagisa menggali lebih dalam. Dia pun berkeinginan untuk pulang sesuai jadwal. Meski santai dan malas, anehnya dia disiplin terhadap jadwalnya.

"Yah, apa pun itu bukan masalah," katanya. "Aku tentu tak keberatan jika Yayoi memecahkan kasus ini untuk kita."

"Kupikir bukan itu rencananya. Menurutku, dia memancarkan semacam getaran melankolis dan muram. Hampir seperti orang yang membuang barang bukti atau semacamnya."

"Itu pasti bukan kabar baik buat kita." Kunagisa menatapku melalui kamera digitalnya. "Ayo cepat kita periksa."

Pintu kamar Kanami dibiarkan terbuka. Kau bisa melihat bagian dalam pintu terbuka ke luar. Sepertinya tidak ada orang di kamar itu. Aku penasaran apa yang dilakukan semua orang, kecuali Akane, yang sedang berada di ruang penyimpanan. Tapi kuputuskan untuk mengesampingkan pikiran itu untuk sesaat. Orang-orang akan berbuat sesuka mereka, sebebas-bebasnya. Itu berlaku di pulau ini, dan itu juga berlaku di tempat lain.

Ruangan itu masih berbau pengencer cat, namun sebagian besar cat yang berserakan tampak sudah kering sekarang. Jasad Kanami tetap berada di tempat yang sama seperti tadi pagi, dan terlihat persis sama.

"Astaga!"

Ada sesuatu yang lucu soal tubuh tanpa kepala. Hal yang membuat mayat begitu menyeramkan dan menakutkan itu ekspresi tanpa emosi yang tergambar pada wajahnya, tapi pada jenazah tanpa kepala, kengerian dan teror seakan diganti dengan semacam kekonyolan. Ini seperti melihat model plastik yang gagal dibentuk.

Sungai marmer. Mantel yang dilempar Kunagisa sebelumnya tetap berada tepat di tengah-tengah ruangan.

"Ngomong-ngomong, soal mantel itu. Berapa harganya?"

"Sekitar sepuluh ribu, kurasa."

"Dolar?"

"Bukan, Yen."

Wow, harga rata-rata. Aku sedikit terkejut. "Yah, mungkin sekalian saja kita masuk ke dalam."

Aku mencoba maju selangkah, tapi Kunagisa menarik lengan bajuku seperti pagi tadi.

"Apa sekarang?"

"Cobalah melompat."

"Hah!

"Ayolah. Ini eksperimen. Mulailah sedikit berancang-ancang di sini dan lihat apa kamu bisa melangkahi sungai cat itu. Keterampilan atletikmu tidak terlalu buruk, kan?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 19, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Serial Zaregoto: Pemenggalan Siklus Kubikiri (Indonesia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang