06. Conversation

297 31 3
                                    

Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan Draco yang berusaha menghindari segala hal tentang Potter. Saat ada yang membicarakan tentang Potter, ia tak akan segan memberikan mantra apa pun yang sedang terlintas di kepalanya kepada siapa pun itu. Bahkan, saat ada yang hanya menyebut nama Potter, ia pun segera mengirimkan tatapan tertajamnya pada orang tersebut. Terlebih lagi saat ia tak sengaja berpapasan dengan Potter sendiri, ia akan berbalik arah atau pun lari secepat angin pergi dari hadapannya. Teman-temannya menyebut ia terkena Potter-phobia.

Potter-phobia? Konyol sekali.

Nyatanya, Draco hanya merasa bahwa berhadapan dengan Potter tidak baik bagi kesehatan jantungnya. Segala hal tentang Potter membuat jantungnya bekerja dua kali lebih keras dari biasanya. Apalagi saat berhadapan langsung dengannya, ia bisa-bisa mati muda karena jantungnya yang bekerja teramat keras.

Sepertinya benar kata Theo, aku terkena Potter-phobia. Bocah itu memang benar-benar sebuah masalah.

Draco pun tak lagi menikmati malam-malam larutnya di Menara Astronomi. Ia tahu betul bahwa Potter akan ada di sana. Jangan tanyakan bagaimana ia bisa mengetahui hal ini. Kau tahu sendiri sebesar apa gengsi pemuda pirang ini. Bahkan tanpa Potter di menara itu pun dia akan mengingat tentangnya. Tentang apa yang mereka lakukan di malam pertama sekolah beberapa hari yang lalu di tempat itu.

Namun, sepertinya malam ini ia telah menyerah untuk menuruti kata hatinya itu. Pikirannya terlalu penuh dan kacau. Ia membutuhkan udara segar untuk menjernihkan pikirannya. Maka, di sinilah ia sekarang, setelah patroli malamnya, sedang berjalan menyusuri lorong panjang menuju Menara Astronomi. Ia hanya berdoa satu hal, semoga Potter cukup waras untuk tidak lagi berkeliaran di malam yang telah larut dan dingin seperti ini.

***

Sial!

Begitu membuka pintu menara, hal pertama yang Draco lihat adalah Potter yang sedang duduk di belakang pagar pembatas menara dengan kedua tangannya sedang memeluk kakinya yang ditekuk. Jika Draco mau jujur sekarang, sebenarnya Potter terlihat menggemaskan dengan tubuh mungilnya yang dibalut dengan jubah asramanya. Oh, sepertinya Potter tidak terlalu bodoh lagi dengan hanya memakai setelan tidur seperti yang dilakukannya beberapa hari yang lalu. Potter menoleh sekilas ke arah Draco begitu ia mendengar decitan pintu menara yang dibuka.

Draco dilanda kebimbangan sekarang. Haruskah ia pergi dari sini? Tapi Potter sudah terlanjur melihat keberadaannya. Bukankah akan terlalu kentara bahwa Draco sedang menghindari Potter jika ia langsung pergi saja dari sini?

"Apa kau akan terus berdiri saja di sana?"

Suara Potter menarik kembali kesadaran Draco yang sedang bimbang dengan pikirannya sendiri. Jika menurut akal sehatnya, ia akan membalas perkataan Potter yang terdengar seperti ejekan itu dengan ejekan lain. Namun, sepertinya hati dan tubuhnya berkehendak lain, ia justru berjalan ke arah Potter dan berakhir dengan berdiri di samping Potter dengan keduanya tangganya memegang besi pembatas.

Draco memandang ke luar menara. Mengamati hamparan pepohonan Hutan Terlarang yang berada tepat di samping Danau Hitam. Mencoba tidak memedulikan Potter yang kini berada tepat di sampingnya.

Usaha yang sia-sia, Draco. Bagaimana bisa kau mengabaikan eksistensi Potter sekarang? Pemuda itu telah memenuhi pikiranmu selama beberapa hari ini. Bahkan kau mau bersusah-payah untuk menghindarinya. Sepertinya mendengar kau yang mengabaikan keberadaan Potter terdengar mustahil.

"Kukira kau menghindariku," suara Potter kembali menarik perhatian Draco. Ia pun menoleh ke arah Potter yang tak mengalihkan pandangannya dari langit malam tersebut.

"Aku? Kenapa kau berpikir begitu?" Draco sudah keringat dingin sekarang. Apakah tindakannya yang menghindari Potter terlihat sejelas itu?

"Entahlah, hanya merasakannya."

"Kau juga tak datang ke menara ini beberapa hari kemarin," sambung Potter setelah jeda beberapa saat. Kini ia mengalihkan pandangannya kepada Draco yang kini menyandarkan punggungnya pada pagar pembatas menara, sepenuhnya menatap Potter.

