5. Bulan Madu

1.5K 67 16
                                    

Dan saat ini, yang kita tahu hanyalah bagaimana caranya untuk saling memiliki.

=Rivanno=

===
 

Goresan Tinta Reina

Ibu dan Ayah memaksa mengantarkan kami ke bandara. Sampai di Terminal 3, kami langsung pamit karena waktu tersita oleh kemacetan di jalanan tadi.

“Kalian hati-hati, ya. Sampe di sana jangan lupa kabarin.” Ibu memelukku erat, dan aku mengangguk. “Jaga kesehatan.”

“Dan bawa kabar baik pulang dari sana,” sambung Ayah.

Aku tahu pasti kabar baik yang dibicarakan oleh Ayah. Kabar tentang kehamilanku. Beliau dan Ibu sangat berharap dapat cucu secepatnya dari kami. Tentu saja Kak Vanno mengangguk antusias.

“Sana! Nanti telat.”

Kami mengangguk. Kak Vanno merangkulku dan kami mulai menjauh dari Ayah dan Ibu. Berjalan menuju petugas check in.

“Kok tegang banget, Sayang?” tanya Kak Vanno setelah kami duduk di pesawat. Aku tersenyum sebisanya, tak tahu harus berkata apa.

“Santai aja, Rei. Kalo kamu bisa seneng di sana, itu udah cukup bikin aku seneng. Percaya sama aku,” bisik Kak Vanno dan cukup berhasil menenangkanku.

“Iya, Kak,” ujarku sembari menyandarkan kepala di bahunya. Salah satu kenyamanan yang bisa kudapat dari Kak Vanno.

Entah untuk apa ketegangan yang kurasa sejak bangun tadi. Harusnya aku senang bisa bersamanya seperti ini. Berdua, berlibur dan menemaninya menjauh dari rutinitas sehari-hari. Bukan untuk merasa tegang dan takut. Tapi karenanya, aku bisa tenang dan mencoba menikmati saja.

=====

“Iya, Bu. Ini Rei sama kak Vanno baru banget nyampe hotel,” kataku sambil berjalan ke arah balkon. Tercium bau pantai dari kejauhan.

“Alhamdulillah. Yaudah, kalian istirahat dulu.”

“Iya, Bu. Salam buat Ayah, ya.” Kuakhiri pembicaraan kami tepat saat kak Vanno menghampiri.

“Udah ngabarin Ibu-nya?” tanya kak Vanno sambil melingkarkan tangan di perutku, memeluk dari belakang.

“Udah, Kak.” Kuelus pelan punggung tangannya yang memelukku makin erat.

Kami tiba di hotel 20 menit yang lalu. Setelah perjalanan dari bandara selama 1 jam 30 menit. Belum lagi perjalanan dari Jakarta yang memakan waktu kurang lebih 2 jam. Rasa lelah sedikit menggangguku. Dan perut kami pun meminta jatah makan siangnya yang terlambat. Dengan pengertian, suami tersayangku memesan layanan kamar beberapa saat yang lalu, sementara aku mengabari Ibu.

“Hari ini mau ke mana, Rei?”

Kak Vanno tiba-tiba mencium leherku saat hendak kujawab pertanyaannya. Geli. Aku masih belum terbiasa dengan setiap sentuhannya. Dan seperti biasa, pipiku memanas.

“Kak ....”

Ia tertawa kecil dan menjauhkan wajahnya dari leherku tanpa melepas pelukan.

“Kamu ini masih malu-malu aja, deh.” Ia masih tertawa. “Jadi mau ke mana hari ini, Sayang?”

“Hmm ... hari ini di hotel dulu aja kali ya, Kak? Aku agak capek.”

“Nanti liat sunset, ya?” Kak Vanno memutar tubuhku hingga kami berhadapan. Ia menatap penuh perhatian. Aku mengangguk, tak kuasa menolak ajakannya.

Cinta TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang