1. Hari Akad

12.8K 573 8
                                    

Tak ada yang jauh membahagiakan saat ini dibanding memilikimu seutuhnya
=Rivanno=

=====

Goresan Tinta Rivanno

"Vanno ...," panggil Ibu ketika aku tengah memakai jas sebagai bagian akhir persiapan hari ini.

"Iya, Bu ...."

Aku menatap Ibu. Raut wajahnya begitu bahagia. Memang ini yang selalu beliau inginkan. Menjadikan Reina sebagai bagian dari keluarga kami. Lebih dari sekedar anak angkat.

"Kamu siap, Nak?" tanya Ibu. Dan aku mengangguk pasti. Hari inilah yang selalu kutunggu. Aku bahkan sudah lebih dari siap.

"Kalo gitu turun, yuk! Semua orang udah nunggu," ujar Ibu seraya mengelus lembut rambutku.

Kembali kuanggukkan kepala. Dan kali ini Tyo memberikan tepukan keras di pundakku. Namun tak sakit sama sekali.

"Congratz, Bro! Good luck, ya!"

Aku tersenyum dan menjawab, "thanks, Bro."

Kupeluk sahabat yang selalu setia menemani dan mendukungku. Dialah yang selalu ada di saat-saat terberat melewati semua cobaan dalam hubunganku dengan Reina.

Tyo lalu menemaniku keluar dari kamar. Jantungku sudah tak karuan begitu kami menuruni tangga. Sudah banyak orang di bawah sana. Di antaranya ada Ayah dan beberapa pria paruh baya tengah berbincang. Ibu yang tadi keluar terlebih dahulu dari kamarku malah tak terlihat. Mungkin tengah menemui gadisku.

"Van!" panggil Ayah saat melihatku. Aku dan Tyo pun menghampirinya.

"Iya, Yah."

Aku lalu dikenalkan pada bapak-bapak yang ada di hadapan kami. Ternyata mereka adalah orang-orang yang berperan penting hari ini.

Setelah berbincang sebentar, aku duduk di karpet yang entah mengapa terasa sangat panas kali ini. Di sebelah kananku ada Tyo, saksiku hari ini. Di depan, ada penghulu yang siap menikahkanku dengan Reina. Rasanya tak ada hari yang paling mendebarkan selain hari ini.

Menunggu Reina dalam keadaan sepenting ini makin membuatku tegang. Jika biasanya hanya terasa bosan dan lelah, kali ini mendebarkan. Aku sudah membayangkannya dalam balutan kebaya putih yang kami pilih berdua. Saat fitting baju terakhir kali minggu lalu, ia sudah sangat cantik meski tanpa make up.

Lalu seketika sekelilingku hening.

=====

Goresan Tinta Reina

"Rei, kamu cantik banget," ujar kak Nisa yang menemaniku di kamar.

Aku hanya tersenyum. Mencoba menyesuaikan diri dan meredam detak jantung yang makin lama makin cepat tiap detiknya. Aku gugup, takut, namun tak mampu menutupi rasa bahagia yang membuncah. Ini yang aku nantikan, hari ini yang selalu kuharapkan ada sejak pertama jatuh cinta padanya. Tak mungkin aku lari.

Pintu kamarku berderit tanda terbuka setelah terdengar suara Ibu. Beliau masuk dengan senyum yang merekah di wajahnya. Aku sangat tahu beliau bahagia menyambut hari ini. Sejak aku kembali ke rumah dan Kak Vanno mengutarakan keinginannya menikahiku, beliaulah yang paling sibuk menyiapkan segala sesuatunya. Agar tak ada yang terlewat katanya.

Dan hari ini puncaknya. Ibu terlihat amat sangat cantik di usianya yang tak lagi muda. Kebaya ungu muda yang aku dan Kak Vanno pillihkan untuknya bulan lalu sangat cocok beliau kenakan.

"Udah siap, Sayang?" Aku menganggguk. Meski sesungguhnya rasa gugup menelan semua kesiapan mentalku seketika.

"Rei cantik banget ya, Tan ...," ujar kak Nisa di tengah perasaan gugupku.

"Iya, Nis. Vanno pasti pangling banget liatnya." Ibu tersenyum. "Kamu gugup ya, Rei?"

"Iya, Bu." Ibu pasti melihat wajahku. Entah itu masih kelihatan ber-make up atau justru malah pucat.

"Tarik napas, Sayang. Semuanya pasti lancar."