"Aku sibuk tentu saja. Aku seorang Head Boy kalau kau lupa," ucap Draco dengan kesombongan penuh.

Potter hanya membalasnya dengan putaran bola mata. Sudah lelah dengan tingkah sombong pemuda pirang ini.

"Menyingkirlah dari sana! Kau menghalangi pemandanganku," kata Potter menatap Draco nyalang.

Draco hanya bisa berdecih membalasnya. Kemudian ia menggerakkan kakinya dan berakhir dengan mendudukkan dirinya di samping Potter. Ia cukup kaget sebenarnya akan apa yang dilakukannya sendiri. Duduk di dekat Potter? Bukankah itu sangat bertolak belakang dengan komitmennya yang ingin menghindari Potter itu?

Jika Draco saja kaget, Potter apalagi. Ia sedikit terperanjat ketika Draco duduk di sebelahnya dan menatap lurus ke depan. Walaupun demikian, ia tidak memprotes atau pun memerintahkan Draco untuk menyingkir. Ia kembali mengarahkan pandangannya pada langit malam.

"Bagaimana tongkatmu? Apa ia menurut padamu?" tanya Potter memecah keheningan di antara mereka.

Draco kaget tentu saja. Mengapa Potter tiba-tiba mengajaknya bicara? Draco pikir Potter akan merasa canggung akibat kejadian yang mereka alami beberapa hari yang lalu di Kelas Ramuan. Namun nyatanya, Potter terlihat biasa-biasa saja. Apa hanya Draco yang berlebihan memikirkan kejadian itu?

"Pertanyaan apa itu? Tentu saja, bodoh. Itu tongkat asliku."

"Bisa tidak kau berhenti menyebalkan sebentar saja! Aku hanya bertanya," protes Potter.

Sebenarnya Draco juga ingin sedikit lebih ramah pada Potter seperti apa yang dilakukan Potter padanya. Mengingat ia sudah meminta maaf pada Potter, sepertinya kurang etis jika ia kembali menyulut permusuhan. Namun, lagi-lagi akal dan hatinya bertindak berlawanan. Ia justru mengeluarkan kalimat ketus itu. Kebiasaan lama susah dihilangkan rupanya.

"Ngomong-ngomong, aku sedikit penasaran. Bukannya kau memakai tongkat ibumu saat perang kemarin? Kenapa kau tidak memakainya kembali?" tanya Potter.

"Ibuku sekarang menjadi tahanan rumah. Mana mungkin aku meninggalkannya di manor besar itu sendirian tanpa tongkat sihir," ucap Draco dengan sebisa mungkin menghilangkan nada menyebalkan dari suaranya. Sepertinya berhasil, kini Potter terlihat menyunggingkan senyum tipis setelah mendengar kalimatnya barusan.

"Aku tidak menyangka kalau kau sebenarnya adalah anak yang sangat perhatian pada orang tuamu," ucap Potter dengan senyuman yang terlukis di bibirnya. "Mengingat tingkahmu yang sangat menyebalkan di sekolah."

Draco kini mengalihkan pandangannya pada Potter. Ia memperhatikan Potter yang ada di sebelahnya. Sedikit terkesiap. Potter dengan pandangannya yang masih tertuju pada langit malam, kini tampak tenang dengan sapuan cahaya bulan yang mengenai wajah dan tubuhnya. Dengan senyuman yang terlukis di wajahnya, Potter sekarang terlihat memesona.

Draco segera bergeleng-geleng untuk menghilangkan pikirannya barusan dari kepalanya. Bagaimana bisa ia menganggap Potter memesona? Namun, ia nyatanya masih tak bisa mengalihkan pandangannya dari Potter. Oh, Draco. Mengapa pikiran dan tindakanmu sangatlah berlawanan malam ini?

"Ya, setidaknya aku masih seorang anak ayah," jelas Draco. Well, perkataannya seratus persen benar. Ia memang seorang anak ayah mengingat ia selalu mengatakan kalimat yang sama sepanjang ia bersekolah di Hogwarts, "My father will hear about this."

"Hahaha! Benar apa katamu. Kau memang sangatlah anak ayahmu," ucap Potter dengan tawanya menanggapi lelucon yang coba Draco lontarkan barusan.

Draco tidak menyesal ia telah mengatakan kalimatnya barusan walaupun itu terkesan sedikit merendahkan dirinya. Ia tidak menyesalinya jika respons yang akan ia dapatkan adalah tawa yang keluar dari bibir Potter. Ia ikut tertawa ringan mendengar tawa Potter yang terdengar merdu di telinganya. Kini ia tidak akan menyangkal lagi bahwa Potter terlihat semakin memesona.

TBC

Astronomy TowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang