Chapter 8 - Menembus Batas Kota

37 14 19
                                    

Hidup adalah petualangan dari rencana yang dibuat, perjalanan yang mengantarkan keputusan awal menuju tujuan akhir.

Terkadang bisa saja berhasil atau tidak dengan bagaimana melewati dan dengan siapa menjalani. Firman tidak menuntut banyak atas hidupnya meski kadang dia selalu terjebak dalam situasi yang seharusnya tidak dia pilih. Kelegaan bertemu dengan penghuni kos yang ternyata senasib dengan dirinya membuat dia semakin kuat, kokoh dan tidak hancur. Dia terdorong untuk mencoba berbagai hal meski kebimbangan menyertainya.

Pintu-pintu kemudahan yang terkunci kini seolah memberinya celah, seberkas cahaya dari dalam pintu mulai memapar keluar meski ia tidak tahu bagaimana akan memulainya. Meski sepenuhnya dia memegang kunci hidupnya sendiri tapi membukanya secara lebar tidak semudah ia membuka pintu kamar kos-nya.

Lama merenungi keputusan yang akan dia ambil, Firman justru mengingat perkataan Golek beberapa hari yang lalu yang membuat dia semakin benci untuk sekedar bernapas. Memiliki kemampuan lebih tak lantas membuat hidupnya menyenangkan, dia takut akan bertemu kembali dengan orang-orang  yang memanfaatkan hidupnya dengan cara yang salah.

Pintu kamarnya terketuk, suara Mbak Mira terdengar dari luar sana. Firman bergegas membuka.

“Ada apa, Mbak?" tanya Firman.
Tak langsung menjawab Mbak Mira memberikan secarik kertas kepada Firman, disana tertulis alamat sanggar ilmu bela diri bernama 'Sasana Rajawali'.

“Ini alamat tempat pelatihan itu, Mbak?" tanya Firman seraya membeber kertas.

“Iya," pungkas Mira. "Datang saja kesana besok atau kapan.“

“Terima kasih,Mbak.”

“Semoga berhasil,“ ucap Mira tersenyum akrab. Ia lekas pergi. Firman hanya mengangguk sambil membawa dirinya duduk bersila mengamati alamat yang tertulis pada kertas itu. Yakin tidak yakin dia harus mencobanya entah dia akan menemukan duri atau melati kali ini. Ia tidak sedang merangkai balada dalam bukunya tetapi mencoba memperjuangkan apa yang ada di depan matanya untuk menjadi kisah yang hanya dibaca oleh dirinya. Karena nampak dunia dan seisinya tidak mungkin memahami apa yang dirasa, mereka hanya tahu dari raut wajah yang terpampang dan laku yang nyata.

Angin kadang bergerak diam, terkadang tenang menyemilir menyegarkan kulit ari, kadang pula melonjak untuk terang-terangan. Seperti itu kemudian Firman melanjutkan hidupnya yang tersisa. Adakalanya dia harus mengutarakan kegelisahannya adakalanya juga ia memendam dalam apa yang ia rasa tak pantas dibagi.

Pagi itu dengan pakaian rapi, Firman bergabung dengan penghuni kos yang lain di meja makan, Pak Bambang juga tampak disana. Seperti biasa, Firman selalu menjadi yang paling akhir menyentuh piring pada sarapan pagi. Ia menarik bangku makan ke belakang sebelum dirinya mengambil sikap duduk.

“Mau cari kerja lagi, Fir?" tanya Anton yang kali ini duduk di sebelahnya.

“Mau cari istri,“ celetuk Joni yang kali ini terkekeh, Anton menatapnya sengit.

“Aku nggak nanya kamu, Jon,“ jawab Anton jengkel.

“Lagian udah tahu Firman lagi nyari kerja masih tanya."

“Udah, Jon." Kini Pak Bambang angkat bicara, Joni pun terdiam menurut. Pak Bambang kemudian beralih menatap Firman.

“Mas Firman mau coba ke sanggar?“ tanya Pak Bambang yang nampaknya sudah tahu rencananya.

“Iya, Pak, saya ingin tahu keadaan disana dulu.“

Pak Bambang menyelesaikan makan paginya dengan menutupnya dengan menyeruput segelas air teh hangat, ia pun mengambil sebuah tisu untuk membersihkan mulutnya serta kumis tipisnya yang lembab.

UNIFIER ( A Couple Hero's Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang