8. Drama

417 16 0
                                    

Setelah adu mulut soal venue wedding party, gak ada lagi komunikasi sama Jessika. Hidup jadi lebih tenang. Urusan pernikahan sama sekali gak perlu ikut-ikutan, semua udah diurus sama anak-anak buah Om Hendro.

Logo-logo pesanan juga hampir rampung. Tinggal dua lagi yang sedang mengantri. Setelah itu, bisa liburan honeymoon. Yeah! Hanimun-hanimun-an.

Seminggu sebelum Hari H baru dihubungin buat ngecek lokasi, menyinkronkan imajinasi wedding organizer dengan harapan aku. Mama keliatan banget berusaha bersikap biasa-biasa saja. Padahal dalam hati terkejut-kejut dengan mewahnya pernikahan ini nanti.

Sampai di mobil baru semua tersalurkan.

"Aaaaaw! Kamal! Mimpi apa kamu bakal nikah di kapal pesiar! Ya Allah! Terimakasih telah Engkau perlihatkan wajah asli si Tania. Kalau gak, Kamal gak akan mungkin bisa dapet mertua kaya gini baiknya. Ya Allah, alhamdulillah." Mama berbinar-binar bahagia.

Gimana gak baik. Tamu-tamu bakal diajak keliling pesisir Indonesia dari Surabaya, Bali, lalu lanjut ke Bunaken, terus ke Raja Ampat. Yeah! Sultan mah bebas.

Sementara, aku sama Jessika dibebasin pake yacht berdua aja. Ketawa miris begitu tahu dapet kado ginian dari calon mertua. Ngapain aja nanti di tengah laut bedua? No Love No Sex, paling cuma poto-poto buat pencitraan.

Gak tahu gimana perasaan Mama kalau tahu semua hanyalah kebohongan. Segala kemewahan dan kemegahan ini hanya sampul untuk satu kepura-puraan besar.

Tak ada yang namanya pernikahan. Ini hanya satu transaksi yang memuaskan.

^^^

Tiga hari menjelang pernikahan. Aku pake baju batik lengan panjang dan dateng ke acara gala dinner. Malam ini penganugerahan Sustainability Award dan perusahaan Om Hendro menang sebagai Best Project Based CSR.

Biasanya paling males diajakin ke acara ginian. Tapi kali ini ngerasa gak enak nolak ajakan Om Hendro. Padahal masih ada sedikit lagi bahan presentasi yang musti disiapin buat besok.

Mungkin Jessika bener. Aku mulai kehilangan kemerdekaan. Mulai bisa diatur-atur sama orang lain.

"Liat itu," Om Hendro narik perhatian ke layar besar yang terpampang di panggung, "itu yang kita kerjain selama ini."

Layar menampilkan profil proyek CSR yang dilakukan oleh perusahaan Om Hendro. Aku baru tahu perusahaan ini concern sekali di bidang pendidikan anak. Mereka mendirikan sekolah di tiga titik di pedalaman Papua. Bukan hanya bangunan fisiknya, namun juga membiayai guru-guru yang menjadi pengajarnya.

"Saya bilang, sekolahnya harus menyatu dengan alam. Harus bikin mereka sadar betapa kaya potensi alam di sekeliling mereka," nada suara Om Hendro penuh semangat,

"Kamu tahu, mereka punya sagu, punya ubi, tapi merasa wajib jalan berkilo-kilo meter naik turun gunung buat menjual hasil alam supaya bisa ditukar sama beras dan mie instan. Percaya gak?"

Wow! Takjub liat api semangat di mata Om Hendro. Di sini mungkin passion beliau yang sebenarnya. Sesuatu yang membuat jiwa dalam dirinya hidup dan bergerak.

"Kenapa mereka harus menjual karbohidrat demi karbohidrat lain? Aneh, kan?"

Aku manggut-manggut.

"Makanya butuh pendidikan yang selaras dengan alam. Bukan pendidikan yang mencabut mereka dari akar kearifan mereka sendiri. Supaya mereka bisa berdaya, tegak di tanah sendiri."

Wow! Keren! Aku ikut tepuk tangan dengan tulus waktu MC manggil Om Hendro naik ke atas panggung untuk nerima penghargaan.

Visi pendidikannya boleh juga. Emang beda kalau punya duit banyak. Bebas mau ngapain aja. Gak kaya aku cuma bisa ngasih donasi trus harus percaya sama proyek-proyek sosial orang lain.

Drama PernikahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang