4. Takut

15.2K 587 106
                                    

Mengecewakanmu adalah hal yang paling kutakutkan dan berusaha tak kulakukan.

=Reina=

=====

Goresan Tinta Rivanno

"Enggak usah, Kak. Kita di sini aja, gak perlu ke mana-mana. Aku gak apa-apa, kok," ujar Reina. Ia tetap teguh dengan pendiriannya.

Sudah satu jam kami membicarakan hal yang sama. Bulan madu. Aku dengan inginku, dan dia dengan inginnya. Aku ingin pergi, namun Reina tak ingin sama sekali.

Sejak ia pulang dari Bandung dua bulan lalu dan kami mulai merencanakan pernikahan, aku sudah membicarakannya dengan Reina. Lombok, ke sanalah tujuanku. Saat itu ia hanya bilang akan memikirkannya. Lalu sekarang, setelah menikah, ia malah bilang tak ingin ke mana-mana. Alasannya sederhana saja. Katanya, uang yang akan dipakai itu lebih baik ditabung saja.

Tapi aku tak setuju. Sungguh, aku tak masalah karena tabunganku lebih dari cukup. Dan lagi, yang lebih penting, aku jarang bisa cuti panjang. Kalau tak sekarang, entah kapan kami bisa liburan. Sayang kalau hanya dihabiskan di rumah saja.

"Bukan masalah gak apa-apa sama apa-apanya, Sayang." Kudekati Reina lalu duduk di sampingnya. "Kamu tau sendiri, kan, aku gak gampang dapet cuti agak lamaan begini. Maksud aku, kalo ada waktu kenapa enggak dimanfaatin aja? Kapan-kapan belom tentu aku bisa lho, Sayang."

Ia terdiam. Mungkin berpikir untuk menerima ajakanku. Hanya diam tak bersuara. Aku sedikit berharap. Tapi harapanku terhempas begitu saja ketika melihat Reina menggelengkan lagi kepalanya.

"Aku gak mau, Kak. Mending kita di sini aja, ya. Gak usah jauh-jauh dari Ibu sama Ayah." Reina tersenyum. Mungkin mencoba mengambil hatiku.

Aku tak mau luluh begitu saja meski nyaris putus asa. Lalu terpikirkan satu tempat yang mungkin akan disetujui Reina.

"Kalo Bandung aja gimana?" Reina kembali terdiam. Ayolah, Sayang. Jangan kecewain aku.

Dan aku menyerah, kalah. Tak ingin lagi berdebat saat istri cantikku ini kembali menolak. Kuhela nafas berat. Aku tak boleh memaksakan kehendak pada Reina. Mungkin ia ada benarnya.

"Marah ya, Kak?" tanya Reina khawatir.

Aku terdiam sejenak. Menghembuskan nafas pelan lalu tersenyum dan menggeleng. "Enggak, kok."

Terdengar suara Ibu memanggil. Kulihat jam di dinding yang ternyata sudah menunjukkan pukul 7 malam. Tanda makan malam sudah siap.

"Kita turun dulu aja, yuk. Nanti kita bahas lagi." Aku menarik tangannya dan ia hanya menurut mengikuti keluar dari kamar dan turun menuju dapur.

"Bu, maaf ya Rei gak bantuin masak," kata Rei begitu berhadapan dengan Ibu. Sementara aku duduk di dekat Ayah.

"Gak apa-apa, Sayang. Kan udah ada Bibi yang bantuin." Ibu tersenyum dan mengelus pipi istriku, menantunya.

Sejak sebulan lalu memang ada asisten rumah tangga yang membantu Ibu dan Reina di rumah. Ayah dan aku yang meminta. Karena kami tak ingin Ibu dan Reina yang repot mengurus pernikahan menjadi makin repot di rumah.

"Duduk sana sama Vanno." Istriku tak membantah saat Ibu lagi-lagi mendorongnya ke kursi di sampingku. Aku tersenyum melihatnya.

Kulihat Ibu dan Bi Darmi membereskan meja makan. Ada makanan kesukaan Ayah, Reina dan aku di sana.

"Wah, makanannya banyak banget, Bu. Ada apaan emang?" tanyaku heran.

"Enggak ada. Tapi anggap aja, ini ngerayain hari pertama kalian dengan status yang baru. Iya kan, Yah?" Ayah mengangguk dan tersenyum.

Cinta TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang