2. Malam Pertama

17.6K 545 17
                                    

Hingga pada akhirnya, kau yang mampu merengkuhku dalam cintamu yang sangat memabukkan
=Reina=

=====

Goresan Tinta Reina

Kepenatan yang hebat menguasai. Hingga lepas maghrib tadi kami masih berdiri di pelaminan, menerima ucapan selamat dari tetamu yang datang. Sebagian besar adalah teman-temanku dan Kak Vanno. Baik di kantor maupun teman sekolah. Selebihnya saudara, kerabat dan rekan kerja Ayah.

"Nih, Sayang." Kak Vanno datang dengan segelas air putih dingin. Ia tersenyum manis. Cukup membuat rasa lelah terlepas sedikit demi sedikit.

"Makasih, Kak," kataku seraya menerima gelas dari tangan kak Vanno.

Tamu-tamu kebanyakan sudah pulang. Hanya tinggal beberapa kerabat dan sahabat saja yang masih tinggal. Kak Tyo dan Kak Nisa masih mengobrol dengan Ibu. Ada juga David yang sedang menyapa Ayah.

"Capek, ya?" Aku mengangguk. Kak Vanno memberi isyarat padaku untuk bersandar. Dan kulakukan dengan senang hati.

Kusandarkan kepala di bahunya. Memandang tamu Ayah yang satu persatu berpamitan pada beliau. Kuteguk air putih dalam gelas. Hari ini teramat melelahkan. Tapi, untuk segala yang terjadi hari ini pula, aku sangat bahagia.

"Rei, Van...." Ibu, David, Kak Tyo dan Kak Annisa menghampiri kami. Aku langsung membenarkan posisi duduk.

"David mau pamit sama kalian," ujar Ibu kemudian.

Lalu David menyalami dan memelukku. Kulirik Kak Vanno, namun tak ada kilatan cemburu di matanya seperti beberapa tahun lalu pada sahabatku ini.

"Sekali lagi selamat, ya, Rei. Yang langgeng." Aku mengangguk. Sungguh berterima kasih pada David.

"Bang," ujar David seraya memeluk Kak Vanno dan menepuk punggungnya. Entah sejak kapan sahabatku memanggil Kak Vanno seperti itu. "Gue pamit, ya. Sekali lagi selamat. Jagain Rei baik-baik."

Kak Vanno mengangguk mantap. "Pasti, Vid. Thanks, ya, udah nyempetin dateng."

Kak Vanno menyalami David seolah mereka teman akrab. Tak tahu bagaimana hubungan mereka terjalin. Yang pasti, menurut suamiku, semuanya berkaitan dengan diriku.

Aku kembali duduk di pelaminan. Kakiku sangat pegal hingga tak sadar menghempaskan tubuh ke kursi. Ibu yang memperhatikanku tersenyum tipis.

"Udah, kamu naik aja, Sayang," ujar Ibu seraya mengelus punggungku. "Acaranya kan udah kelar. Sisa tamunya juga tinggal kerabat kita aja. Nanti biar Ibu sama Ayah aja yang pamitin. Kamu mandi terus istirahat aja."

Kulirik Kak Vanno, ia mengangguk setuju. "Iya, kamu duluan aja. Nanti aku nyusul."

"Iya, Kak." Mataku beralih pada Kak Annisa dan Kak Tyo. "Kak, aku pamit duluan, ya."

"Iya, Rei. Sekali lagi selamat ya, sayang," ujar Kak Annisa seraya bercipika-cipiki denganku.

"Iya, Kak. Makasih. Cepet nyusul, ya."

Kak Annisa hanya tersenyum. Sementara itu, Kak Tyo menjawab, "pasti dong, Rei. Tunggu undangannya aja."

Selesai berpamitan sebentar, aku naik ke atas. Hanya sendiri. Badanku sudah sangat tidak enak. Lengket dan sesak sekali rasanya.

Kubuka pintu kamar Kak Vanno yang mulai hari ini menjadi kamarku juga. Pikiranku melayang pada beberapa hari lalu saat memindahkan sebagian baju dan barang-barangku. Sekarang bahkan sudah ada meja rias minimalis yang menghiasi kamar kami. Siapa lagi kalau bukan Ibu yang memilihnya.

Cinta TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang