•Bloom At Night•

224 35 0
                                    

***


Singto menghela napasnya berat. Sejak ia terbangun di kamarnya, ia sangat bingung dan panik. Pasalnya tempatnya berubah dan pakaiannya juga. Saat ia melihat kalender, tanggalnya berubah mundur dua hari dari kejadian yang ia alami.

Foto yang seharusnya ada dirinya dengan Arthit, tinggal ia seorang disana. Ketika bertanya dengan warga desa, mereka tidak mengenalnya. Dan lagi Arthit tidak terlihat sama sekali. Seakan-akan ia lenyap seutuhnya dari kehidupan.

Tapi Singto tidak mempercayai semua ini. Ini semua terlalu tidak masuk akal. Otaknya tidak dapat mencerna semua ini.

Ia terduduk di bangku taman. Kepalanya sakit saat ini. Matanya mulai membasah. Ia menangis. Hatinya sangat hancur saat mengingat kembali ciuman terakhirnya dengan Arthit. Semuanya berlalu begitu cepat dan tidak masuk akal.

Hari semakin sore. Singto melihat sekuntum bunga yang akan segera mekar. Ia mengambil bunga itu dan menghancurkannya. Ia mengambil semua bunga-bunga yang ia lihat di dekatnya dan mulai menghancurkannya.

"Musim semi sialan. Kau mengambil tunanganku. Aku tidak akan memaafkanmu. Aku akan melenyapkanmu," ucap Singto sambil merusak bunga-bunga itu. Amarahnya mengendalikan dirinya. Bahkan ketika duri bunga itu menyayat tangannya, ia tak peduli. Baginya rasa sakit hatinya lebih sakit.

Setelah puas meluapkan amarahnya, ia pulang dengan lunglai. Sampainya di rumah, ia berjalan ke ruang kerjanya. Di sana sudah bersiap mesin pemusnah. Ia berjalan mendekati mesin itu.

"Selamat tinggal, musim semi." Singto menekan tombol yang menghidupkan mesin itu. Mesin mulai bekerja. Singto memundurkan dirinya, ketika ia yakin bahwa mesin itu akan segera meledak.

Blam!

Hanya ledakan kecil yang terjadi dengan asap yang memenuhi ruangan dan membuat Singto terbatuk-batuk dan tidak bisa melihat dengan jelas.

Akhirnya asap hilang. Dan betapa terkejutnya Singto melihat seorang pria manis terduduk di lantai. Pria itu tersenyum melihat Singto. Ia berdiri dan berjalan mendekati Singto. Refleks Singto memundurkan dirinya.

"Siapa Kau?"

"Aku?" Pria itu mengulanginya. Ia semakin mendekat dengan Singto. Tak menyisakan jarak di antara mereka.

"Musim semimu." Pria itu tersenyum sangat manis sampai membuat Singto tertegun. Singto tersadar dan mendorong pria itu sampai terjatuh.

"Pergi dari rumahku!"

"Ta-tapi..."

"Pergi atau aku akan memanggil warga!!"

Pria itu dengan sedih dan kecewa berdiri dan pergi meninggalkan Singto sendiri.

Singto memukul mesin buatannya. Apa mesinnya rusak? Tapi kenapa malah mendatangkan seorang pria?

Beban pikirannya bertambah, ia mengurut pelipisnya. Tak sengaja ia melihat secarik kertas di lantai. Singto rasa itu datang bersama dengan pria tadi. Singto membuka dan membacanya.

Dear Singto,

Hai, ini aku, Arthit. Kalau kamu sudah membaca ini, berarti kamu sudah bertemu dengannya. Krist.

Aku tau semua rencana-mu tentang ingin menghilangkan musim semi. Maka dari itu aku merubah mesin-mu dan menambahkan beberapa elemen yang dapat menghidupkan sesuatu.

Aku menciptakan Krist untukmu. Aku tidak mau kamu terlalu membenci musim semi. Maaf kalau aku tiba-tiba lenyap dan tidak adalagi dari kehidupan ini. Karena itu yang harus kutanggung.

Aku harap kamu mau menjaga Krist dan mencintainya sama seperti-mu mencintaiku. Terima kasih semuanya, Singto.

Salam sayang,
Arthit

Mata Singto membasah membaca surat dari Arthit. Ternyata dialah alasannya kenapa Arthit harus pergi.

"Tapi kenapa hanya ingatanku yang tidak kamu hapus? Kenapa? Padahal aku adalah orang yang paling sakit mengingat kepergiaan-mu."

Tangis Singto mereda. Ia teringat tentang pria ciptaan Arthit. Ia terburu-buru keluar rumah mencari pria itu.

"Krist! Krist!"

Mata Singto menangkap seorang pria yang sedang bermain dengan bunga-bunga dan kunang-kunang. Hati Singto melega melihat pria itu.

"Hei, kenapa kau disini?" tanya Singto.

"Kamu yang menyuruhku pergi."

"Ah, baiklah. Maafkan aku! Sekarang ayo kita pulang, Krist!" Singto menarik tangan Krist, tapi ditahan.

"Kr-kri-krist?" Pria itu tampak kesusahan.

"Namamu Krist kan?" Tak ada jawaban.

"Baiklah sekarang namamu Krist," ucap Singto bersabar.

"Kit." Pria itu tersenyum mengucapkan namanya sendiri.

Singto tak mau ambil pusing, ia menarik tangan pria itu pulang ke rumah.

***
To Be Continued

[SingtoKrist] I Told Spring About You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang