Riuh angin malam kian gamang, mimpi-mimpi yang berserakan seolah menyudutkan dirinya kembali. Firman tak bisa meraba dan mengendalikan lagi buncah di kepalanya yang terkadang lepas. Sesulit itu untuk menyembuhkan diri dari belenggu masa lalu yang begitu fanatik mengejarnya lagi seolah dirinya masih terjerat hutang yang belum ia lunasi, belum lagi tentang dunianya saat ini yang begitu sesak untuk sekedar duduk manis menikmati kopi hitam. Jejak kakinya saja perlu kertas-kertas berstempel untuk dibawa mencari sepeser rupiah.
Diam-diam berkelakar dengan dirinya sendiri, Firman kini merebahkan tubuhnya. Ia mencari kemenangan dengan pundaknya yang demikian berat menanggung beban-beban hidupnya, cukup canggung menatap atap yang retak untuk mengeluh lagi, ia menutup matanya perlahan mencari gelap yang menenangkan, ia tidak tahu sampai kapan perangnya akan berakhir atau mungkin tidak akan pernah berakhir, memburunya sampai akhirat.
Bebas dengan situasi yang makin sulit sama saja rasanya berada dalam sel penjara. Tidak ada jeda untuk sekadar berhalusinasi menjadi tokoh utama film kartun yang selalu menang pertandingan. Hidup Firman tidak se-klise itu, ia sendiri yang mengubah takdirnya menjadi kian pelik.
Tok Tok Tok
Terdengar suara ketukan di pintu kos-nya, Firman yang sedari tadi memejamkan mata kini terganggu dengan suara itu, agak kesal tampaknya. Begitu Firman membuka pintu dilihatnya Joni sudah berdiri di depan dengan jari menggapit sebatang rokok. Dia tersenyum sangat lebar setelah mulutnya menyembulkan asap. Firman tampak tak suka bahkan dia hampir menutup pintu lagi tapi dengan sigap Joni menahannya.
“Ada perlu apa?“ tanya Firman dengan ketus.
“Boleh saya masuk?“ tanya Joni sambil menghisap kembali rokoknya. Dia menyembulkan kepalanya sedikit untuk melihat isi kamar kosan Firman.
“Nggak lagi ngumpetin perempuan, kan?” cecar Joni dengan raut jenakanya yang membuat Firman semakin kesal. Kalau saja hati nuraninya tidak sebaik sekarang, Firman sudah barang tentu menonjok wajah Joni sampai babak belur. Hanya saja ia tidak ingin menambah musuh-musuh baru lagi dalam hidupnya.
“Boleh.” Akhirnya Firman kini memperbolehkan Joni masuk. “Tapi dilarang merokok.”
Joni menghisap rokoknya kembali untuk yang terakhir. Kemudian dilemparnya sisa batang rokok yang sudah habis setengah ke bawah pohon mangga di depan. Dia masuk setelahnya, mereka berdua duduk bersila di atas tikar.
“Gimana? sudah dapat kerjaan, Mas?“ tanya Joni memulai obrolan, Firman hanya menarik napas panjang, tampak berat kepalanya sampai mulutnya saja tidak ingin bersuara. Joni yang memahami kondisi Firman kali ini, tanpa ingin basa-basi ia langsung mengatakan maksud kedatangannya.
“Saya ke sini mau minta maaf, soal kejadian tadi pagi. Saya cuma niat bercanda, nggak ada maksud lain.“
“Waktunya aja kurang tepat.“ Jawab Firman singkat.
“Dulu awal-awal saya datang kemari juga sering merasa tersinggung, karena mereka terlihat lebih bahagia dari Saya.” Joni tertunduk sebentar. “Pak Bambang belum cerita?“
“Tentang apa?” tanya Firman yang mulai tergugah rasa penasarannya.
“Tentang Saya.“ Joni menunjuk dirinya.
Firman tertawa kecil sambil meledek “Memang sepenting apa?”
“Haduh Mas Firman, Saya ini orang penting loh disini kalau belum pernah denger cerita saya berarti Pak Bambang udah mulai pikun,“ kekeh Joni.
“Panggil Firman aja, nggak perlu panggil mas. Saya lebih muda dari kamu,” pinta Firman.
“Oke,” kata Joni mengiyakan. “Sejak awal datang ke sini, saya sering berkelahi dengan Anton. Dia sudah dua bulan lebih dulu tinggal di sini, lalu saya datang sehari setelah hari kebebasan saya, kemudian sekitar enam bulan kemudian Mira yang datang.“
KAMU SEDANG MEMBACA
UNIFIER ( A Couple Hero's Story)
RomanceKehidupan Firman berantakan semenjak dirinya terjerat kasus KDRT terhadap istrinya, selama 4 tahun dia harus mendekam dipenjara. Perceraian dengan sang istri semakin membuatnya tersadar atas kegagalan hidup, kegagalan tanggung jawab, serta kegagalan...