Aku menganggguk dan melakukan apa yang Ibu suruh. Namun rasa gugp itu masih enggan enyah seberapa kali pun aku menarik dan membuang napas.

"Semua orang udah nunggu, Sayang. Vanno juga udah turun." Aku tahu pasti kelanjutan ucapan Ibu. "Kita turun juga, yuk!"

Kak Nisa mengangguk dan aku mengiyakan. Mau tak mau mengikuti Ibu dan Kak Nisa. Meski rasanya lututku tak mampu lagi menopang tubuh ini.

Kami berjalan meninggalkan kamar. Jantungku berdetak makin kencang saat melihat tangga. Kuturuni satu per satu anak tangga. Ibu setia di sampingku dan Kak Nisa mengikuti dari belakang. Di anak tangga ketiga terakhir ia menoleh, dan aku bisa melihatnya. Sangat gagah dalam balutan jas hitam. Senyumnya sangat menyejukkan hati.
Hingga akhirnya Ibu menuntunku untuk duduk di samping Kak Vanno, jantungku makin tak karuan saja detaknya.

Kak Vanno terus menatap sejak ia sadar aku ada di ruangan yang sama dengannya. Makin membuatku tegang. Tapi senyumnya seolah menenangkanku. Meski kutahu ia tak kalah tegangnya denganku.

Kubalas senyumnya kaku. Aku terlalu gugup untuk sekedar tersenyum seperti biasa. Apalagi ketika kulihat Ayah menghampiri ia dan membisikkan sesuatu di telinganya. Mungkin ini saatnya.

"Siap ya, Sayang."

Ibu ikut berbisik di telingaku. Jantung ini makin berpacu dengan waktu. Tuhan, lancarkan segala sesuatunya hari ini.

"Saya terima nikah dan kawinnya Reina Aprilia binti Arif Gunawan dengan mas kawin yang tersebut di atas ... tunai."

Dengan sekali tarikan napas, ia mengucap ijab qabul. Tanpa ada pengulangan. Lalu saksi kami berkata sah diikuti ucapan hamdalah dari tetamu yang hadir. Kuraih tangan kak Vanno dan menciumnya. Perasaan bahagia dalam hati kian membuncah ketika ia mencium keningku.

"Selamat, my Bro. Akhirnya, ya." Kak Tyo berkata seraya memeluk dan menepuk punggung Kak Vanno. "Perjuangan lu gak sia-sia."

Kak Vanno tersenyum, membuatku ikut tersenyum. Perjuangannya, perjuangan kami memang tak sia-sia hingga akhirnya aku dan Kak Vanno bisa sampai di titik ini.

"Selamat, ya, Sayang," ujar Ibu. Beliau memelukku dengan sangat hangat.

"Makasih, Bu." Aku terharu. Jika bukan karena dukungan beliau, aku dan Kak Vanno mungkin tak aka nada di sini sekarang.

"Ayah serahin Reina sama kamu, Van. Jaga baik-baik. Inget, perjalanan kamu dapetin Reina gak mudah. Jadi jangan berani-berani kamu sakitin apalagi sia-siain anak gadis Ayah."

Kudengar ucapan Ayah pada Kak Vanno. Ia membuatku ingin menangis haru. Jasa Ayah untukku tak bisa terhitung sejak aku lahir. Meski beliau bukan ayah kandungku, namun Ayah lah yang selalu ada untukku.

Kak Vanno mengangguk mantap dan memeluk Ayah. Sementara Ibu tak mampu menahan air mata bahagianya. Kak Tyo dan Kak Nisa ikut tersenyum bahagia. Begitupun denganku.

Selepas memeluk Kak Vanno, Ayah menghampiri lalu memelukku. Beliau membisikkan kata-kata yang membuatku makin menyayangi dan mengaguminya.

"Sayang, Ayah tau ini yang kamu selalu inginkan. Ayah harap kamu bisa jalanin peran kamu sebagai istri dan ibu dari anak-anak kalian kelak."

Kupeluk Ayah erat hingga air mata ini menetes. Ayah, kau yang terbaik.

"Ayah ngomong apa, Sayang?" tanya Kak Vanno setelah ayah, ibu dan yang lainnya meninggalkan kami berdua.

"Cuma nasehat, Kak," jawabku.
Kak Vanno tersenyum lalu makin mendekatkan dirinya padaku. Memandangku dan tersenyum. Senyum yang selalu kusuka. Lalu berkata, "selamat datang, Nyonya Rivanno Nugraha. Mulai saat ini, kamu cuma milik aku."

=====

Cinta TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang